Lebih lanjut dikatakan Jimy, “Ada tiga jenis akta atau surat, yaitu Akta otentik atau surat resmi, Akta di bawa tangan, dan Akta bukan di bawa tangan atau Akta biasa”.
“Khusus akta otentik berkaitan dengan sertfikat, berdasarkan PP 24 tahun 1997, tentang pendaftaran tanah, maka di Indonesia dikenal dengan sistim pendaftaran hak (Regestition Title), haknya yang didaftar bukan tanahnya”.
“Pendaftaran hak di Indonesia yang berkaitan dengan sertifikat, ada sistim pembuktiannya, yang dikenal dengan pembuktian negative mengandung unsure positif atau negative bertendensi positif”.
“Yang artinya sejak dterbitkan karena dia bukti otentik, maka kekuatan pembuktiannya sempurna tidak memerlukan tambahan alat bukti lain”.
“Kata kuncinya semua akta yang dibuat didepan pejabat yang ditentukan Undang- Undang maka kekuatan pembuktiannya sempurna, sesuai PP 24, sertifikat merupakan alat bukti kepemilikan yang kuat.
"Pengertiannya sepanjang orang tidak mampu membuktikan ketidak benaran maka sertifikat tetap berkekuatan hukum”.
“Akan tetapi manakala ada orang mampu membuktikan ketidak benaran maka sertifikat itu lalu tidak berkekuatan hukum, manifestasinya dari semuanya ini muncul Pengadilan Tata Usaha Negara di berbagai tingkatan”, tandas Jimy.(Muhammad Said Welikin/LINTAS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H