Mohon tunggu...
SAHRIL
SAHRIL Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Sebatang pena yang lahir di pulau terpencil pagerungan besar-Sumenep Madura. "Biarkan nama tercatat bukan hanya dibatu Nisan yang akan pudar oleh masa" @SahrilPGB

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemuda Hari Ini: Ketika Politik Menjadi Arena Kepentingan Pribadi

27 Oktober 2024   20:41 Diperbarui: 27 Oktober 2024   22:57 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era modern ini, peran pemuda dalam politik seharusnya menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kepentingan umum. Pemuda memiliki peran yang signifikan dalam pembentukan opini publik dan arah kebijakan politik. Fenomena yang semakin marak adalah keterlibatan mereka dalam politik yang cenderung mementingkan kepentingan pribadi. Politik pengakuan diri mengacu pada kebutuhan individu atau kelompok untuk diakui eksistensinya, hak-haknya, dan identitasnya.

Seringkali pengakuan diri pemuda, yang berupaya mengekspresikan identitas dan aspirasi mereka, bisa terjebak dalam apa yang disebut sebagai politik encer, Politik encer, atau politik yang berfokus pada pengakuan identitas, dapat menjadi pedang bermata dua. Sementara itu dapat menciptakan ruang bagi individu untuk bersuara, ia juga dapat memperkuat batasan-batasan yang mengisolasi kelompok-kelompok tertentu. Dalam konteks ini, pemuda dapat terjebak dalam identitas yang sempit, yang pada gilirannya mengarah pada fragmentasi sosial dan politik. Sehingga pemuda hari ini seringkali terjebak dalam permainan politik yang menghalalkan segala cara untuk mencapai ambisi mereka, sehingga mengabaikan nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi landasan dalam berpolitik.

Slavoj zizek, seorang filsuf kontemporer, mengkritik cara pandang ini. Ia berargumen bahwa fokus berlebihan pada pengakuan identitas dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu struktural yang lebih besar. Menurut Zizek, ketika pemuda terjebak dalam politik pengakuan diri yang terlalu individualistis, mereka mungkin kehilangan pandangan terhadap solidaritas kolektif yang diperlukan untuk perubahan sosial yang substansial.

Zizek juga menyebutkan pentingnya memahami bahwa identitas bukanlah hal yang tetap, melainkan konstruksi sosial yang terus berubah. Dalam hal ini, pemuda perlu menyadari bahwa perjuangan mereka tidak hanya untuk pengakuan individu, tetapi juga untuk keadilan dan kesetaraan dalam skala yang lebih luas.

Politik Pegakuan Diri dan Kehendak Untuk Berkuasa

Dalam upaya mencapai tujuan pribadi, banyak pemuda yang rela mengorbankan integritas. Mereka sering kali menggunakan manipulasi, fitnah, dan strategi licik untuk mengalahkan lawan. Hal ini menciptakan iklim politik yang penuh dengan permusuhan dan ketidakpercayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi, "Kekuatan tidak datang dari kemampuan fisik, tetapi dari kehendak yang tak terputus." Namun, kehendak yang dimaksud sering kali disalahartikan menjadi keinginan untuk meraih kekuasaan dengan cara yang tidak etis.

Kehendak untuk berkuasa sering kali mengubah pemuda menjadi sosok yang siap menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Dalam konteks ini, ambisi yang besar bisa berpotensi mengorbankan etika dan moralitas.

Friedrich Nietzsche dalam bukunya "Thus Spoke Zarathustra" menyatakan, "Keinginan untuk berkuasa adalah salah satu dorongan paling mendalam dalam diri manusia." Pernyataan ini menekankan bahwa hasrat untuk berkuasa merupakan bagian intrinsik dari sifat manusia. Pemuda yang terobsesi dengan kekuasaan cenderung menganggap bahwa segala cara sah untuk meraihnya, terlepas dari konsekuensi yang ditimbulkan.

Jean-Paul Sartre juga menambahkan, "Kebebasan adalah beban; ketika kita bebas, kita bertanggung jawab atas pilihan kita." Dalam hal ini, pemuda yang mengejar kekuasaan sering kali mengabaikan tanggung jawab moral mereka. Mereka dapat terjebak dalam pragmatisme, di mana tujuan menghalalkan cara, tanpa memikirkan dampak sosial dan etis dari tindakan mereka.

Di sisi lain, Machiavelli dalam "The Prince" mengungkapkan bahwa "Tujuan membenarkan cara." Pandangan ini sering dijadikan landasan bagi mereka yang percaya bahwa manipulasi dan pengkhianatan adalah strategi yang sah untuk mencapai kekuasaan. Dalam konteks ini, pemuda yang terobsesi dengan kekuasaan dapat mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan demi ambisi pribadi.

Kehendak untuk berkuasa bisa membuat pemuda terjebak dalam spiral tindakan yang Dengan menghalalkan segala cara, mereka tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga diri mereka sendiri. Ketika ambisi tak terkontrol, individu dapat kehilangan integritas, menjauh dari prinsip-prinsip yang seharusnya mereka pegang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun