Mohon tunggu...
Saibansah Dardani
Saibansah Dardani Mohon Tunggu... Wartawan -

Warga Batam, Pengamat Perbatasan, Pecinta Jurnalistik. "Aku Menulis, Maka Aku Ada." saibansahdardani@yahoo.com 0816-1379708 atau 082171208791 WA : 0851-01221734

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penjaga Pantat

4 Februari 2016   10:13 Diperbarui: 4 Februari 2016   11:34 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BERDIRI di samping lampu merah sejak bubaran sholat Subuh hingga bubaran sholat Isya’, tentu bukan pekerjaan mudah. Melelahkan. Tapi tidak bagi Rian. Bocah yang seharusnya tekun belajar di sekolah dasar kelas empat itu, menjadikan kegiatannya berdiri di pinggir lampu merah sebagai hal yang menyenangkan. Dari berdiri di pinggir lampu merah itu ia bisa mengantongi uang hingga Rp15 ribu setiap hari. Lumayan.

Sebagai penjaja koran, lampu merah bagi Rian adalah mercusuar. Arah hidupnya ditentukan oleh warna-warna lampunya. Ia tahu kapan harus berhenti, kapan harus hati-hati dan kapan harus pergi. Di usia dininya, arti pergantian warna lampu merah adalah ritme hidup yang sudah sangat dipahaminya.

“Awas di depan ada bahaya om,” bisik Rian kepada seorang pengemudi sedan yang baru saja membayar korannya.

“Bahaya apa ?”

“Sstt, pokoknya hati-hati sajalah om.”

Buru-buru orang tua yang dipanggil om tadi menutup rapat kaca mobilnya. Tampak ada perubahan ekspresi di wajahnya, takut.

Benar, begitu warna lampu merah menyala, kaca mobil di depan si om tadi langsung pecah. Sebuah kapak mengayun dari tangan dua orang perampok. Dan tas seorang pengemudi sedan wanita pun pindah tangan. Belum lagi warna lampu merah berganti, sepeda motor perampok tadi melesat berbaur dengan ribuan kendaraan lain.

***

Bagi Rian, tak banyak yang diharapkan dari lampu merah. Selain mengantarkan hidupnya mengalir sampai jauh. Sudah lebih dari tiga tahun ia belajar dari lampu merah. Di usianya yang seharusnya duduk di kelas enam bangku sekolah dasar, Rian terasa lebih dewasa dari usianya. Ia sudah tahu, bahwa pantat wanita seharusnya ditutup. Tidak dibuka begitu saja seperti pantat sapi.

Melihat pantat wanita yang dibiarkan terbuka seperti pantat sapi, bagi Rian adalah seperti melihat lampu merah yang selalu berganti-ganti warna. Ia hapal betul bagaimana bentuk pantat wanita yang suka mengenakan celana jeans, pantat wanita yang masih kuliahan atau pantat wanita yang sudah pantas disebut nenek. Di mata Rian, pantat-pantat wanita itu seperti kunang-kunang putih yang membuat pandangan mata menjadi nanar.

“Kak, tolong jaga pantatnya…!” Itulah teriakan Rian selain menjajakan koran.

Rian sudah dikenal sesama pencari hidup di pinggir lampu merah sebagai penjaga pantat. Ya, Rian si penjaga pantat.

“Udahlah Yan, buat apa kamu ngurusi pantat orang, urus saja pantat hitammu itu,” ejek Kasdi, teman satu profesinya.

“Iya Yan, kan asyik juga kita lihat pantat gratis,” timpal Yanto, juga sesama penjaja koran.

Bualan atau ejekan seperti itu, sudah tak mempan lagi membuat Rian bergeming. Baginya, pantat wanita tetap harus dijaga, tak boleh dibiarkan seperti pantat sapi ! Itu saja.

***

Ya memang pantat wanita tidak bisa disamakan dengan pantat sapi. Pantat wanita lebih memiliki nilai esketika dibanding pantat sapi. Tapi bagi Rian, keduanya sama saja, pantat. Lalu mengapa pantat harus dibiarkan begitu saja terbuka?

Rian sudah semakin dikenal sebagai si penjaga pantat. Tidak hanya di kawasan lampu merah tempatnya berjualan koran. Tapi sudah menyebar ke semua lampu merah di kotanya. Rian Pantat, begitu ia kini disapa. Tak ada rasa risih atau malu namanya disandingkan dengan pantat. Sebab, memang ia harus menjadi penjaga pantat wanita. Tak peduli wanita itu siapa, istri pejabat, wanita karier atau bahkan pelacur sekalipun. Semua pantat diperlakukan sama oleh Rian. Sebab pantat tak kenal derajat. Sebab semua pantat posisinya sama, di belakang dan selalu diduduki. Jadi, mengapa pantat harus dibeda-bedakan derajat.

Tapi dasar pantat. Semakin dijaga justru semakin diobral. Ada konspirasi global yang mendera kepedulian Rian sebagai si penjaga pantat. Konspirasi itu bermodal sangat besar, bahkan Rian sendiri tak mampu membayangkan seberapa besar modal itu. Tapi yang pasti, konspirasi ini juga melibatkan miliaran manusia. Mereka tersebar di seluruh kolong jagad raya. Mereka menakan dirinya sebagai negara, industri, pasar modal, entertainment dan sebagainya. Semua nama yang sangat jarang terdengar di telinga Rian.

Konspirasi global itulah yang menghadang Rian. Sebab pantat adalah komiditi penting bagi konspirasi global itu tadi. Tak ada pantat, berarti tak ada uang besar, tak ada entertainment, tak ada industri bahkan ujung-ujungnya tak ada negara. Sebab pantat adalah faktor yang sangat penting. Pantat menentukan maju mundurnya tensi kegiatan konspriasi global itu tadi.

Untungnya, Rian tidak tahu ada lawan raksasa bernama konspirasi global itu. Rian hanya tahu, bahwa pantat wanita harus dijaga, tak boleh dibiarkan seperti pantat sapi. Itu saja. Dengan hanya bermodal mulut kecilnya, Rian melawan konspirasi global yang sangat tergantung pada pantat itu. Ya, mungkin saja Rian itu adalah anak kecil yang tengah bertanding hidup mati melawan raksasa seperti Nabi Daud melawan Goliath.

Tapi konspirasi global pemuja pantat tak akan mudah ditaklukkan begitu saja oleh Rian. Sebab, mengalahkan konspirasi global itu sama saja dengan membunuh hampir seluruh penghuni bumi. Tentu tidak fair kalau hanya karena pantat bumi harus kahilangan penghuninya.

***

“Kamu ditangkap, kamu sudah meresahkan masyarakat.”

Dan seorang polisi wanita pun menggelandang Rian masuk ke dalam mobil patroli. Ia didudukkan di belakang seperti tahanan.

“Saya salah apa bu ?” Rian mencoba protes.

“Sudahlah ikut saja ke kantor polisi.” Bentak polisi wanita itu tadi.

Rian sama sekali tidak sampai berpikir sejauh itu. Bahwa pekerjaannya menjaga pantat wanita adalah pelanggaran hukum. Inilah yang alpa dipelajarinya selama berguru pada lampu merah. Ada hukum yang bisa menjebloskannya ke dalam penjara hanya karena menjadi penjaga pantat wanita.

Tak perlu waktu lama untuk memproses tahanan seperti Rian. Cukup satu dua pertanyaan, terus langsung jebloskan saja ke hotel prodeo. Beres.

Sejak Sabtu pagi hari ketika ia diciduk oleh seorang polisi wanita itu, maka Rian kini sudah menjadi anak yang merdeka. Hidupnya ditanggung negara dan ia tak lagi harus menjadi penjaga pantat wanita di lampu merah. Biarlah konspirasi global itu yang mengurus pantat para wanita. Juga, para pemuja pantat wanita.

“Dasar pantat.” Rian geram, perjuangannya berujung pada bilik terali penjara.

Batam, 5 September 2005

(Terbit di Harian Batam Pos, 11 September 2005)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun