Mohon tunggu...
Syahrul Ramadhan
Syahrul Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa/Pemuda

Seorang yang hobi beropini, berpikir kritis, menganalisa dan menyelesaikan permasalahan hukum, berusaha membakukan intelektual, membaca buku terutama sejarah, hukum, filsafat, dan bermain game

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Putusan DKPP tentang Pelanggaran Etik Ketua KPU Hanyalah Serangan Politik ke Paslon Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024?

6 Februari 2024   16:20 Diperbarui: 6 Februari 2024   16:35 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

DKPP, tugas dan fungsinya menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum.

Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum atau yang selanjutnya disebut UU Pemilu telah dijelaskan mengenai definisi DKPP yakni pada Pasal 1 angka 24 yang menjelaskan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnyadisingkat DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanstaran kode etik Penyelenggara Pemilu.

Untuk Tugas dan Fungsi dari DKPP sendiri dijelaskan dalam Pasal 457 UU Pemilu yakni bahwasannya Pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 456 diselesaikan oleh DKPP. Adapun bunyi dari dari Pasal 456 ialah sebagai berikut: "Pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu merupakan pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang berdasarkan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebegai Penyelenggara Pemilu."

Siapa saja Penyelenggara Pemilu?

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 dijelaskan bahwasannya Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Lalu siapa saja pihak yang berhak melaporkan pelanggaran Pemilu/pelanggaran etik Pemilu ke DKPP?

Menurut ketentuan Pasal 458 ayat (1) dijelaskan bahwa Pengaduan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu diajukan secara tertulis oleh Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu, tim kampanye,masyarakat, dan/atau pemilih dilengkapi dengan identitas pengadu kepada DKPP. Untuk pelaksanaan teknis terkait pengaduan/pelaporan ini dijelaskan dalam Pasal 457 ayat (3) yakni Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu sebogeimana dimaksud pada diatur dalam Peraturan DKPP. 

Analisa Keputusan DKPP Nomor 135-141/PKE-DKPP/XII/2023

DKPP mendalilkan kewenangan KPU dalam mengeluarkan surat Keputusan KPU in casu yang dimaksud dalam Keputusan DKPP a quo pada hal. 186-188 yang menjelaskan sebagai berikut:

"Para Teradu menggunakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden selanjutnya disebut PKPU Nomor 19 tahun 2023) yang belum diubah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, tanggal 16 Oktober 2023. Selain itu, menurut Para Pengadu, Para Teradu telah keliru dalam menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 a quo, yaitu dengan menerbitkan surat kepada Partai Politik Peserta Pemilu dengan Nomor 1145/PL.01-SD/05/2023 perihal Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 17 Oktober 2023. Seharusnya menurut Para Pengadu, Para Teradu melakukan konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disingkat DPR) untuk melakukan perubahan PKPU akibat adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Terhadap hal tersebut, dalam sidang pemeriksaan terungkap fakta, sebagai berikut:

1. Bahwa benar pada tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait diterimanya permohonan pengujian Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat KPU) menggunakan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, di mana dalam syarat yang tercantum dalam Pasal 13 ayat (1) huruf q masih mengacu pada ketentuan Pasal 169 huruf q Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat UU Pemilu) sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.

2. Bahwa benar KPU menerbitkan Surat Nomor 1145/PL.01-SD/05/2023 perihal Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tanggal 17 Oktober 2023 (bukti T-6 dalam Perkara Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, bukti, Perkara Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, Perkara Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023 dan T-7 dalam Perkara Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), yang ditujukan kepada pimpinan partai politik peserta pemilu Tahun 2024, yang pada pokoknya meminta kepada partai politik untuk memedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, dalam tahapan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.

3. Bahwa pada tanggal 23 Oktober 2023 atau 7 (tujuh) hari setelah pembacaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 KPU berkirim surat kepada DPR dengan Surat Nomor 1219/PL.01.4-SD/08/2023, perihal Konsultasi Penyesuaian Peraturan KPU berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 (bukti T-7 dalam Perkara Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, Perkara Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023, Perkara Nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023 dan bukti T-8 dalam Perkara Nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023).

4. Bahwa pada tanggal 25 Oktober 2023 KPU mengajukan surat kepada Pihak Terkait Direktur Jenderal (selanjutnya disebut Dirjen) Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia perihal Permohonan Harmonisasi Rancangan Perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum. Kemudian atas permohonan tersebut, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membalas surat permohonan harmonisasi KPU tersebut dengan Surat Nomor PPE.PP.01.05 yang pada intinya meminta agar KPU terlebih dahulu melakukan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah sebagaimana syarat yang diatur dalam Pasal 75 ayat (4) UU Pemilu.

5. Bahwa pada tanggal 31 Oktober 2023 KPU telah melakukan konsultasi dengan DPR dan Pemerintah terkait usulan rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

6. Bahwa pada tanggal 1 November 2023 KPU kembali mengirimkan Surat Nomor 4338/HK.02-SD/08/2023 perihal Permohonan Harmonisasi Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Presiden dan Wakil Presiden kepada Pihak Terkait Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

7. Bahwa pada tanggal 1 November 2023 sekitar Pukul 19.00 WIB dilaksanakan harmonisasi rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Presiden dan Wakil Presiden.

8. Bahwa pada tanggal 3 November 2023 Rancangan Peraturan KPU tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan dan diundangkan."

Atas pernyataan dan fakta-fakta diatas DKPP berpendapat bahwa KPU menilai jika Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 adalah hukum yang mengikat bagi KPU selaku pemangku kepentingan. Hal ini didasarkan pada Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditegaskan kembali dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2012 yang dalam pertimbangan hukum halaman 75 dan 76 menyatakan:

"... Terhadap dalil para Pemohon bahwa Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 Mahkamah mempertimbangkan sebagai berikut: Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara lain, "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ...". Ketentuan tersebut jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat umum (erga omnes) yang langsung dilaksanakan (self executing). Putusan Mahkamah sama seperti Undang-Undang yang harus dilaksanakan oleh negara, seluruh warga masyarakat, dan pemangku kepentingan yang ada..."

Selanjutnya menurut DKPP, dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 halaman 56 secara jelas menyatakan: "... Dengan demikian, oleh karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya..."

Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, menurut DKPP dalam hal.188, KPU  memiliki kewajiban untuk melaksanakan Putusan MK diatas sebagai perintah konstitusi. Bahwa tindakan Para Teradu yakni Ketua KPU dan jajarannya menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi.

Kesimpulan

Dalam pendapat DKPP sudah jelas bahwa DKPP membenarkan bahwa Keputusan KPU untuk pengangkatan Capres & Cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming sudah sesuai dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Akan tetapi, ini merupakan "kecerobohan" Ketua KPK karena telah melanggar prosedur penetapan Capres-Cawapres a quo. Ini justru membahayakan kondisi politik di Indonesia. Karena framing terkait "Ketua KPU divonis melanggar etik" seakan-akan di framing membatalkan Keputusan KPU a quo padahal DKPP dalam putusan in casu tidak membatalkan Keputusan KPU a quo. Hal ini justru menimbulkan serangan politik kepada paslon Prabowo-Gibran seakan-akan mereka "mencurangi" atau "mengakali" KPU. Faktanya menurut DKPP dalam putusan in casu ini murni kesalahan dan "kecerobohan" Ketua KPU dan jajarannya sendiri. Kemudian dibarengi dengan Putusan MK yang bersifat erga omnes yang berarti langsung dilaksanakan (self executing) yang kemudian ditaati oleh Ketua KPU dan jajarannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun