“Kalau berbicara tentang pemberian hak, maka itu berkaitan dengan ketentuan penguasaan-penguasaan tanah Negara”.
“Sementara hasil tinjau lokasi, pemeriksaan setempat dan bukti surat serta keterangan saksi-saksi terungkap lokasi tersebut merupakan tanah adat atau tanah milik Indonesia”. Apalagi di Tana Toraja rata-rata tanah adat.
“Sehingga pada kolom pencatatan asal persil harusnya tercatat konfersi atas tanah adat, bukan pemberian hak”.
“Kedua , pada kolom pencatatan, Surat Ukur, Gambar Situasi, dan Penerbitan tercatat tanggal 2 Juli 1975, dengan demikian tidak memenuhi syarat tenggang waktu pengumuman".
“Ketiga , Untuk penerbitan sertifikat prosedurnya harus sesuai ketentuan yang berlaku, karena sertipikat itu terbit pada tahun 1975, maka PP (Peraturan Pemerintah ) Nomor 10 tahun 1960 yang berlaku”.
“Pada PP 10 merupakan ketentuan yang yang didalamnya mengatur tentang pendaftaran tanah yang secara inklusif mengatur pula hubungannya dengan syarat=syarat lainnya sehubungan dengan kegiatan pendaftaran tanah, dalam hal ini pemohon sertifikat harus menguasai lokasi".
"Fakta persidangan, pemilik sertifikat jangankan menempati lokasi, membayar pajak pun tidak”, urai Jimy.
“Atas dasar itu Majelis Hakim P.TUN Makassar memutuskan sertifikat pertama terbit di Tana Toraja dibatalkan dan dicabut”, ungkap Jimy.
Menjawab pertanyaan wartawan tabloid LINTAS, tentang apa resepnya, dan sudah berapa sertifikat yang berhasil dibatalkan.
Jimy yang selain pengacara juga seorang dosen pada salah satu perguruan tinggi swasta di Makassar ini mengatakan, “Bidang profesi apa pun , kualitas seseorang seperti integritas, idialisme, intelektualisme , dan moralitas, syarat terbangunnya sebuah profesi yang mampu dijadikan suri tauladan bagi masyarakat lingkungannya”.
“Kemudian selamah berkarir sebagai seorang pengacara, sudah delapan sertifikat yang berhasil dibatalkan termasuk sertifikat nomor satu Tana Toraja dibatalkan pada 16 Januari lalu, ungkap Jimy.