Mohon tunggu...
SAHRIL
SAHRIL Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Sebatang pena yang lahir di pulau terpencil pagerungan besar-Sumenep Madura. "Biarkan nama tercatat bukan hanya dibatu Nisan yang akan pudar oleh masa" @SahrilPGB

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Fiksi Penggemar RTC] Mama Izinkan Aku Jatuh Cinta

10 September 2015   17:54 Diperbarui: 10 September 2015   17:57 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber gambar: www.indonetwork.com"][/caption]

NOMOR 58 : Sahril bin abdul basit

                Angin menyambar daun kelapa, ayuntemayun ia melambai-lambai. Menari eksotik diudara dengan suara gemercik saat saling menyentuh. Nada perlahan merintih lalu bergetar mengeram keras di udara. Sinar matahari menyengat, perlahan menusuk kulit lalu terasa panas. Keringat membasahi seluruh tubuh baju basah, kering, kemudian kering, basah lagi.

                Diikuti ilalang yang kering menguning kecoklatan, gemercik suara gesekan saling hantam terbawa angin. Jengkrik berbunyi, bersembunyi dibatang dan reremputan yang tumbang berserakan ditanah. Tiga kawanan anak SMA bersembunyi didalam lubang, bekas galian tanah belakang sekolah. Seakan tak ada salah membuka baju sambil menghisap-isap. Suara dikecilkan sambil memejamkan mata ke enakan.

                “ssssssssshhhhhh.......... uuuuuhhhhhhhhhhhhh” eraman Kifli siswa SMA Nusantara, perlahan hampir tak terdengar. Burung perkutut melintas diatas mereka, sebelum hinggap dibatang pohon. Bisikan-bisikan samar bercampur diudara bersama dengan angin yang bertiup menyambar ilalang dan daun kelapa.

                Diantaranya tiga anak SMA, yang tubuhnya kering krontang tak terurus adalah Kifli, sementara yang satunya menggunakan kecamata adalah Dayat yang terkenal ganteng seperti idola para remaja yang histeris ketika melihatnya. Satunya lagi adalah Mursyid sianak pendek tapi besar omong.

                “aku tak terbiasa” ujar Dayat perlahan berbisik.

                “sudahlah, buka saja.” Ujar Mursyid memaksa Dayat.

                “ahhh” desah Kifli, yang tak sabar ingin menyambung.

                “sudahlah ini bukan satu atau dua kalinya bukan?.” Ujar Mursyid dengan nada mengejek Dayat.

                “memang aku tak kuat jika sudah mulai masuk, terasa sesak”

                “nikmati saja, pasti enak kok seakan melayang” bentak Mursyid yang ingin memaksa.

                Dayat tak kuasa hingga apa yang menjadi kemauan para temannya ia turuti. Dayat perlahan membuka bungkus rokok karena yang di hisap oleh Kifli sudah habis. Maklumlah itu adalah sisa kemarin yang mereka juga hisap.

                “nikmatilah Yat! Biar gak sesak didadamu. Keluarkan dihidungmu, jangan dimakan asapnya.” Ujar Mursyid menggurui.

                “masak kamu kalah sama anak SD seperti Mursyid” ujar Kifli tertawa.

                “hmhm” desah Mursyid “apa kamu ini” tambah Mursyid tersinggung.

                “ya!” ujar Dayat “anak kecil kok coba-coba” tegasnya.

                “yang anak kecil itu kamu Yat!” ujar Mursyid Marah. “merokok saja gak bisa. Iyakan Fli?”

                “kalau sifat bisa jadi! tapi.......”

                “tapi apa Fli” tanya Dayat tersenyum.

                “tapi kalau lihat postur tubuh tetap saja Mursyid masih kayak anak SD”

                “hahhahahhahahhahahah” mereka serentak tertawa bersama. Dayatpun ikut tertawa, namun tak lama karena nafasnya terasa sesak. Batuk karena asap rokok yang tertelan, hingga mata memerah.

                Tak lama kemudian bel berbunyi, pertanda masuk, mereka bertiga sibuk memakai baju. Wajarlah mereka copot bajunya supaya bau rokok tidak menempel pada aroma baju mereka. Mereka saling cium menciumi baju mereka masing-masing untuk memastikan bahwa tak ada sisa bau rokok.

****

Para jengkrik ada disemek, Tangan menulis hdihantam penat.

Assalamu alaikum kepada sanak, Aku bercerita menyapaikan hasrat.

 

Dayat, maaf tanganku telah lancang menggoreskan tinta di atas kertas yang tak berdosa ini,

Tak sanggup rasanya aku menghitung hari, melihat putaran waktu yang terus berjalan. Seakan menarik seperti tak sanggup diriku menatap pandanganmu.

Bukan kebencian yang membuatku tak sanggup, tapi rasa suka yang menghujani rasa maluku.

Tentu seorang perempuan tak pantaslah mengutarakan cinta pada laki-laki.

Namun, sama seperti cinta yang tak memandang.

Siapapun cinta akan datang kepadanya..., Kuharap kau mengerti rasaku yang mencintaimu.

Salam Anisa........

                Surat yang datang kepada Dayat selepas pulang sekolah, saat berada dijalan dengan Kifli dan Mursyid. Anisa datang dengan malu-malu mengantarkan selembar kertas, menunduk menatap ketanah. Tangan gemetaran, wajah berselimut malu dan basah keringat menetes dari wajah jatuh ketanah lalu pupus ditanah kering oleh sinar matahari.

                Tangan yang gemetar menyelimuti nadanya yang putus-putus tak beraturan. Sambil menatap Dayat lalu memalingkan wajah menggigit bibir yang merah delima, tak pernah kering dihantam musim kemarau. Matanya yang merona tak sanggup dipandang seperti bulan kembar, ditambah alis terlukis diwajah seperti bulan sabit. Rambutnya yang hitam gelap, berombak terurai ditiup angin. Lehernya terlihat bergaris-garis saat rambutnya terurai kebelakang. putih kuning dihiasi pada kulit Anisa yang membuat Kifli mengangah dan membuat Mursyid tak berkedip. Ingat pertemuanya dengan Anisa, saat Dayat melamun ingat-ingat kembali.

                Ingin rasanya Dayat berteriak “MAMA IZINKAN AKU JATUH CINTA”. Dayat sendiri menyukai Anisa, namun sayang Mamamya tak pernah mengizinkannya untuk memadu kasih dengan perempuan diusianya yang tujuh belas tahun. Mengapa aku tak bisa pacaran?. Pikir Dayat. Ia sendiri tak kuasa menahan godaan dari Anisa.

                “Ma, mengapa aku tidak bisa pacaran?” tanya Dayat.

                “karena kau tak bisa mencintai Yat!” jawab Mama Irma.

                “mengapa Mama mengatakan demikian?”

                “apa buktinya kamu bisa mencintai?”

                “Aku bisa membuktikannya, memberikan perhatian. Menjaga perasaannya.”

                “lantas sudahkah kau buktikan Dayat?”

                Mendengar pertayaan Mama Irma yang membuat Dayat bingun sendiri. Pacaran saja belum apalagi mau membuktikannya. Aneh Mamaku ini. Kata Dayat dalam hatinya.

                “Mama izinkan aku pacaran dulu barulah aku buktikan.” Ujar Dayat memaksa.

                “bagaimana aku mau mengizinkanmu pacaran, sedangkan kau tak bisa mencintai” ujar Mama Irma tersenyum.

                “bagaimanakah kamu memandang cinta?.” Tambah Mama Irma.

                “aku tak tahu Ma. Memang bagaimanakah aku harus memandang cinta Ma?”

                “Dengan kasih, lihatlah wanita. Dengan senyum buatlah harinya bahagia jangan menyakitinya.” Ujar Mama Irma menasehati.

                “iya Ma, maka izinkanlah aku mencintai Anisa Ma” ujar Dayat sedikit memaksa.

                “cinta tak perlu izin atau dapat izin Yat. Tapi aku tak mengizinkanmu untuk pacaran karena kau belum bisa membuktikan cintamu.”

                Mendengar pernyataan Mama Irma, hati dan perasaan dayat pupus, raganya disergap ribuan peluru. Kematian daun yang jatuh perlahan dan terbuang, akan demikiankah perasaan Dayat dan Anisa.

                “Yat!” sapa Mama Irma.

Dayat kaget, seketika terbangun dari lamunannya. “iya Ma” ujar Dayat lemas.

“Pernahkah kau buktikan cintamu kepada Mama? Apakah kau tak mencintai Mama? Lantas kapan kau membuktikan cintamu kepada Mama?”

Mendengar pertanyaan Mama Irma, Dayat tiba-tiba meneteskan air mata. Pagi memang tetaplah bersinar, meski ia akan tetap terbit kembali saat malam usai menyelimuti bumi. Namanya tetaplah pagi mengapa cintaku tak pernah mengerti perasaan Mama. Malu atas ulahku, malu atas tingkahku yang sering dipanggil kesekolah karena kenakalanku. Pikir Dayat.

Dayat tersadar bahwa dengan berusaha tetap mengatakan cinta, namun cinta itu hanyalah sebatas puisi yang usum dan tak bermakna. Seperti syair yang tak menemukan pijakan kaki. Bagaimana mungkin ia akan terbang dan memberikan cinta kepada orang lain sementara ia belum bisa membuktikan cinta kepada Mamanya.

“aku tak pernah meminta apapun Yat.” Ujar kembali Mama Irma. “ aku hanya meminta kau berubah. Buatlah mama ini bahagia, bukan dengan uang Yat. Tapi berubahlah, menjadilah Anak yang baik. Buatlah Mama tersenyum karena bangga denganmu.”

“baiklah Ma.” Ujar Dayat sambil memikirkan betapa ia tak bisa mebuktikan cintanya kepada Mamanya. Lantas mengapa ia berusaha membuktikan cintanya untuk orang lain. Seorang Mama yang jelas-jelas mencintainya melebihi cinta Anisa kepadanya.

Dayat masih merasa ingin dicintai, masih ingin merasakan kebahagian sementara cermin masih membayangi bianglala yang pudar. Kabut masih menyelimuti surya yang tiada henti menyinari kehidupan yang selalu berjuang semenjak pagi dan esok kembali pagi dengan nama pagi. Ia merasa masih bisa memulai karena ia tak baru mengenal gelapnya dunia pergaulan dan belum melangkah jauh. Dayat tersenyum menatap wajah Mamanya dengan senyum ketulusan sebagai isyarat dirinya siap berubah sebelum ia merubah haluan cintanya dan membagi cintanya untuk perempuan lain.

 

Karya ini orisinil dan belum pernah dipublikasikan

Sumber Inspirasi: Lagu Kasih Ibu.

 

[caption caption="Logo Rumpies"]

[/caption]

[caption caption="Logo Dar! Mizan"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun