Mohon tunggu...
Said Iqbal
Said Iqbal Mohon Tunggu... -

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Sekretaris Jenderal Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS)

Selanjutnya

Tutup

Money

Selamatkan Upah Buruh Indonesia

29 Oktober 2015   09:28 Diperbarui: 29 Oktober 2015   09:47 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Terkait hal itu, kami buruh Indonesia tegas menolak Peraturan Pemerintah tersebut. Sebagai wujud penolakan, kami sudah melakukan aksi-aksi di tingkat daerah dan nasional sejak tanggal 26 s/d 29 Oktober 2015. Selanjutnya, tanggal 30 Oktober 2015, buruh Indonesia akan melakukan aksi #BuruhKepungIstana dan tidak akan pulang sebelum menang. Sebelum Peraturan Pemerintah tersebut dicabut.

Adapun alasan penolakan kami terhadap PP No. 78 Tahun 2015 adalah sebagai berikut:

Pertama, PP No. 78 Tahun 2015 telah merampas hak berunding yang dimiliki kaum buruh

Keterlibatan pekerja/buruh dalam menentukan kenaikan upah merupakan sesuatu yang sangat prinsip. Di seluruh dunia, kenaikan upah selalu melibatkan serikat pekerja. Dengan terbitnya PP No. 78 Tahun 2015, pemerintahan Jokowi - JK telah merampas hak serikat pekerja untuk terlibat dalam menentukan kenaikan upah minimum. Ini artinya, kebijakan pengupahan pemerintahan Jokowi – JK lebih kejam dibandingkan dengan massa pemerintahan Soeaharto. Pada masa Orde Baru, pekerja/buruh masih dilibatkan dalam kenaikan upah minimum melalui mekanisme tripartit (buruh – pengusaha – pemerintah). Tetapi dengan kebijakan pengupahan yang baru, pemerintahan Jokowi – JK secara otoriter dan secara sewenang-wenang menentukan kenaikan upah minimum secara sepihak.

Kedua, upah dasar di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN

Saat ini, upah minimum di Malaysia dalam kisaran Rp. 3.200.000, Thailand Rp. 3.547,891, bahkan Filipina mencapai 4.261.929. Sementara itu, upah minimum di ibu kota Negara, DKI Jakarta hanya sebesar Rp. 2.700.000. Dengan formula kenaikan upah sebesar inflansi + pertumbuhan ekonomi, bisa dipastikan kenaikan upah di Indonesia berada dalam kisaran 10 persen. Sehingga, dari tahun ke tahun upah buruh Indonesia akan semakin tertinggal dengan upah di Negara-negara ASEAN.

Sebagai contoh: apabila Indonesia naik upah 10%, maka besarnya kenaikan hanya Rp. 270.000 (menjadi Rp. 2.970.000), sedangkan dengan kenaikan yang sama, di Filipina akan ada peningkatan upah sebesar Rp. 426.000 (menjadi 4.693.000). Jika ini terjadi tiap tahun, bisa dipastikan upah kita akan semakin jauh tertinggal.

Ketiga, PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan didalangi “pengusaha hitam” yang serakah dan rakus

Dalam paket ekonomi jilid I s.d III, Pengusaha sudah mendapatkan semua kemudahan yang mereka inginkan. Serikat pekerja pun mendukung langkah pemerintah untuk melindungi dunia usaha dengan penurunan tarif listrik untuk industri, gas untuk industri, dan memberikan bantuan/kemudahan bagi pengusaha yang tidak melakukan PHK terhadap pekerja. Tetapi dalam paket ekonomi jilid IV, yang diterima kaum pekerja seperti susu dibalas air tuba. Kenaikan upah dibatasi hanya sebatas inflansi dan pertumbuhan ekonomi, dan bias dipastikan nilainya akan sangat kecil sekali. Dengan kata lain, pemerintah telah membuat kebijakan yang berorientasi terhadap upah murah. Kebijakan seperti ini curang dan tidak adil bagi buruh.

Keempat, formula kenaikan upah minimum yang diatur dalam PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan bertentangan dengan konstitusi.

Dalam salah satu pasal di UUD 1945 disebutkan, setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidup yang layak. Hal yang sama juga ditegaskan dalam UU No. 13 Tahun 2003, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Adapun instrumen untuk memenuhi hidup layak itu adalah KHL. Tetapi dalam PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, KHL tidak lagi dipakai sebagai salah satu acuan untuk menetapkan kenaikan upah minimum. Hal seperti ini jelas merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun