Pada dasarnya pengelolaan risiko mengikuti prinsip ATMA, di mana urutannya adalah avoid (hindarkan); transfer (pindahkan); mitigate (kurangi), dan jika ketiganya telah dilakukan barulah berserah diri terhadap apa yang akan terjadi alias accept (diterima).
Langkah transfer dan mitigate merupakan upaya pengelolaan risiko, di mana biasanya dilakukan melalui dua alternatif yakni: derivatif dan asuransi. Walau derivatif secara umum merupakan instrumen keuangan, tetapi prinsipnya dapat diterapkan dalam keseharian. Artikel ini berkenaan dengan asuransi, sedangkan untuk tulisan derivatif (opsi) dapat merujuk pada artikel penulis sebelumnya (20/5/14).
Asuransi merupakan kerja sama berbagai pihak untuk menanggulangi 'peluang' musibah. Berdasarkan peluang ini maka diperkirakan nilai kejadian; dan nilai inilah yang 'ditanggung bersama' oleh stakeholder dan tentunya juga setelah mempertimbangkan biaya operasional.
Peluang ini merupakan suatu estimasi, sehingga penyimpangan dari estimasi dapat merupakan 'musibah' maupun berkah bagi penyelenggara. Musibah berarti ketidakberlanjutan perusahaan tersebut karena ketidakmampuan menutupi tagihan (claim). Pada sistem modern ini, pengelolaan asuransi telah menjadi sebuah bisnis global, menunjukkan potensi yang sangat besar.
Manfaat Asuransi
Dalam salah satu tugas, mahasiswa mengevaluasi berkenaan berbagai asuransi dengan membandingkan premi dibayar dan 'janji' manfaat yang dibayar, dengan tingkat diskonto risk free rate. Hampir semua asuransi memberikan benefit negatif. Jika hanya 'nilai bersih sekarang' (NPV) dari sudut pandang peserta maka asuransi bukanlah pilihan terbaik.
Dalam hal ini, jika konsisten/berdisiplin untuk menabung/investasi, maka kebutuhan perlindungan/berjaga-jaga dapat dikelola sendiri oleh peserta. Namun, menyimpulkan tidak perlu ikut asuransi adalah keliru. Mengikuti asuransi akan mendapatkan benefit utama yakni kenyamanan/kepastian/perlindungan, di mana benefit ini dapat menjadi modal dasar produktivitas pekerja, walaupun benefit ini tidak tertulis dan tidak dinyatakan sebagai nominal rupiah.
Pengalaman berbagai pihak memiliki asuransi (kesehatan) selain yang diwajibkan pemerintah (BPJS) menunjukkan betapa pentingnya berjaga-jaga ini. Sebenarnya kita tidak mengharapkan 'kejadian buruk' tetapi seandainya terjadi, maka itu tidaklah terlalu buruk (dari sisi keuangan). Hal lainnya adalah ketidakseimbangan tindakan, di mana klien membayar rutin, sedangkan kejadian buruk bersifat peluang dan insidental. Karenanya kredibilitas perusahaan asuransi untuk menanggulangi 'kejadian buruk' merupakan instrumen pemasaran nomor satu.
Juga yang perlu diperhatikan, sifat perjanjian antara 'investor' dan 'perusahaan asuransi' hendaknya dimaknai dengan seimbang, jangan terjadi investor memiliki penafsiran dirugikan. Jika ini terjadi, maka sangat sulit meyakinkan pasar akan manfaat asuransi ini.
Jika dari sisi peserta, asuransi memiliki NPV negatif, tidaklah diartikan serta merta perusahaan asuransi untung, karena pada faktanya banyak juga perusahaan asuransi yang 'kolaps'. Untung, memang merupakan bagian alamiah (wajib) dari bisnis. Perusahaan asuransi dengan bisnis mengelola risiko, juga terkena risiko, berupa peluang tagihan yang lebih besar dibanding ekspektasi. Jika mengalami gagal bayar, maka dapat menjadi penyebab 'kiamat' usaha perasuransian, di mana kepercayaan stakeholder runtuh.
Untuk menjauhkan kiamat ini, maka aturan permodalan harus diperkuat, juga meningkatkan kehati-hatian dalam mengelola bisnis. Dan tidak kalah pentingnya, diperlukan dana cadangan bersama (semacam LPS) untuk antisipasi gagal bayar, yang dapat dikelola oleh Dewan Asuransi. Saat ini, dengan adanya LPS, maka ketenangan nasabah akan dananya (hingga Rp 2 miliar), sehingga mengurangi potensi 'rush' dan secara langsung mendukung stabilitas ekonomi.
Barangkali dalam pengelolaan bisnisnya, biaya asuransi yang cukup besar adalah biaya operasional itu sendiri. Salah satu perusahaan asuransi membuat dana terpisah yakni dana investasi dan dana nasabah (premi). Imbal hasil pengelolaan dana investasi diharapkan menutupi untuk biaya operasional, sedangkan dana nasabah dikembalikan sebagai pembayaran claim. Ternyata imbal hasil dana investasi belumlah cukup untuk biaya operasional. Hal ini sebenarnya tiada mengapa, selama perusahaan tersebut mampu memenuhi klaim yang terjadi!
Modal Dasar Pembangunan
Sesungguhnya asuransi dapat dijadikan sebagai modal dasar pembangunan, dan ditempatkan sebagai program nasional. Rasa nyaman berupa hilangnya kekhawatiran akan suatu musibah/kejadian buruk seharusnya menjadi milik rakyat yang mendasar. Keamanan rakyat, akan menyebabkan rakyat dapat berkarya dengan baik dan merasa bahagia. Keamanan itu dilaksanakan oleh pemerintah (melalui TNI/ Polri).
Secara tidak langsung, hal ini dapat dikatakan sebagai asuransi. Pemerintah seharusnya terus meningkatkan keamanan ini, mengampanyekannya, dan juga sekaligus mendorong rakyat untuk memanfaatkan keamanan ini sebagai faktor untuk meningkatkan produktivitas. Pada kalangan 'the have' secara sadar meningkatkan keamanan yang ada dengan swadaya.
Demikian pula halnya dengan kesehatan masyarakat, hendaknya dijamin penuh pemerintah, dan diiklankan sebagai bagian produktivitas. Pada berbagai perusahaan menambahnya dengan asuransi 'swadaya' dan seharusnya menjadi bagian dari produktivitas.
Dalam hal pendidikan, ada baiknya bagi penyelenggara pendidikan dan perusahaan asuransi duduk bersama menciptakan produk asuransi. Bayangkanlah seorang mahasiswa yang harus putus kuliah, tak ada biaya kuliah karena ayahnya meninggal dunia. Keberlanjutan kuliah mahasiswa ini dapat dijamin, seandainya dalam komponen biaya kuliah tersebut ada unsur asuransinya.
Selain itu, mahasiswa tersebut juga bukan 'peminta' karena dia mendapatkan dana dengan cara yang terhormat. Selama ini bantuan berbentuk beasiswa, cenderung bersifat insidental serta terbatas kemanfaatannya. Adanya beasiswa dan asuransi dapat menjadi sinergi menyelamatkan masa depan tunas bangsa. Sekali lagi ditegaskan, musibah itu bersifat tidak diharapkan; tidak rutin, namun dapat 'merusak' segala rencana baik.
Untuk hal inilah diperlukan upaya mitigasi dampak dari musibah tersebut. Dampak buruk dari asuransi adalah perilaku moral hazard yang dilakukan oleh peserta berupa ketidakpedulian atas tindakan berisiko yang merugikan. Untuk hal ini sebenarnya perusahaan asuransi sangat memahaminya, dengan membuat aturan yang merujuk pada tindakan yang seharusnya. Misal, kendaraan yang melanggar aturan lalu lintas, maka klaim asuransinya dapat batal.
Persoalannya, perlu dijelaskan secara detail bagi peserta, sehingga tidak terjadi 'pertengkaran' kelak. Penjelasan awal ini juga akan mendorong peser ta mengikuti aturan yang ada, sehingga secara keseluruhan kita dapat menjadi lebih tertib. Hal ini akan mendorong sikap disiplin.
Pada BPJS Kesehatan, jika tidak salah; ada klausul tidak menjamin kesehatan perokok; karena perokok melakukan tindakan moral hazard. BPJS perlu memberi aturan yang lebih keras dan sosialisasi yang intens, sehingga masyarakat dapat mengubah perilaku menjadi lebih sehat. Hal ini tentu dapat sebagai modal dasar bangsa. Mari berinvestasi, mari berasuransi.
Tulisan ditayangkan juga di beritasatu.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H