Dunia pesantren penuh dengan sosok-sosok yang menginspirasi, dan bagi saya, RKH. Abdul Hamid AMZ, pengasuh keempat Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, adalah salah satu figur yang menjadi mercusuar kehidupan. Kharisma beliau terasa kuat di hati para rubuan santri, termasuk saya yang mudah-mudahan diakui sebagai santrinya.
Beliau adalah sosok dengan garis nasab yang sangat mulia. Dari sisi ayah, beliau merupakan putra dari Kiai Ahmad Mahfudz bin Kiai Zayyadi, yang menikah dengan Nyai Salma, kakak tertua dari Kiai Abdul Majid, pendiri Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Sedangkan dari jalur ibu, beliau adalah putra Nyai Tuhfah, putri Kiai Abdul Majid. Silsilah ini semakin menunjukkan betapa dalam akar keilmuan dan kebijaksanaan yang diwariskan oleh keluarga beliau, yang akhirnya bertemu di sosok kakek buyut, Kiai Abdul Hamid bin Istbat Banyu Anyar, seorang ulama besar pengarang kitab Tarjuman yang terkenal.
Meski demikian, saya, yang berasal dari desa kecil Sogian, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, tidak mengenal siapa beliau pada awalnya. Bahkan nama besar Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata baru saya dengar sekitar tahun 2000, ketika saya baru masuk MTs di pesantren terdekat di desa Sogian yaitu Pondok Pesantren Nurul Iman. Namun, seiring waktu, ada dorongan kuat dalam diri saya untuk menjadi bagian dari pesantren yang baru saya ketahui itu. Impian itu akhirnya terwujud di tahun 2004.
Pertemuan Pertama dengan RKH. Abdul Hamid: Kisah Awal Mondok di Pesantren Bata-Bata
Saat itu, diantar oleh kedua orang tua, saya akhirnya tiba di pesantren yang penuh dengan ribuan santri dan sumber akan ilmu sesuai namanya yaitu Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Ketika saya pertama kali bertemu dengan RKH. Abdul Hamid AMZ, rasanya seperti bertemu dengan seorang guru besar yang penuh wibawa. Orang tua saya memohon izin agar saya diterima menjadi santrinya, dan saya pun menunduk mencium tangannya. Beliau hanya berdawuh singkat, "Mau mondok?" Saya menjawab tegas, "Iya, Kiai." Dan beliau pun merespon lembut, "Semoga betah."
Mulai saat itulah saya resmi menjadi santri Mambaul Ulum Bata-Bata, bagian dari ribuan santri lainnya yang siap menimba ilmu dan menerima siraman kebijakan serta kebaikan dari para ustadz dan pengasuh di sana.
Kehidupan di Pondok dan Kesan Pertama Bertemu RKH. Abdul Hamid
Awal masa mondok saya tinggal di Blok/Asrama P, tepatnya di kamar P nomor 4. Saya berbagi kamar dengan teman-teman dari Pulau Masalembu, Sumenep. Keberagaman teman-teman santri di asrama menjadi salah satu pengalaman yang sangat berharga, terlebih dengan teman-teman dari Kecamatan Blega, Bangkalan, yang sangat kompak dan bersemangat dalam hal organisasi. Kebersamaan ini memperkaya pengalaman saya, memperluas cara pandang saya terhadap dunia di luar sana.
Namun, kehidupan pondok ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Awalnya, saya kira belajar di pondok adalah soal mudah, langsung menguasai berbagai ilmu agama. Nyatanya, hari-hari pertama terasa sangat berat. Sebagai santri baru, saya harus menunggu tes kelayakan kelas, dan atas saran keluarga, saya memilih jalur yang lebih menantang dengan tes masuk kelas VI MI B, meski pada akhirnya saya gagal dan harus turun kelas. Namun, dari kegagalan itulah saya justru bertemu dengan teman-teman cerdas yang membantu saya terus bertumbuh.
Salah satu momen yang tak pernah saya lupakan adalah ketika saya ikut pengajian Tafsir Jalalain bersama Kiai Abdul Hamid. Setiap sore, kami berkumpul di mushalla untuk mendengar beliau mengajar. Namun, bukan hanya tafsir yang saya dapatkan, tapi juga kata-kata bijak penuh hikmah yang selalu beliau selipkan di tengah-tengah pengajian. Salah satu dawuh beliau yang sampai sekarang tertanam dalam ingatan saya adalah kutipan hadis, "Apabila engkau memiliki sebiji kurma di tanganmu, maka tanamlah, meski esok kiamat." Dawuh ini seakan menyuruh saya untuk selalu optimis, meski keadaan tak selalu berpihak.
Baca juga: Nasihat Bijak Asma' binti Kharijah al-Fazari kepada Putrinya: Kunci Harmoni dalam PernikahanSosok yang Sederhana Namun Menginspirasi