Tari gandai adalah kesenian lokal berupa tari-tarian dari daerah Kabupaten Mukomuko khususnya suku Pekal, Bengkulu. Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber tari gandai tercipta dari cerita mitos kisah Malin Deman dan Puti Bungsu. Tarian ini biasanya diadakan ketika ada acara baimbang (pesta pernikahan), acara resmi pemerintahan misal kunjungan pejabat ke daerah-daerah, pembukaan acara resmi di kantor desa, camat, bupati atau provinsi dan acara khusus seperti syukuran sehabis panen, sunat rasul, penutupan lebaran. Tari gandai menjadi ikon tradisi dan budaya masyarakat Mukomuko dan suku pekal khususnya. Tari gandai dimaknai tidak hanya sebatas kesenian, pergerakan anggota tubuh tetapi lebih daripada itu menjadi "ruh" kehidupan suku Pekal terkhusus lagi warga Desa Talang Baru Kecamatan Malin Deman. Ada beberapa nilai filosofis yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang diajarkan oleh tari gandai seperti; keseimbangan alam, silaturahmi, hiburan, identitas sosial dan kesantunan berbahasa.
Keseimbangan AlamÂ
Tari gandai mengajarkan masyarakat untuk hidup berdampingan dengan alam dan memanfaatkan alam untuk sumber kehidupan masyarakat sekitarnya. Bukan menjadikan alam sebagai bahan eksploitasi yang bisa merusak ekosistem  dan keseimbangan. Dalam pantun yang dilantunkan oleh tukang pambak (tukang pantun) menyebut beberapa kalimat yang berhubungan dengan alam dan lingkungan. Sebagai salah satu contoh adalah kata paneh samilan bulan (panas Sembilan bulan) yang mengisyaratkan kemarau panjang. Kalau kita teropong secara mendalam, sembilan bulan itu adalah waktu yang digunakan oleh ibu mengandung anaknya sebelum lahir ke dunia, artinya anak yang lahir akan mengalami masalah pangan jika alam rusak dan dicemari. Untuk itulah dahulu di desa Talang Baru, sehabis panen padi, apalagi sudah sampai nisab biasanya mereka akan mengadakan acara bagandai sebagai rasa syukur atas pemberian yang maha kuasa. Selain itu ada kata biduk buhuk (biduk/perahu usang) yang secara filosofi dimaknai bahwa kehati-hatian dalam menjalani kehidupan. Karena dulunya wilayah Desa Talang Baru berada di sekitar aliran sungai Batang Muar, sehingga alat transportasi yang digunakan adalah biduk atau perahu yang berukuran kecil. Ketika mendayung perahu usang biasanya sangat hati-hati dan penuh pertimbangan supaya perahu tidak masuk air atau karam.
Kalimat berikutnya yang dilekatkan dengan kata biduk buhuk adalah pangayuk patak (pengayuh patah). Bisa kita bayangkan ketika berada di tengah sungai dengan perahu yang using terkadang bocor dengan kondisi kemudi  berupa pengayuh patah. Tentunya ini menjadi alarm bahwa kondisi ini suatu saat bisa jadi benar-benar datang jika masyarakat tidak mengantisipasi dan mencari alternatif penyelesaian. Jauh sebelum tahun 90-an seingat penulis, untuk mencari tiang rumah yang berupa kayu keras dan tahan lama mesti ada rapat dan persetujuan dari masyarakat paling tidak dari anggota kaum. Hal ini dilakukan agar kondisi yang disebutkan dalam pantun tidak akan terjadi untuk anak cucu kemudian  hari. Tanaman yang berbuah musiman seperti durian tidak boleh ditebang sembarangan apalagi buahnya di-pukang (lempar). Hal ini dilakukan semata hanya untuk menjaga keseimbangan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat. Jika satu pohon durian berbuah, maka satu kaum (kelompok) akan menikmati buahnya dengan cara  menggilirkan untuk mengambi durian yang jatuh. Biasanya masyarakat menyebutnya dengan istilah ngadang dian (menunggu buah durian jatuh) sehingga masing-masing rumah dalam kaum tertentu bisa merasakan manisnya durian. Masih banyak kosakata lain yang menurut penulis bercerita tentang alam seperti kuaw litok (Kuaw yang lelah), cecok atah loteng (cicak diatas loteng) lori, elang maraok kek upun padi (elang akan hinggap di rumpun padi).
Hiburan semua kalanganÂ
Kedua, tari Gandai menjadi hiburan yang dinantikan oleh masyarakat Pekal, khususnya warga Talang Baru. Seluruh lapisan masyarakat, dari anak-anak hingga orang tua, menyambut gembira acara Bagandai. Acara ini tidak hanya dihadiri oleh warga setempat, tetapi juga menarik perhatian masyarakat dari desa-desa tetangga, seperti Talang Arah, Semundam, Sibak, Serami Baru, Lubuk Talang, Ipuh, dan Air Rami. Kehadiran muda-mudi dari berbagai desa membuat acara ini menjadi ajang mempererat silaturahmi, bahkan tak jarang menjadi momen bertemunya jodoh. Bagi warga yang lelah setelah bekerja, acara ini menjadi hiburan gratis yang sangat dinantikan. Mereka datang bersama keluarga dan sanak saudara, mengenakan pakaian paling bagus. Pada era 1990-an, para pemuda biasanya mengenakan pakaian rapi lengkap dengan parfum merek Camelia dan minyak rambut Tancho. Sementara itu, para perempuan menggunakan minyak rambut urang-aring, parfum Mandom berbentuk tisu basah, bedak Kelly, dan deodoran Harum Sari yang dikemas dalam bentuk saset .
 Acara Gandai tidak hanya menghadirkan tarian fisik seperti gerakan gemulai dari para anok gandai, tetapi juga keseruan pantun-pantun yang dilantunkan oleh para tukang pambak (tukang pantun). Kadang-kadang, pantun-pantun ini saling bersahutan, menciptakan suasana meriah. Menariknya, pada masa itu, pantun juga menjadi salah satu cara muda-mudi berkenalan. Mereka bisa "memesan" pantun kepada tukang pambak sesuai kondisi yang diinginkan. Kalau lagi kasmaran dan ingin berkenalan maka dua baris terakhir pantun berbunyi:
Kalu bulek kami batanyu, yang baju sihak sapu namunyu
(Kalau boleh kami bertanya, yang berbaju merah siapa namanya?)
Orang yang merasa "disindir" akan bereaksi, entah dengan membalas pantun sendiri atau memesan balasan kepada tukang pambak. Suasana pun semakin hidup dengan sorak-sorai penonton dan tepuk tangan yang menguasai malam di sekitar tempat acara. Biasanya, acara Gandai semakin istimewa jika digelar oleh sepangkalan (tuan rumah) pada acara baimbang (pesta pernikahan). Tidak jauh dari lokasi acara, para bapak dan remaja laki-laki sering berkumpul untuk bermain domino sambil menikmati hiburan Gandai. Permainan ini menjadi hiburan tersendiri yang sudah melekat dengan acara pesta, bermain domino semakin "afdol" jika ditemani kopi hitam manis (apalagi bubuk kopinya hasil dari kebun masayarakat sendiri) dan endang kacang (kacang rendang).
Pada masa itu, belum banyak hiburan seperti TV, apalagi YouTube, TikTok, Instagram, atau WhatsApp. Kehadiran Gandai benar-benar menjadi momen yang dinanti. Ketika suara sunai (seruling) Nek Karedot (alm) terdengar, penulis langsung mengenakan pakaian terbaik dan mengajak teman-teman untuk segera pergi ke acara. Sampai saat ini, setiap kali mendengar suara seruling berpadu dengan edap (gendang kecil) dan lantunan pantun dari Ebe Inot, seorang tukang pambak senior, saya merasakan euforia yang luar biasa---bahkan lebih dari menghadiri konser musik.
Potret identitas sosial masyarakat
Yang ketiga, gandai adalah potret nyata identitas dan budaya masyarakat pekal desa Talang Baru. Karena ketika acara bagandai ada transfer kebudayaan dan tradisi yang sebenarnya yang ingin diwariskan kepada generasi muda dan orang-orang yang datang menonton secara tidak langsung. Gandai mengajarkan dengan jelas "hitam diatas putih" antara peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan. Anak gandai tidak pernah ada yang laki-laki, tetua warga desa memegang teguh prinsip bahwa gerakan yang gemulai, kecantikan, bergincu (mengenakan lipstick) Â atau babedok (menggunakan make up) hanya milik perempuan. Tidak ada tawar menawar, mau sebagus apapun gerakan laki-laki dalam bagandai tetap tidak ada ruang untuk mereka jadi anak gandai. Dahulu, anak gandai wajib mengenakan kebaya dan baju lengan penajang yang menutup aurat. Akan menjadi sangat tabu jika ada anak gandai menggunakan celana apalagi jenis jeans ketat seperti saat ini. Emak-emak pun yang mau ikut bagandai wajib mengenakan kain Panjang atau yang biasa disebut kain jarik yang dililitkan dipinggang yang panjangnya samapi mata kaki. Di awal-awal kehidupan moderen mulai masuk, sekitar tahun 1997-an kalau tidak silap, pernah kejadian salah satu tokoh masyarakat marah karena ada anak gadis yang menari dengan menggunakan celana jeans. Beliau (sudah almarhum) menyuruh gadis tersebut memakai kain Panjang menutupi pinggang. Begitu peduli masyarakat pada saat itu, kalau sekarang sudah banyak yang "cuek bebek" saja melihat hal-hal yang seperti ini.
Selanjutnya, tukang antar makanan dan minuman khususnya acara baimbang, harus berpasang-pasangan dengan atribut kopiah, baju putih lengan panjang, sepatu hitam dan celana berwarna gelap dan rapi. Sedangkan perempuan menggunakan kebaya, rapi dan berjilbab, bagi yang tidak mau berjilbab rambut mesti tidak boleh tergerai. Hal ini dilakukan dengan maksud; orang-orang akan mengetahui bahwa mereka petugas resmi yang ditunjuk tuan rumah sebagai seksi konsumsi. Jika seandainya ada tamu yang minta tambahan kopi mereka bisa memanggil petugas tersebut. Ada hal yang unik dan selalu dinanti oleh orang banyak adalah pemilihan pasangan itu sendiri. Petugas ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu yang utama adalah tidak ada kedekatan hubungan kekeluargaan yang biasa disebut kalawai (abang/adik/saudara laki-laki) dan manai (abang/adik/saudara perempuan). Biasanya mereka yang terpilih menjadi partner ini, kebanyakan mereka yang lagi tahap pedekate, atau mereka yang dianggap cocok. Sehingga mereka akan "dipantau" oleh mata emak-emak yang penasaran dan juga muda-mudi.
Meja penonton ditutupi dengan kain panjang yang diatasnya diletakan bunga-bungaan dan asbak rokok. Tidak semua penonton mendapat meja, ini hanya bagian depan saja dan itupun pada umumnya diisi oleh petinggi desa seperti kepala desa, kepala kaum, ketua pemuda atau tamu dari luar daerah. Kain panjang menegasikan simbol kesederhanaan, persamaan dan kasih sayang. Yang terpenting bukan masalah taplak meja, tetapi bagaimana tari gandai bisa membawa kebahagian bagi yang menonton dan hiburan tidak perlu mahal. Kain panjang dimiliki oleh setiap rumah di Talang Baru, sehingga tidak ada jurang antara yang kaya dengan miskin ketika melihat hiburan tari gandai. Kain panjang juga merupakan simbol kasih sayang, konon katanya sebagai "tanda jadi" ketika  jatuh cinta orang-orang dulu adalah kain panjang. Ketika perempuan sudah menerima kain panjang dari sang cowok, maka pada saat itu sang perempuan dianggap menerima cintanya.
Kebersamaan dan kesantunan berbahasa
Keempat, gandai mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan kesantunan berbahasa. Tari dilaksanakan secara berkelompok, jika satu saja melakukan gerakan yang salah akan berpengaruh kepada kawan-kawan yang lain. Begitu juga dalam kehidupan masyarakat, jika ada satu orang yang membuat kekacauan maka akan berimbas kepada orang banyak tidak hanya pihak keluarga tetapi juga tetangga yang lain. Bahasa dalam pantun yang dilantunkan oleh tukang pambak penuh makna kiasan. Sehingga untuk memahaminya dibutuhkan kecerdasan bahasa yang sangat tinggi dan olah pikir yang bagus untuk mencerna diksi yang diucapkan seseorang.
Sekarang tari gandai mulai "kesepian" Â jarang dipentaskan ketika ada acara baimbang, kalah tenar dengan orgen tunggal yang artisnya membuat biji mata kaum adam melotot terus. Kalaupun ditampilkan "ruh" gandai telah hilang, anak gadis dengan pakaian kekinian yang serba ketat menarikannya. Bahkan beberapa ada yang tertawa terbahak-bahak ketika sedang menari, sehingga makna gandai yang dulu "special" berubah biasa-biasa saja dan hambar rasa penghormatan kepada tradisi. Saya khawatir suatu saat nanti gandai menjadi "anak tiri" di tengah masyarakat Talang Baru itu sendiri, sementara musik keyboard seperti orgen tunggal menjadi "anak kandung". Semoga generasi muda suku Pekal khususnya muda mudi desa Talang Baru "turun gunung" melestarikan tari gandai dan peduli dengan pegang pakai (adat istiadat). Â Â Â Â Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI