Mohon tunggu...
Sahrul Anam
Sahrul Anam Mohon Tunggu... Guru - Konten kreator di channel YouTube Ruang Ngaji Online

Hanya Sekadar Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

RKH. Abdul Hamid AMZ Bata-Bata: Kiai yang Penuh Cinta dan Ketegasan

16 September 2024   13:48 Diperbarui: 16 September 2024   20:08 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
TIMES Indonesia/RKH. Abdul Hamid AMZ Bata-Bata

Dunia pesantren penuh dengan sosok-sosok yang menginspirasi, dan bagi saya, RKH. Abdul Hamid AMZ, pengasuh keempat Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, adalah salah satu figur yang menjadi mercusuar kehidupan. Kharisma beliau terasa kuat di hati para rubuan santri, termasuk saya yang mudah-mudahan diakui sebagai santrinya.

Beliau adalah sosok dengan garis nasab yang sangat mulia. Dari sisi ayah, beliau merupakan putra dari Kiai Ahmad Mahfudz bin Kiai Zayyadi, yang menikah dengan Nyai Salma, kakak tertua dari Kiai Abdul Majid, pendiri Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Sedangkan dari jalur ibu, beliau adalah putra Nyai Tuhfah, putri Kiai Abdul Majid. Silsilah ini semakin menunjukkan betapa dalam akar keilmuan dan kebijaksanaan yang diwariskan oleh keluarga beliau, yang akhirnya bertemu di sosok kakek buyut, Kiai Abdul Hamid bin Istbat Banyu Anyar, seorang ulama besar pengarang kitab Tarjuman yang terkenal.

Meski demikian, saya, yang berasal dari desa kecil Sogian, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, tidak mengenal siapa beliau pada awalnya. Bahkan nama besar Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata baru saya dengar sekitar tahun 2000, ketika saya baru masuk MTs di pesantren terdekat di desa Sogian yaitu Pondok Pesantren Nurul Iman. Namun, seiring waktu, ada dorongan kuat dalam diri saya untuk menjadi bagian dari pesantren yang baru saya ketahui itu. Impian itu akhirnya terwujud di tahun 2004.

Pertemuan Pertama dengan RKH. Abdul Hamid: Kisah Awal Mondok di Pesantren Bata-Bata

Saat itu, diantar oleh kedua orang tua, saya akhirnya tiba di pesantren yang penuh dengan ribuan santri dan sumber akan ilmu sesuai namanya yaitu Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Ketika saya pertama kali bertemu dengan RKH. Abdul Hamid AMZ, rasanya seperti bertemu dengan seorang guru besar yang penuh wibawa. Orang tua saya memohon izin agar saya diterima menjadi santrinya, dan saya pun menunduk mencium tangannya. Beliau hanya berdawuh singkat, "Mau mondok?" Saya menjawab tegas, "Iya, Kiai." Dan beliau pun merespon lembut, "Semoga betah."

Mulai saat itulah saya resmi menjadi santri Mambaul Ulum Bata-Bata, bagian dari ribuan santri lainnya yang siap menimba ilmu dan menerima siraman kebijakan serta kebaikan dari para ustadz dan pengasuh di sana.

Kehidupan di Pondok dan Kesan Pertama Bertemu RKH. Abdul Hamid

Awal masa mondok saya tinggal di Blok/Asrama P, tepatnya di kamar P nomor 4. Saya berbagi kamar dengan teman-teman dari Pulau Masalembu, Sumenep. Keberagaman teman-teman santri di asrama menjadi salah satu pengalaman yang sangat berharga, terlebih dengan teman-teman dari Kecamatan Blega, Bangkalan, yang sangat kompak dan bersemangat dalam hal organisasi. Kebersamaan ini memperkaya pengalaman saya, memperluas cara pandang saya terhadap dunia di luar sana.

Namun, kehidupan pondok ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Awalnya, saya kira belajar di pondok adalah soal mudah, langsung menguasai berbagai ilmu agama. Nyatanya, hari-hari pertama terasa sangat berat. Sebagai santri baru, saya harus menunggu tes kelayakan kelas, dan atas saran keluarga, saya memilih jalur yang lebih menantang dengan tes masuk kelas VI MI B, meski pada akhirnya saya gagal dan harus turun kelas. Namun, dari kegagalan itulah saya justru bertemu dengan teman-teman cerdas yang membantu saya terus bertumbuh.

Salah satu momen yang tak pernah saya lupakan adalah ketika saya ikut pengajian Tafsir Jalalain bersama Kiai Abdul Hamid. Setiap sore, kami berkumpul di mushalla untuk mendengar beliau mengajar. Namun, bukan hanya tafsir yang saya dapatkan, tapi juga kata-kata bijak penuh hikmah yang selalu beliau selipkan di tengah-tengah pengajian. Salah satu dawuh beliau yang sampai sekarang tertanam dalam ingatan saya adalah kutipan hadis, "Apabila engkau memiliki sebiji kurma di tanganmu, maka tanamlah, meski esok kiamat." Dawuh ini seakan menyuruh saya untuk selalu optimis, meski keadaan tak selalu berpihak.

Sosok yang Sederhana Namun Menginspirasi

Bagi saya, kesederhanaan Kiai Abdul Hamid adalah pelajaran tersendiri. Tidak hanya dari beliau, tetapi juga dari keluarga besar pengasuh pesantren yang tampil dengan kerendahan hati. Ini mengajarkan saya bahwa esensi kehidupan bukanlah apa yang tampak di luar, melainkan apa yang tertanam di dalam. Ketegasan beliau dalam mendidik dan menyikapi setiap persoalan juga memberikan teladan, bahwa menjadi seorang ulama bukan hanya soal menyampaikan pesan kebaikan, tetapi juga berani dalam menghadapi kebenaran dan kesalahan.

Saya teringat bagaimana beliau mengutip ayat "Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya." Dawuh ini mengajarkan bahwa dalam mendidik, terkadang kita harus tegas dan tidak memberikan kesempatan jika kesalahan sudah berulang kali dilakukan. Itulah salah satu ciri khas dari Kiai Abdul Hamid: lemah lembut dalam cinta, namun tegas dalam kebenaran.

Tidak hanya itu, keramahan dan kepedulian beliau terhadap sesama, bahkan terhadap para khodim-nya, selalu menjadi inspirasi. Saya ingat betul ketika salah satu putra beliau, Gus Thohir Zain, yang pernah mengajar saya dan bahkan meminta saya melayani beliau saat para khodim sedang pulang. Meski tugas itu seharusnya menjadi rutinitas biasa, namun cara beliau memperlakukan kami, santri-santrinya, selalu dengan ucapan terima kasih yang tulus.

Wafatnya Sang Kiai yang Dicintai

Kepergian beliau pada Jum'at sore, 15 Januari 2021, kurang lebih empat tahun yang lalu, meninggalkan duka yang mendalam bagi ribuan santri, alumni, masyarakat dan umat, termasuk saya, santri yang pernah merasakan didikan beliau pasti merasakan kehilangan yang tak terukur. Sosok yang penuh cinta, tegas, namun sederhana, empat tahun sudah beliau telah berpulang ke haribaan-Nya. Namun, dawuh-dawuh beliau, nasihat yang menyejukkan, dan keteladanan yang beliau tanamkan akan selalu hidup dalam hati kami, santri-santrinya.

Saya hanya bisa berharap, di dunia dan di akhirat kelak, saya diakui sebagai santri beliau. Semoga Allah selalu merahmati Kiai Abdul Hamid dan memberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Amin.

Sahrul Anam
Berau, 12 Rabi'ul Awal 1446 H/16 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun