Bicara mengenai gangguan yang terjadi pada anak tentunya sangat banyak sekali. Mulai dari gangguan saraf, mental, fisik dan sebagainya. Gangguan yang terjadi pada anak ini juga tidak mengenal usia bahkan dari yang baru lahir sampai usia dewasa.Â
Sebagai generasi muda tentunya kita harus paham mengenai banyak gangguan yang terjadi pada anak karena nantinya kita akan menjadi orang tua di masa yang akan datang. Setidaknya dengan pengetahuan ini bisa menambah wawasan dan bekal untuk nanti.Â
Dalam artikel kali ini kita akan membahas mengenai gangguan yang terjadi pada anak yaitu autis. Autis atau biasa disebut autism spectrum disorder adalah sebutan bagi orang-orang yang mengalami gangguan pada sistem sarafnya dan mempengaruhi perilakunya sehari-hari atau yang disebut juga dengan neurobehaviour.
Tanda seseorang menunjukkangejalagangguanautis biasanya dapat diamatipada tahun ketiga setelah lahir. Namun, tidaksedikit jugayangsudah mengidapautis sejaklahir. Autisme merupakangangguanperkembangan otak. Kondisi tersebut mempengaruhikemampuan berkomunikasi dan berinteraksi seseorang dengan orang lain.
Gangguan autis didefinisikan sebagai gangguan perkembangan dengan ciri utama gangguan interaksi sosial, gangguan komunikasi, dan keterbatasan minat dan imajinasi, hingga usia tiga tahun. Di Indonesia, autisme juga mendapat perhatian luas dari masyarakat dan para ahli karena jumlah anak autis meningkat pesat.Â
Di Indonesia, belum ada data pasti jumlah penyandang autisme. Namun tampaknya ada peningkatan kasus autisme yang tidak biasa di Indonesia. Menurut Dr. Widodo Judarwanto, dokter spesialis anak dan redaktur http://www.klinikautis.com menduga, seperti halnya di belahan dunia lain, terjadi peningkatan jumlah penyandang autisme yang tidak wajar di Indonesia.Â
Jumlah penderita autisme diperkirakan akan meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia, pada tahun 2015 diperkirakan satu dari 250 anak mengalami gangguan spektrum autisme. Pada tahun 2015, diperkirakan terdapat 12.800 anak autis dan 134.000 orang autis di Indonesia.
Orang tua terutama bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan pendidikan anak-anak mereka. Oleh karena itu, orang tua harus dapat membantu dan mendukung segala usaha anaknya dan mampu memberikan pendidikan informal untuk menunjang tumbuh kembang anak tersebut serta mengawasi atau melanjutkan pendidikan pada program sekolah formal.Â
Salah satu jenis peran yang dapat didelegasikan orang tua kepada anak-anak mereka adalah mendukung mereka (memperhatikan dan kasih sayang) untuk membantu perkembangan anak. Dukungan orang tua adalah dukungan yang diterima individu dari orang lain atau kelompok di sekitarnya, yang membuat penerimanya merasa nyaman, dicintai, dan dihargai.
Dukungan orang tua sangat berpengaruh karena hubungan orang tua dengan anak memudahkan proses penyembuhan. Dukungan orang tua yang aktif dapat mempengaruhi perkembangan anak, dukungan orang tua dapat berupa dukungan emosional dan fisik atau berupa dukungan yang merangsang perkembangan anak, seperti mendukung kebiasaan makan anak dan interaksi sosial, selain itu kasih sayang orang tua terbukti meningkatkan fungsi sosial pada penderita autism. Keberadaan atau ketersediaan orang yang dapat kita percayai yang memberi tahu kita bahwa mereka peduli, menghargai, dan mencintai.Â
Di sisi lain, orang tua yang negatif seringkali menciptakan orang autis yang sulit dididik dan diasuh, yang terwujud dalam perilaku yang tidak diinginkan. Dampak dari dukungan orang tua jika tidak diberikan pada anak autis adalah anak akan mengalami keterlambatan perkembangan dimana anak harus menyelesaikan tugas perkembangan berdasarkan usianya.
Penerimaan awal dari orang tua sering kali menunjukkan sikap stres, frustrasi, depresi, di mana-mana, dan kecemasan yang ekstrim. masa depan anak-anak mereka dan orang lain, penerimaan melalui beberapa tahap. Penerimaan diri ini mengandaikan adanya self-efficacy dalam jiwa seseorang, yang menunjukkan kualitas diri sendiri.
Setelah orang tua dapat menerima kondisi anaknya, maka orang tua dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan anaknya seperti kebutuhan vitamin, obat-obatan, terapi, dan masalah kesehatan lainnya, pola makan anak.Â
Jika orang tua dapat menerima dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak autis akan merangsang perkembangan anak dengan perilaku yang baik atau sebaliknya. Untuk itu diperlukan adanya penerimaan dini karena penerimaan dini dapat memberikan kontribusi untuk pengobatan dan terapi selanjutnya serta dukungan orang tua terhadap tumbuh kembang penyandang autisme.
Menurut Gunarsa (2003), peran orang tua dalam penyembuhan anak autis sangatlah penting. Sebagai salah satu orang tua dari anak autis, sangat penting bagi ibu untuk memahami tumbuh kembang anak. Hal ini terkait dengan sikap penerimaan ibu terhadap anak autis yang diwujudkan dalam perilaku anak autis.Â
Masuk akal untuk menerima setiap anggota keluarga sebagai sikap pemahaman lebih lanjut Dengan segala kelemahan, kesalahan, dan kelebihannya, dia layak mendapat tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang tuanya dalam parental support, terdapat bentuk pengasuhan yang diberikan kepada anak autis, yang membantu mendukung tumbuh kembang anak.
Kesimpulannya, penerimaan diri tidak berarti bahwa orang adalah benda yang dapat diterima begitu saja bahwa tidak ada syarat untuk keberadaannya coba kembangkan diri sendiri, bisa menerima diri sendiri berarti telah mengenali di mana dan bagaimana keadaannya sekarang dan memiliki keinginan untuk mengembangkan dirinya lebih jauh.Â
Objek dengan kemampuan penerimaan diri yang baik akan memiliki kepribadian yang matang, dapat berfungsi secara normal, dapat memberikan dukungan yang maksimal, dan berpengaruh terhadap perkembangan anak autis selanjutnya.
Sebaliknya, jika subjek tidak menerima kondisi yang ada maka akan terus mengalami konflik dalam dirinya, seperti subjek akan merasa sedih, sulit melewati kesulitan, dan menghabiskan tenaga dan waktu untuk menghadapi segala sesuatunya sendiri, sehingga tujuan akhirnya tidak puas dengan apa yang kita miliki sekarang. lebih jauh lagi, jika konflik atau beban psikologis tidak dapat diselesaikan dengan bijak.
Maka dukungan yang diberikan kepada anak, misalnya tidak memberikan dukungan emosional, tidak memberikan perhatian yang cukup kepada anak ketika merangsang minat, tidak memperhatikan semua kebutuhan anak, dan tidak selalu tertarik pada anak, akan menjadi target yang kurang optimal untuk merangsang perkembangan anak autis selanjutnya.
Sumber ReferensiÂ
Febrianto, A. S. (2016). Studi kasus penerimaan seorang ayah terhadap anak autis. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 7(1), 50-61.
Pancawati, R. (2013). Penerimaan diri dan dukungan orangtua terhadap anak autis. Psikoborneo: Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(1).
Rufaidah, N. (2014). Penerimaan Diri Orang Tua Tunggal Yang Mempunyai Anak Autis (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H