Permusuhan yang Tumbuh Subur
Salah satu penyebab utama dari permusuhan di kalangan pemuda adalah pembentukan identitas sosial yang kuat. Ahli sosiologi seperti Henri Tajfel berargumen bahwa individu cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu, yang dapat memperkuat rasa kebersamaan namun sekaligus memicu konflik dengan kelompok lain. Ketika pemuda terlibat dalam politik, mereka sering kali mendefinisikan diri berdasarkan afiliasi politik, yang dapat mengarah pada stereotip dan prasangka terhadap pihak lawan.
Dalam banyak kasus, politisi menggunakan retorika yang memecah belah untuk menggalang dukungan. Mereka menciptakan "musuh" dari pihak lain, baik itu lawan politik, kelompok etnis, atau agama. Strategi ini bukan hanya merugikan dialog konstruktif, tetapi juga mengarah pada konflik sosial yang lebih luas.
Dampak psikologis dari keterlibatan dalam politik juga tidak bisa diabaikan. Menurut psikolog seperti Jonathan Haidt, keterlibatan dalam politik dapat meningkatkan kecemasan dan stres, terutama ketika pemuda merasa terjebak dalam konflik. Rasa frustrasi dan kemarahan yang tidak terkelola dapat mengarah pada perilaku agresif dan permusuhan terhadap orang yang memiliki pandangan berbeda.
Ketika politik dijadikan sebagai arena untuk memupuk permusuhan, dampaknya sangat berbahaya. Pemuda yang seharusnya menjadi agen perubahan malah terjebak dalam siklus kebencian dan perpecahan. Pidato dan tindakan mereka sering kali menyulut api perseteruan antar kelompok. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat digunakan untuk mengubah dunia." Namun, pendidikan yang baik tidak hanya mengajarkan keterampilan, tetapi juga nilai-nilai moral dan etika yang harus dimiliki oleh pemimpin masa depan.
Mengembalikan Fokus pada Kepentingan Umum
Zygmunt Bauman, seorang sosiolog terkemuka, menyoroti dinamika kehidupan sosial yang kompleks di era modern. Dalam pandangannya, pemuda sering kali muncul sebagai agen perubahan, tidak hanya sebagai individu yang terpengaruh oleh kondisi sosial, tetapi juga sebagai pelaku aktif dalam politik.
Dalam konteks ini, pemuda dapat dianggap sebagai "idola baru" dalam arena politik. Mereka mampu menjembatani kepentingan pribadi dengan kepentingan publik, sering kali melalui media sosial yang memberi mereka platform untuk menyuarakan pendapat dan memperjuangkan perubahan. Namun, fenomena ini juga membawa tantangan; pemuda sering kali terjebak dalam kultus individualisme, di mana kepentingan pribadi mendominasi daripada kolektif.
Bauman menekankan pentingnya solidaritas dan keterhubungan dalam masyarakat. Dalam hal ini, pemuda perlu bergerak melampaui kepentingan diri dan mulai memikirkan dampak sosial dari tindakan mereka. Dengan meningkatnya kesadaran akan isu-isu global, seperti perubahan iklim dan ketidakadilan sosial, pemuda diharapkan tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen solusi yang berkelanjutan.
Dalam kesimpulannya, politik pemuda, menurut Bauman, adalah tentang menciptakan ruang bagi individu untuk berkembang dalam konteks kolektif. Dengan menempatkan kepentingan publik sebagai prioritas, pemuda tidak hanya menjadi idola baru dalam politik, tetapi juga agen perubahan yang mampu mengubah wajah masyarakat.
Untuk mengubah arah politik pemuda, diperlukan kesadaran kolektif untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar kepemimpinan yang baik. Pemuda harus belajar dari sejarah dan memperhatikan dampak jangka panjang dari tindakan mereka. Pemimpin besar, seperti Barack Obama, pernah berkata, "Perubahan tidak akan datang jika kita menunggu orang lain atau waktu lain. Kita adalah perubahan yang kita cari." Pernyataan ini menegaskan pentingnya tindakan aktif dalam memperjuangkan kepentingan umum, bukan hanya kepentingan pribadi.