Gelombang ketiga PHK terjadi di sektor ritel, Industri keramik, pertambangan, farmasi, telekomunikasi, dan sebagainya. KSPI memperkirakan, hingga pertengahan tahun ini saja, lebih 50 ribu buruh di PHK. Hal ini seiring dengan laporan pengusaha yang mengatakan sepinya penjualan. Ini ditandai dengan tutupnya 7-Eleven. Bahkan diprediksi, PHK akan terjad di Hypermart, Ramayana, Hero, Giant, Tiptop, dan beberapa industri yang lainnya dengan cara menututup beberapa gerai di beberapa daerah.
Faktanya, data-data ini tidak diumumkan pemerintah. Bahkan pemerintah sibuk menyangkal karena pemerintah takut fakta yang sebenarnya, yaitu kenaikan upah murah menyebabkan daya beli turun yang berakibat perusahaan menutup atau mengurangi drastis jumlah produksi barang dan jasa. Sehingga jalan satu-satunya adalah PHK, bukan seperti yang dibilang pendukung Anies - Sandi, kenaikan upah tinggi penyebab PHK. Salah tuch...
Gelombang satu hingga tiga, penyebabnya adalah daya beli yang menurun. Bagi KSPI dan buruh Indonesia, salah satu penyebabnya upah murah melalui penerapan PP 79/2015.
Paket kebijakan ekonomi tidak bisa mengangkat daya beli, tetapi hanya membuka ruang kemudahan untuk berinvestasi. Tidak diiringi dengan kebijakan peningkatan daya beli. Maka yang terjadi adalah penurunan konsumsi, itulah yang menyebankan terjadinya PHK besar-besaran.
Jadi kalau pendukung Anies - Sandi setuju dengan upah murah, maka sama saja setuju dengan adanya PHK besar-besaran. Produk dari berbagai perusahaan tidak ada yang membeli, karena rendahnya daya beli masyarakat kita. Jika produk sudah tidak ada yang membeli, itulah akan menjadi alasan utama sebuah perusahaan tutup dan lagi-lagi, buruh yang akan jadi korban.
Surat Edaran Kemnaker Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017 tidak mempunyai kekuatan hukum
Di bagian akhir, pendukung Anies - Sandi menyebut Surat Edaran Kemnaker Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017. Seolah ingin mengatakan, penetapan UMP DKI sesuai PP 78/2015 ini bukan dosa Anies -- Sandi.
Satu hal yang harus diketahui, penetapan UMP adalah kewenangan Gubernur. Ambil contoh Gubernur Nusa Tenggara Barat yang menaikkan UMP sebesar 11,5%. Tahun sebelumnya, Provinsi Aceh, Kalimantan Selatan, dan Papua berani menetapkan UMP lebih tinggi dari PP 78/2015. Bahkan untuk UMP tahun 2016, Ahok juga menetapkan lebih tinggi.
Pertanyannya, bukankah Surat Edaran Kemnaker Nomor B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017 juga ditujukan kepada Gubernur Nusa Tenggara Barat. Tetapi mengapa dia berani menetapkan lebih tinggi, sedangkan Anies -- Sandi tidak? Maka saya cuma bisa bilang: "Terlalu...!!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H