Di era modern ini, peran pemuda dalam politik seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan umum. Pemuda memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan opini publik dan arah kebijakan politik. Fenomena yang semakin marak adalah keterlibatan mereka dalam politik yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi. Politik pengakuan diri mengacu pada kebutuhan individu atau kelompok untuk diakui eksistensinya, hak-haknya, dan identitasnya.
Seringkali pengakuan diri pemuda, yang berupaya mengekspresikan identitas dan aspirasi mereka, bisa terjebak dalam apa yang disebut sebagai politik encer, Politik encer, atau politik yang berfokus pada pengakuan identitas, dapat menjadi pedang bermata dua. Sementara itu dapat menciptakan ruang bagi individu untuk bersuara, ia juga dapat memperkuat batasan-batasan yang mengisolasi kelompok-kelompok tertentu. Dalam konteks ini, pemuda dapat terjebak dalam identitas yang sempit, yang pada gilirannya mengarah pada fragmentasi sosial dan politik. Sehingga pemuda hari ini seringkali terjebak dalam permainan politik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi mereka, sehingga mengabaikan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi landasan dalam berpolitik.
Slavoj zizek, seorang filsuf kontemporer, mengkritik cara pandang ini. Ia berargumen bahwa fokus berlebihan pada pengakuan identitas dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu struktural yang lebih besar. Menurut Zizek, ketika pemuda terjebak dalam politik pengakuan diri yang terlalu individualistis, mereka mungkin kehilangan pandangan terhadap solidaritas kolektif yang diperlukan untuk perubahan sosial yang substansial.
Zizek juga menyebutkan pentingnya memahami bahwa identitas bukanlah hal yang tetap, melainkan konstruksi sosial yang terus berubah. Dalam hal ini, pemuda perlu menyadari bahwa perjuangan mereka tidak hanya untuk pengakuan individu, tetapi juga untuk keadilan dan kesetaraan dalam skala yang lebih luas.
Politik Pegakuan Diri dan Kehendak Untuk Berkuasa
Dalam upaya mencapai tujuan pribadi, banyak pemuda yang rela mengorbankan integritas. Mereka sering kali menggunakan manipulasi, fitnah, dan strategi licik untuk mengalahkan lawan. Hal ini menciptakan iklim politik yang penuh dengan permusuhan dan ketidakpercayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, "Kekuatan tidak datang dari kemampuan fisik, tetapi dari kehendak yang tak terputus." Namun, kehendak yang dimaksud sering kali disalahartikan menjadi keinginan untuk meraih kekuasaan dengan cara yang tidak etis.
Kehendak untuk berkuasa sering kali mengubah pemuda menjadi sosok yang siap menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Dalam konteks ini, ambisi yang besar bisa berpotensi mengorbankan etika dan moralitas.
Friedrich Nietzsche dalam bukunya "Thus Spoke Zarathustra" menyatakan, "Keinginan untuk berkuasa adalah salah satu dorongan paling mendalam dalam diri manusia." Pernyataan ini menekankan bahwa hasrat untuk berkuasa merupakan bagian intrinsik dari sifat manusia. Pemuda yang terobsesi dengan kekuasaan cenderung menganggap bahwa segala cara sah untuk meraihnya, terlepas dari konsekuensi yang ditimbulkan.
Jean-Paul Sartre juga menambahkan, "Kebebasan adalah beban; ketika kita bebas, kita bertanggung jawab atas pilihan kita." Dalam hal ini, pemuda yang mengejar kekuasaan sering kali mengabaikan tanggung jawab moral mereka. Mereka dapat terjebak dalam pragmatisme, di mana tujuan menghalalkan cara, tanpa memikirkan dampak sosial dan etis dari tindakan mereka.
Di sisi lain, Machiavelli dalam "The Prince" mengungkapkan bahwa "Tujuan membenarkan cara." Pandangan ini sering dijadikan landasan bagi mereka yang percaya bahwa manipulasi dan pengkhianatan adalah strategi yang sah untuk mencapai kekuasaan. Dalam konteks ini, pemuda yang terobsesi dengan kekuasaan dapat mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi ambisi pribadi.
Kehendak untuk berkuasa bisa membuat pemuda terjebak dalam spiral tindakan yang Dengan menghalalkan segala cara, mereka tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga diri mereka sendiri. Ketika ambisi tak terkontrol, individu dapat kehilangan integritas, menjauh dari prinsip-prinsip yang seharusnya mereka pegang.
Permusuhan yang Tumbuh Subur
Salah satu penyebab utama dari permusuhan di kalangan pemuda adalah pembentukan identitas sosial yang kuat. Ahli sosiologi seperti Henri Tajfel berargumen bahwa individu cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu, yang dapat memperkuat rasa kebersamaan namun sekaligus memicu konflik dengan kelompok lain. Ketika pemuda terlibat dalam politik, mereka sering kali mendefinisikan diri berdasarkan afiliasi politik, yang dapat mengarah pada stereotip dan prasangka terhadap pihak lawan.
Dalam banyak kasus, politisi menggunakan retorika yang memecah belah untuk menggalang dukungan. Mereka menciptakan "musuh" dari pihak lain, baik itu lawan politik, kelompok etnis, atau agama. Strategi ini bukan hanya merugikan dialog konstruktif, tetapi juga mengarah pada konflik sosial yang lebih luas.
Dampak psikologis dari keterlibatan dalam politik juga tidak bisa diabaikan. Menurut psikolog seperti Jonathan Haidt, keterlibatan dalam politik dapat meningkatkan kecemasan dan stres, terutama ketika pemuda merasa terjebak dalam konflik. Rasa frustrasi dan kemarahan yang tidak terkelola dapat mengarah pada perilaku agresif dan permusuhan terhadap orang yang memiliki pandangan berbeda.
Ketika politik dijadikan sebagai arena untuk memupuk permusuhan, dampaknya sangat berbahaya. Pemuda yang seharusnya menjadi agen perubahan malah terjebak dalam siklus kebencian dan perpecahan. Pidato dan tindakan mereka sering kali menyulut api perseteruan antar kelompok. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia." Namun, pendidikan yang baik tidak hanya mengajarkan keterampilan, tetapi juga nilai-nilai moral dan etika yang harus dimiliki oleh pemimpin masa depan.
Mengembalikan Fokus pada Kepentingan Umum
Zygmunt Bauman, seorang sosiolog terkemuka, menyoroti dinamika kehidupan sosial yang kompleks di era modern. Dalam pandangannya, pemuda sering kali muncul sebagai agen perubahan, tidak hanya sebagai individu yang terpengaruh oleh kondisi sosial, tetapi juga sebagai pelaku aktif dalam politik.
Dalam konteks ini, pemuda dapat dianggap sebagai "idola baru" dalam arena politik. Mereka mampu menjembatani kepentingan pribadi dengan kepentingan publik, sering kali melalui media sosial yang memberi mereka platform untuk menyuarakan pendapat dan memperjuangkan perubahan. Namun, fenomena ini juga membawa tantangan; pemuda sering kali terjebak dalam kultus individualisme, di mana kepentingan pribadi mendominasi daripada kolektif.
Bauman menekankan pentingnya solidaritas dan keterhubungan dalam masyarakat. Dalam hal ini, pemuda perlu bergerak melampaui kepentingan diri dan mulai memikirkan dampak sosial dari tindakan mereka. Dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu global, seperti perubahan iklim dan ketidakadilan sosial, pemuda diharapkan tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen solusi yang berkelanjutan.
Dalam kesimpulannya, politik pemuda, menurut Bauman, adalah tentang menciptakan ruang bagi individu untuk berkembang dalam konteks kolektif. Dengan menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas, pemuda tidak hanya menjadi idola baru dalam politik, tetapi juga agen perubahan yang mampu mengubah wajah masyarakat.
Untuk mengubah arah politik pemuda, diperlukan kesadaran kolektif untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar kepemimpinan yang baik. Pemuda harus belajar dari sejarah dan memperhatikan dampak jangka panjang dari tindakan mereka. Pemimpin besar, seperti Barack Obama, pernah berkata, "Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau waktu lain. Kita adalah perubahan yang kita cari." Pernyataan ini menegaskan pentingnya tindakan aktif dalam memperjuangkan kepentingan umum, bukan hanya kepentingan pribadi.
Untuk menjadi pelaku politik yang efektif, pemuda harus mengembangkan kemampuan untuk berkolaborasi dan berkomunikasi dengan berbagai elemen masyarakat. Ini termasuk membangun jembatan antara generasi dan mendorong dialog konstruktif. Jika pemuda dapat menyeimbangkan antara kepentingan pribadi dan publik, mereka akan dapat menciptakan perubahan yang signifikan dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Politik pengakuan diri pemuda dapat memberikan ruang bagi ekspresi identitas, tetapi harus diimbangi dengan kesadaran akan bahaya politik encer. Dengan mengadopsi perspektif Zizek, pemuda dapat lebih memahami pentingnya menjembatani pengakuan diri dengan solidaritas kolektif. Hanya dengan cara ini mereka dapat membangun gerakan yang tidak hanya mengakui identitas tetapi juga mendorong perubahan sosial yang berarti.
Penting bagi pemuda untuk menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab yang besar dalam membentuk masa depan. Politik seharusnya menjadi wadah untuk dialog, kolaborasi, dan pembangunan, bukan untuk saling menjatuhkan dan memupuk permusuhan. Dengan mengedepankan kepentingan umum, pemuda dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik dan membawa perubahan positif bagi masyarakat. Jika tidak, mereka akan terjebak dalam lingkaran setan politik yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara yang lain terpinggirkan.
Melalui kesadaran dan pendidikan yang baik, diharapkan pemuda mampu menjadi agen perubahan yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan, persatuan, dan kedamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H