Mohon tunggu...
Saibansah Dardani
Saibansah Dardani Mohon Tunggu... Wartawan -

Warga Batam, Pengamat Perbatasan, Pecinta Jurnalistik. "Aku Menulis, Maka Aku Ada." saibansahdardani@yahoo.com 0816-1379708 atau 082171208791 WA : 0851-01221734

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kembali ke Tanah Gersang

26 Januari 2016   17:55 Diperbarui: 28 Januari 2016   07:00 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Ilustrasi tanah gersang karya kaskus.co.id

SUDAH sangat lama langit menahan hasratnya. Sudah begitu banyak pula waktu berlalu, tapi hasrat langit belum juga ternoda. Kali ini, hasrat itu begitu membuncah, dan langit pun tak sangup lagi untuk menahan hasratnya. 

“Mengapa Kau biarkan kami hanya bisa memandang bumi.”
“Sebab kamu harus banyak belajar dari bumi.”
“Ya, tapi sudah cukup banyak yang telah dinikmati bumi.”
“Itulah buktinya, kamu masih harus banyak belajar dari bumi.”
“Apa lagi yang harus kami pelajari dari Bumi.”

Bumi tak pernah mengeluh ketika dihunjam gada, tak pernah mengaduh ketika tersedot isi perutnya. Dan bumi, tak pernah merasakan sakitnya mehanan beban yang menghantam jatungnya. Sebab bumi telah bersetubuh dengan lelaki pilihan.
“Itulah yang harus kamu pelajari dari bumi.”

***

“Hari ini jangan jemput Rina ya Pak Man, dia mau langsung ke Semarang.”
“Baik Pak.” Maman tak pernah menanggalkan sikap santunnya.

Itulah yang membuat keluarga Hari tak pernah rela membiarkan Maman pergi dari rumah mereka. Meski entah sudah berapa kali lelaki tua itu meminta izin untuk pulang kampung. Maman masih ingat, sebelas tahun lalu, ketika itu usianya sudah berkepala lima lebih tiga tahun. Ia mengumpulkan keberanian menyampaikan seluruh kekuatan dirinya untuk pulang kampung.

Malam itu, Hari dan istrinya, Rina, serta anak semata wayangnya, Dodi baru saja menyelesaikan makan malam. Maman yang sudah mereka anggap sebagai ayah, duduk di kursi meja makan yang kosong.
Meski pantas dipanggil nak, tapi Maman selalu menyapa Hari dengan pak.
“Pak Hari, rasanya sudah waktunya saya pulang ke Gunung Kidul.”

Permintaan Maman tak langsung direspon oleh keluarga pedagang sembako itu. Hanya sorot mata mereka yang langsung menghunjam ke jantung Maman. Sampai akhirnya, Maman harus mengulangi lagi permintaannya itu. Tak hanya mengulang, Maman juga menceritakan tanah gersang di kampungnya. Tanah itulah warisan satu-satunya Karso, bapaknya. Bagi Maman, sudah waktunya ia kembali ke tanah gersang itu.

“Tinggalah di sini saja Pak Man, keluarga ini tak lengkap kalau bapak pergi.” Hari mencoba menganulir permintaan Maman.
“Iya Pak Maman, bapak sudah jadi ayah bagi kami, dan kakek bagi Dodi, tinggalah di sini saja,” Rina menambah semakin jauh jarak harapan Maman untuk kembali ke tanah gersang.
Sejak itu, Maman kerap bersitegang dengan dirinya sendiri. Ia harus siaga membunuh keinginan-keinginan untuk kembali pulang ke tanah gersang itu. Baginya, mendampingi perjalanan hidup keluarga Hari adalah jalan hidupnya saat ini, bukan kembali ke tanah gersang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun