MENDEKATI penghujung akhir tahun 2016, hubungan dua pemerintah serumpun (berbeda negara tetapi sama-sama terletak di perbatasan) kembali memanas. Hubungan Pemerintah Kabupaten Nunukan dan Pemerintah Tawau-Sabah Malaysia kembali diwarnai kekisruhan sebagai buntut adanya serentetan kebijakan sepihak yang dikeluarkan oleh Pemerintah Tawau-Sabah. Kebijakan ini dinilai merugikan pihak Pemerintah Kabupaten Nunukan.
Seperti contohnya kebijakan Pemerintah Tawau beberapa bulan lalu, tepatnya Bulan Mei, yang melarang semua kapal-kapal berbadan kayu asal Nunukan yang biasanya mengangkut sembilan bahan pokok (sembako) untuk merapat di Dermaga Tawau.
Kebijakan sepihak ini sontak menuai protes keras, baik dari para pengusaha kapal asal Nunukan maupun Pemerintah Kabupaten Nunukan. Karena kebijakan ini sama saja artinya akan mematikan mata pencaharian para pengusaha kapal asal Nunukan.
Belum kelar masalah pelarangan kapal-kapal kayu pengangkut barang sembako, pada bulan Oktober, muncul lagi masalah baru. Kali ini dipicu oleh pihak Majelis Keselamatan Negeri Sabah Malaysia yang memberlakukan pelarangan masuk bagi kapal-kapal nelayan asal Indonesia ke Pelabuhan Tawau untuk memasarkan hasil tangkapan ikannya. Kebijakan ini pun juga menuai reaksi keras dari para nelayan asal Nunukan dan Pemkab Nunukan. Sebab jelas kebijakan sepihak ini akan merugikan para nelayan Nunukan.
Tidak berselang berapa lama, dengan dua kebijakan sebelumnya, pada awal bulan Desember Pihak otoritas pengelola pelabuhan Tawau mengeluarkan sebuah maklumat baru yang ditujukan bagi setiap kapal pengangkut penumpang yang melayani rute Nunukan-Tawau (yang akan merapat ke pelabuhan Tawau) untuk dikenakan penyesuaian tarif baru. Kapal diharuskan membayar karcis masuk 15 Ringgit Malaysia (RM). Begitupun saat akan berangkat meninggalkan Pelabuhan Tawau, setiap kapal penumpang akan dikenakan membayar tarif karcis keluar 15 RM.
Sebagai akibat adanya aksi pemogokan ratusan jumlah penumpang warga Nunukan maupun warga Tawau yang ingin menyeberang ke Tawau tertahan di Pelabuhan Tunon Taka Nunukan. Mereka tidak dapat menyeberang. Pemandangan yang sama terlihat di Pelabuhan Bandar Tawau. Ratusan jumlah penumpang asal Nunukan maupun warga Tawau-Sabah Malaysia yang hendak berlibur tidak dapat menyeberang ke Nunukan.
Mari mencermati hubungan dua pemerintah yang berbatasan antara Pemerintah Kabupaten Nunukan dengan pihak Kerajaan Tawau-Sabah Malaysia. Selama ini, memang tidak pernah sepi dari berbagai hal persoalan perbatasan yang kadang memicu naiknya tensi hubungan kedua wilayah yang saling berbatasan.
Dan kalau mau jujur, asal muasal penyebab permasalahannya sesungguhnya lebih banyak disebabkan ulah ketidakkonsistenan sikap yang ditunjukkan pihak Pemerintah Tawau atas apa yang telah disepakati dan diputuskan bersama dalam forum Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo). Sebab hampir semua regulasi yang mengatur hubungan Nunukan-Tawau telah dibahas dan disepakati dalam forum pertemuan Sosek Malindo.
Pemerintah kerajaan Tawau, dalam membuat sebuah kebijakan, cenderung selalu keluar dari frame kesepakatan. Lebih berpihak pada kepentingan dalam negerinya sendiri. Tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak Pemerintah Kabupaten Nunukan. Sebagai dampaknya, pihak Pemkab Nunukan lebih banyak dirugikan. Menghadapi dan menyikapi persoalan perbatasan yang selama ini kerap mengganggu hubungan kedua Pemerintah, Nunukan-Tawau, Pemerintah Kabupaten Nunukan selalu merespon dengan mengedepankan upaya jalan dialog dengan pihak Pemerintah Tawau.
Pemkab Nunukan menyadari benar bahwa Kabupaten Nunukan dan masyarakat Nunukan khususnya, memiliki tingkat ketergantungan ekonomi pada Tawau sangat besar. Sehingga memandang perlu selalu menjaga dan memelihara hubungan baik dengan pihak Pemerintah Tawau. Sekadar contoh kecil, sembilan bahan pokok (Sembako) Kabupaten Nunukan masih dipasok dari Bandar Tawau. Begitu juga dengan wilayah Kecamatan Nunukan yang berada di pelosok pedalaman, yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia, kebutuhan pokok sehari-hari masyarakatnya masih bergantung pada Negeri Jiran seperti Kecamatan Krayan kebutuhan pokok sehari-hari warga masyarakatnya disuplai dari Sabah dan Serawak.
Belum lagi menyangkut Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang hampir saban hari menyeberang dari pelabuhan Tunon Taka Nunukan menuju Bandar Tawau untuk mencari kerja. Bupati Nunukan, Asmin Lauran Hafid, memahami dan menyadari benar kondisi ekonomi Kabupaten Nunukan yang belum sepenuhnya mandiri. Sehingga sangat penting tetap menjaga hubungan baik dengan pihak Pemerintah Tawau.
Kendati di luar upaya jalan dialog yang dilakukan Bupati Laura Hafid, terdengar suara lantang yang meminta Pemkab Nunukan sekali waktu bersikap tegas terhadap Pemerintah Tawau-Sabah. Demi menjaga harga diri dan martabat sebagai sebuah bangsa. Kebijakan sepihak yang kerap diambil dari Pemerintah Tawau jelas adalah cerminan sikap arogan, yang tidak dilandasi itikad baik sebagai dua wilayah yang saling bertetangga dekat. Sejatinya Pemerintah Kabupaten Nunukan cukup memiliki amunisi, andai ingin bertidak tegas terhadap Pemerintah Tawau.
Sebagaimana diketahui bahwa penduduk Kota Tawau mayoritas berasal dari Indonesia. Dan denyut roda perekonomian Bandar Tawau separuhnya digerakkan tenaga kerja yang notabenenya adalah orang-orang Indonesia asal Nunukan. Mulai dari profesi kerja sebagai pembantu rumah tangga, penjaga toko, pedagang, pekerja konstruksi, pekerja di perkebunan, hampir seluruhnya tenaga kerja asal Indonesia.
Seperti kasus insiden ada jotos antara pihak kepolisian Krayan dengan Tentara Diraja Malaysia (TDRM) beberapa bulan lalu, pada salah satu tempat hiburan di wilayah Krayan yang sempat membuat suasana perbatasan Krayan-Sabah diliputi ketegangan. Sebagai buntut dari insiden tersebut, pihak Malaysia dengan sikap tidak dewasa, sempat melakukan aksi penutupan pos lintas batas wilayahnya yang menyebabkan masyarakat Krayan kesulitan mendapat pasokan BBM dan kebutuhan pokok.
Dan jangan lupa, potensi komplik selalu terbuka, karena harus diakui sepanjang sejarah hubungan Jakarta-Kuala Lumpur juga tidak lepas dari dinamika perang dingin. Masih segar dalam ingatan, pemerintah dan masyarakat Indonesia pernah berang terhadap Pemerintah Malaysia akibat ulah konyol Malaysia, yang mengklaim sepihak beberapa warisan budaya milik Indonesia, seperti budaya Reog Ponorogo, tarian Tor-tor Batak, lagu daerah Rasa Sayange.
Selain itu yang tak kalah sensitifnya, hubungan Indonesia-Malaysia sampai saat ini masih menyimpan bara terkait persoalan isu Blok Ambalat dan soal isu TKI ilegal. Tak dapat dinafikan bahwa sederet kebijakan Pemerintah Tawau yang dipersembahkan sebagai kado pahit akhir tahun bagi Pemkab Nunukan tidak bisa di jauhkan dari persoalan isu Blok Ambalat dan isu TKI ilegal yang masih jadi ganjalan hubungan Jakarta-Kuala Lumpur.