Shin Tae-yong, Bahasa, sepakbolaÂ
Fans sepakbola tanah air tersengat dengan berita pemecatan coach STY dalm dua hari ini. Keputusan ini membuat public sedikit terperangah dan beberapa tidak percaya. Kok bisa? Padahal rangking FIFA Indonesia melesat dari 170-an menjadi 127.Â
What's wrong? Kita tidak membahas secara secara substansi secara mendalam mengapa terjadi "PHK" oleh pihak PSSI, biarkan saja pakar yang berbicara sesuai dengan keahlian mereka. Pun juga tidak mendikotomi siapa yang salah dan tidak pada kejadian ini. Tetapi lebih kepada menganalisa pernyataan yang beredar di sosial media.
Dari beberapa info yang seliweran di lini masa sosial media menyebutkan bahwa kendala bahasa merupakan satu di antara banyak faktor yang menyebabkan digantinya STY. Memang sepenting itukah bahasa dalam sepakbola?
Bahasa sebagai Media Mengatur Strategi Permainan
Berbicara sepakbola tentunya berbicara taktik yang diinstruksikan oleh pelatih. Pada kondisi ini maka peran bahasa menjadi sangat penting untuk menyampaikan strategi apa yang dipakai dalam pertandinga.Â
Memang secara umum orang akan berasumsi bisa menggunakan bahasa tubuh jika pemain tidak mengerti yang diucapkan pelatih. Tetapi itu tidak semudah yang kita bayangkan butuh bahasa yang understanbale yang bisa ditangkap pesan oleh pemain.Â
Kalau sesama pemain tidak ada kendala yang besar, mereka tetap bisa menjalin komunikasi dengan menggunakan gestur atau insting mereka sebagai pemain. Tetapi kalau di level pelatih, ibarat manajer perusahaan, bahasa tidak hanya sekedar rangkaian kata-kata saja, lebih daripada itu. Bagaimana cara menjalankan taktik yang sudah dirancang, memberi motivasi bahkan memberi warning kepada para pemain.Â
Apalagi pada kondisi yang sedang genting, misalnya counter attack atau untuk men-delay permainan. Akan sangat beresiko jika pemain hanya melihat perintah bahasa tubuh ketika pemain lawan menguasai bola. Dalam kondisi seperti ini tentunya bahasa verbal yang dapat didengar jauh lebih efektif ketimbang memperhatikan gestur pelatih.Â
Lalu, bagaimana jika ada penerjemah? Dalam situasi genting, seorang pemain harus mengambil keputusan yang tepat sesuai instruksi pelatih. Jika instruksi tersebut harus diterjemahkan terlebih dahulu, beberapa detik krusial bisa terbuang sebelum pesan diterima oleh pemain.Â
Dalam sepak bola, bahkan satu detik saja dapat memengaruhi tempo dan arah permainan. Akibatnya, jika pesan terlambat sampai, permainan bisa berubah drastis dan berpotensi membawa konsekuensi fatal.
Bahasa sebagai Bentuk EkspresiÂ
Bahasa tidak pernah berdiri sendiri; ketika sebuah kalimat diucapkan, banyak implikasi yang dapat ditangkap tergantung pada nada, konteks, dan situasi.Â
Sebagai contoh, ketika seorang pelatih meneriakkan kata "run" (lari) kepada pemain, nada keras dapat mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemain yang kurang aktif, tidak membuka ruang, atau bahkan sebagai perintah untuk melakukan marking terhadap lawan.Â
Namun, jika perintah yang sama disampaikan oleh penerjemah dengan nada yang datar atau suara kurang tegas, artinya bisa berbeda. Pemain mungkin malah menggiring bola sendirian tanpa operan, berasumsi situasi belum darurat.
Nada dan ekspresi sangat menentukan pesan yang diterima. Sebuah perintah atau pernyataan dengan nada datar mungkin dianggap kurang penting, sementara perintah yang diteriakkan keras dan berulang kali jelas menunjukkan situasi darurat yang harus segera ditindaklanjuti.Â
Di ruang ganti, pelatih bisa memberikan evaluasi terhadap permainan baik itu berupa koreksi kesalahan atau apresiasi keberhasilan. Tentunya pelatih tidak hanya menggunakan bahasa universal dengan mengacungkan jempol tetapi butuh personal discussion yang akan memberikan motivasi dan semangat yang tidak bisa disampaikan oleh jempol.Â
Ini sangat penting karena chemistry yang terbangun antara pemain dan pelatih akan memberikan efek bagus terhadap tim dan performa permainan. Akan sangat absurd sekali jika setiap apresiasi hanya dengan bahasa tubuh, jika ini dilakukan belum menyentuh psikologi dari para pemain hanya pada level indrawi saja.
Coach STY, meskipun ia memahami istilah teknis sepak bola seperti heading, crossing, atau marking, agaknya ia belum menguasai bahasa Indonesia atau bahasa Inggris secara komunikatif.Â
Situasi ini menjadi lebih menantang dengan kehadiran pemain naturalisasi yang menggunakan bahasa Inggris atau Belanda. Pelatih harus mampu mengelola komunikasi dua bahasa: Bahasa Indonesia untuk pemain lokal dan bahasa Inggris untuk pemain diaspora. Situasi ini agak sedikit mirip dengan Mauricio Pocetthino seorang yang berkebangsaan Argentina berkesempatan melatih Southampton pada era 2013.Â
Salah satu kendala yang dihadapi oleh dia adalah faktor bahasa. Dalam sebuah wawancara dia menegaskan bahwa awal-awal masa kepelatihan bahasa tubuh merupakan pilihan mujarab yang dia ambil. Buktinya klub yang ia latih berhasil bertengger pada peringkat 9 EPL, hasil yang tidak begitu buruk untuk sekelas Premier League.Â
Bahasa sebagai Identitas dan KulturÂ
Filosofi ini betul-betul diamalkan oleh "The special one" sang juru taktik kelas wahid Jose Mourinho. Sebagai seorang arsitek permainan dia paham betul fungsi bahasa sebagai sebuah identitas sekaligus kultur. Makanya dia akan berusah belajar bahasa setempat tempt dimana ia melatih, selain bisa bahasa Portugis, dia menguasai Inggris, Spanyo, Italia, dan Prancis.Â
Tak mengherankan ia seorang polyglot yang tidak mengalami kedala bahasa ketika melatih di Eropa. Sehingga ia fokus kepada strategi, pencapaian tim bukan pada kendala teknis. Dia sangat paham bahwa bahasa tidak hanya sebatas ucapan saja tetapi bahasa lebih kepada bagaimana tradisi suatu negara. Â
Pep Guardiola ketika melatih Bayern Munchen menggunakan kalimat Guten Tag und Gr Gott untuk membuka sesi konfrensi pers. Ini ia lakukan tidak lebih sebagai bentuk penghormatan tuan rumah and "basa-basi" kepada pendukung klub asuhannya. Sehingga first impression berhasil dia kunci dengan sempurna yang membuat publik semakin percaya pada strategi yang akan dia terapkan.
Beruntung publik tanah air tidak "seganas" netizen negeri Catalan dalam hal penggunaan bahasa. Publik Spanyol sangat tegas dalam hal pemakaian bahasa lokal.
Menurut laporan Craig Williams yang terbit di The Guardian dengan judul "La Liga's Foreign Players Are Easy Targets Until They Master the Spanish Language" menyebutkan bahwa bagi masyarakat Spanyol kemampuan pemain asing menggunakan bahasa lokal adalah sebuah kewajiban. Bahkan mereka berasumsi kemampuan bahasa melebihi performa dan skill pemain itu sendiri.Â
Berkaca pada rakyat Catalan, ada benarnya juga apa yang disampaikan oleh pak ET bahwa bahasa menjadi kendala keharmonisan antara pelatih dan PSSI. Tentunya permasalahan "Language Barrier" hanya dalam eskalasi mikro saja, ada hal lain yang lebih substansi dibalik alasan "good bye" pelatih yang performm sangat luar biasa dalam mengangkat citra sepak bola Indonesia di mata internasional.Â
Sekali lagi, keputusan sudah diambil oleh ketua PSSI, like or dislike untuk saat ini sikap kita mesti menerima keputusan itu. Barangkali saja pak ET sudah menyiapkan pelatih yang "wah" yang bisa meloloskan Indonesia pada piala dunia 2026. Atau jangan-jangan akan memboyong "The special one" untuk merasakan atmosfer GBK pada Maret nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H