Jika tidak dibantu, mungkin kita akan kehilangan kesempatan menikmati karya orang-orang pintar Indonesia. Para doktor dan professor seharusnya memiliki kewajiban moral untuk menghasilkan karya bagi masyarakat luas. Syarat ini hendaknya ada pada nurani pengajar, namun akan sempurna (terealisasi) jika dibantu berbagai pihak.
Adanya layanan pesanan online, juga memberikan pukulan. Â Buku-buku yang dibeli via 'online'; dijual oleh banyak penjual; dan hampir pasti buku tersebut bajakan (buku yang asli dijual oleh penerbitnya). Â Situasi ini, bukan hanya memukul penulis; tetapi juga penerbit. Â Perlu ada upaya penyadaran, serta 'hukum' namun tampaknya perlu waktu yang panjang. Â Yang dikhawatirkan terjadi 'kematian' dalam hal penulisan-penerbitan.Â
Menulis pastilah lebih sulit dibandingkan membaca. Kita ingin menjadikan membaca sebagai budaya bangsa. Untuk itu diperlukan tulisan, dan akan membanggakan jika itu ditulis oleh anak-anak bangsa sendiri. Sekalipun menulis adalah jalan terjal, tidak bernilai ekonomis, namun banyak yang tetap melaluinya.
Imbalan kepuasan, memanjangkan umur, ilmu dan amal sholeh tampaknya merupakan reward yang menggiurkan. Untuk meninggalkan jejak tanda, mari menuliskan sejarah hidup melalui buku.
Pemerintah, swasta dan berbagai pihak lainnya dapat bergandeng tangan untuk membuat semuanya menjadi nyata: dimulai hari ini dan disempurnakan di hari esok. Semoga karya para profesor-doktor di Indonesia dapat dinikmati masyarakat luas. Ingat, pengajar yang tidak menulis adalah koki tanpa masakan, atau setidaknya seperti masakan tanpa garam: hambar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H