Mohon tunggu...
Said Kelana Asnawi
Said Kelana Asnawi Mohon Tunggu... Dosen - Dosen pada Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie

Dosen-Penyair, menulis dalam bidang manajemen keuangan/investasi-puisi; Penikmat Kopi dan Pisang Goreng; Fans MU

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

CSR Perbukuan vs Matinya Sang Profesor

1 April 2019   09:44 Diperbarui: 3 April 2019   09:54 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Seorang profesor di Universitas Indonesia memperkenankan naskah bukunya yang difotocopy, karena naskah itu batal dicetak oleh penerbit dengan alasan, pembaca atau pembeli buku kini sudah sangat sedikit.

Selain profesor tersebut, banyak penulis buku yang mendapatkan royalti sangat rendah -- rata-rata di bawah Rp 1 juta per tahun, atau bahkan nihil. Ironinya adalah buku tersebut ditulis bertahun- tahun dengan mengeluarkan energi besar, dan berkisar tiga atau empat tahun kemudian baru dapat membuat buku baru.

Menulis buku adalah sebuah pendakian yang memerlukan kekuatan fisik dan mental. Cerita ini untuk menggugah kepedulian tentang betapa sulitnya menulis buku, dan diharapkan timbul empati lebih luas, sehingga dunia perbukuan menjadi lebih cair bagi stakeholder yang terlibat.

Buku sebagai jendela dunia, gerbang ilmu pengetahuan, hendaknya dapat dimasuki oleh kita semua, sehingga keberadaannya bukanlah menjadi barang mewah yang tidak mampu dibeli oleh masyarakat atau dibuat oleh pengajar

 

Peran Pemerintah dan Swasta

Saat ini pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Tinggi berperan signifikan dengan memberikan dana hibah bagi berbagai buku terpilih. Sebelumnya, di masa Orde Lama, pemerintah memajukan dunia pendidikan melalui hibah buku untuk SMP-SMA misal Matematika jilid 1-12 yang ditulis oleh tim ahli. Para ekonom melalui LP3ES menerbitkan buku yang dijadikan acuan di banyak perguruan tinggi.

Sementara itu, Universitas Terbuka (UT) membuat modul pembelajaran cukup komprehensif untuk setiap mata kuliah, dimana modul tersebut ditulis oleh pengajar, hak cipta penerbitan pada UT dan royalti penulis bersifat lumpsum.

Dampaknya langsung kelihatan, yakni UT menjadi terbantu dalam menyediakan buku-buku terstandar bagus dan lembaga pendidikan ini juga menjadi jembatan bagi pengajar untuk menelurkan karya. Walau demikian, potensi untuk menghasilkan buku seharusnya bisa lebih banyak lagi dengan berbagai kebijaksanaan dari pemerintah baik terhadap penerbit, penulis ataupun pembaca.

Di perguruan tinggi (PT) terkenal, buku-buku teks asing biasanya paling dibanggakan. Sisi baik dari kebijakan ini adalah standarisasi bahan ajar dan nama baik dari PT tersebut. Sebaliknya, sisi buruknya adalah langkah tersebut mematikan kreativitas atau bahkan belum menguji kemampuan pengajarnya untuk menghasilkan karya.

Seyogyanya setiap PT top yang memiliki banyak doktor, membuat program menulis buku secara bersama sehingga dapat menghasilkan karya bagus dan dinikmati oleh stakeholder. Jauhkan dari sikap pesimistis tentang kualitas buku yang dihasilkan, karena dengan keseriusan rencana, semestinya kita dapat menghasilkan buku-buku berkualitas.

Stakeholder yang belum pernah menulis buku adalah yang tersering menentang ide ini, dengan berlindung bahwa buku teks asing yang dipakai adalah yang terbaik dan mengecilkan arti karya tulis dari anak-anak negeri sendiri.

Secara nilai ekonomis, walaupun kecil, pengadaan buku oleh pengajar domestik dapat menghemat devisa/mengurangi impor. Namun, ide ini tidak boleh diartikan sebagai sikap anti terhadap buku teks asing, karena bagaimanapun ilmu pengetahuan adalah berkah bagi kita, entah darimana pun asalnya. Keberatan lain adalah sikap berlindung di balik alasan bahwa kewajiban/kemampuannya pengajar bukan hanya diukur dari menulis buku melainkan banyak faktor lainnya lagi.

Tentu saja berbagai alasan ini tidak menggugurkan kewajiban moral untuk menulis. Tidaklah layak mengaku pengajar namun tidak pernah mengajar-dan menulis bahan ajar. Namun sekali lagi, sangat tidak mudah untuk menulis buku, karena memerlukan energiwaktu yang tinggi, sementara imbalan materialnya mungkin tidak memadai.

Tidak hanya pemerintah, pihak swasta juga dapat berperan besar. Dana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) perusahaan dapat dialokasikan untuk membantu hal-hal berkenaan dengan buku. Saat ini, justru berbagai perusahaan besar berlomba mendirikan PT, dengan tujuan mulia, yakni memajukan dunia pendidikan Indonesia. Niat ini seharusnya dapat diperluas yakni dengan juga membantu biaya penulisan buku, utamanya bagi pengajar PT yang didirikan.

Sungguh sayang jika naskah profesor sebagaimana cerita di atas menjadi onggokan sampah. Perusahaan dapat menghubungi professor tersebut, memberikan tanda penghargaan dan meminta naskahnya untuk diterbitkan/didanai oleh perusahaan atau diunggahkan (ebooks) pada laman perusahaan. Perusahaan dapat pro-aktif memantau pengajar dari berbagai perguruan tinggi dan menjalin kerjasama CSR ini.

Bagi pengajar, ini mungkin bisa menjadi sebuah anugerah atau kebanggaan. Bagi perusahaan, penyaluran CSR pun tidak sia-sia, dan bagi masyarakat, akan tersedia makin banyak buku yang membuka banyak jendela untuk melihat dunia. Untuk dana CSR yang sama, perusahaan juga dapat membantu dalam hal penelitian. Pihak perusahaan juga dapat membantu sebagai objek untuk penulisan studi kasus, dimana hal ini akan bermanfaat bagi pengajar dan stakeholder lainnya.

 

Kembangkan Industri Kreatif

Jika memiliki keinginan kuat untuk menulis, maka saat ini tersedia lahan gratis melalui blog. Melalui cara ini, pengajar dapat membagi ilmunya kepada masyarakat luas. Untuk menerbitkannya menjadi buku cetak, juga tersedia penerbit Indie, dimana si penulis membiayai penerbitan tersebut minimal untuk satu buku. Tentu saja secara ekonomis, penulis hampir pasti nombok.

Sisi baik di sini adalah buku akan terbit dan siapa tahu menjadi jalan terang bagi masyarakat. Sisi baik lainnya menjadi ladang usaha baru berskala kecil dan termasuk industry kreatif. Seorang mahasiswa yang memiliki penerbitan Indie mengaku mendapatkan penghasilan berkisar 7-8 juta/bulan dengan tetap dapat tidur siang.

Memang ada banyak buku laris (best seller), sangat bernilai ekonomis, semisal novel Ayu Utami atau Andrea Hirata, tetapi apa yang terjadi pada cerita profesor di atas hendaknya menjadi perhatian juga. Sebuah buku yang tidak laris atau sebuah buku yang tidak dicetak penerbit tidak berarti buku itu buruk (tidak berkualitas) melainkan secara pasar, buku tersebut tidak bernilai ekonomis.

Jika tidak dibantu, mungkin kita akan kehilangan kesempatan menikmati karya orang-orang pintar Indonesia. Para doktor dan professor seharusnya memiliki kewajiban moral untuk menghasilkan karya bagi masyarakat luas. Syarat ini hendaknya ada pada nurani pengajar, namun akan sempurna (terealisasi) jika dibantu berbagai pihak.

Adanya layanan pesanan online, juga memberikan pukulan.  Buku-buku yang dibeli via 'online'; dijual oleh banyak penjual; dan hampir pasti buku tersebut bajakan (buku yang asli dijual oleh penerbitnya).  Situasi ini, bukan hanya memukul penulis; tetapi juga penerbit.  Perlu ada upaya penyadaran, serta 'hukum' namun tampaknya perlu waktu yang panjang.  Yang dikhawatirkan terjadi 'kematian' dalam hal penulisan-penerbitan. 

Menulis pastilah lebih sulit dibandingkan membaca. Kita ingin menjadikan membaca sebagai budaya bangsa. Untuk itu diperlukan tulisan, dan akan membanggakan jika itu ditulis oleh anak-anak bangsa sendiri. Sekalipun menulis adalah jalan terjal, tidak bernilai ekonomis, namun banyak yang tetap melaluinya.

Imbalan kepuasan, memanjangkan umur, ilmu dan amal sholeh tampaknya merupakan reward yang menggiurkan. Untuk meninggalkan jejak tanda, mari menuliskan sejarah hidup melalui buku.

Pemerintah, swasta dan berbagai pihak lainnya dapat bergandeng tangan untuk membuat semuanya menjadi nyata: dimulai hari ini dan disempurnakan di hari esok. Semoga karya para profesor-doktor di Indonesia dapat dinikmati masyarakat luas. Ingat, pengajar yang tidak menulis adalah koki tanpa masakan, atau setidaknya seperti masakan tanpa garam: hambar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun