Mohon tunggu...
Saibansah Dardani
Saibansah Dardani Mohon Tunggu... Wartawan -

Warga Batam, Pengamat Perbatasan, Pecinta Jurnalistik. "Aku Menulis, Maka Aku Ada." saibansahdardani@yahoo.com 0816-1379708 atau 082171208791 WA : 0851-01221734

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kembali ke Tanah Gersang

26 Januari 2016   17:55 Diperbarui: 28 Januari 2016   07:00 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melaju di jalan tanah membuat goncangan mobil begitu terasa, apalagi baru saja melaju di atas aspal mulus. Terasa sekali bedanya. Tapi apa arti goncangan jalan tanah dibandingkan dengan keinginan di kepala Hari yang ingin segera dituntaskannya itu.
“Ya berhenti di sini Pak Man.”

***

Maman tak melihat apa-apa, kecuali tanah kosong yang sebagian sudah dimatangkan oleh investor asal Singapura. Di atas tanah itu juga tak ada apa-apanya, kecuali sisa-sisa kayu yang kebanyakan sudah mongering. Sorot mata Hari begitu tajam menatap setiap jengkal dari tanah seluas lebih dari sepuluh hektar itu. Ia tak peduli dengan sepatu Bally-nya yang tak tampak hitam lagi. Bekas tanah becek telah merubah sepatu Hari menjadi seperti kaki petani yang baru mentas dari sawah.

Seperti biasa, Maman menekan dalam-dalam hasrat ingin tahunya. Ia hanya mengikuti saja langkah Hari. Ia tak tega membiarkan Hari terjerembab sendiri dalam hasratnya. Karena itu, Maman tetap mengikuti langkah Hari dari belakang meski sudah dilarang.

“Di sini ada keagungan dan kebajikan bumi Pak Man.” Hari membunuh hening. Maman tidak menyahut, hanya mendengar.
“Kebajikan dan kegagunan yang tak dimiliki langit, itulah yang pernah menyulut cemburu langit.”
“Saya tak mengerti Pak Hari.”

“Ya, langit akhirnya tak kuasa menahan hasratnya. Ia ingin bertemu dengan lelaki pilihan. Sebab ia tahu, takkan ada lagi lelaki pilihan setelah yang satu itu.” Hari memaparkan isi di kepalanya.

“Saya tetap tak mengerti Pak Hari.”
“Kecemburuan itulah yang dijawab dengan menerbangkan lelaki pilihan itu ke semua lapis langit. Untuk memuaskan hasrat para langit.”

“Saya tetap saja tak mengerti Pak Hari, saya ingin kembali ke tanah gersang.”
Hari tak menyahut, hanya mengangguk pelan.

Batam, 16 September 2005

(Terbit di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jakarta dan Buku 100 Tahun Cerpen Riau yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun