PENTINGNYA ADAB SOPAN SANTUN SANTRI
SEBAGAI BENTUK NGALAP BAROKAH PADA GURU PERSPEKTIF HADITS
Agama Islam tidak hanya mengatur kehidupan manusia dalam aspek spiritual saja. Lebih dari itu, Islam juga mengatur aspek kehidupan sehari-hari; baik dalam bertingkah, berbuat, berperilaku, maupun cara berbicaranya. Sebagaimana yang saya ketahui, dalam dunia pesantren, santri dituntut untuk mengedapankan akhlaqul karimah dalam sopan santun terutama terhadap gurunya. Ketika saya mondok di Pondok Pesantren Darul Huda Mayak, pelajaran utama yang saya peroleh saat awal masuk pondok adalah sopan santun etika bertamu untuk sowan di rumah kyai. Karena pada saat itu, semua orang tua izin menitipkan anaknya kepada pengasuh dan meminta do’a agar diberi kelancaran dan kemudahan ketika tholabul ‘ilmi di pondok pesantren. Kesan pertama bagi saya pada saat itu adalah beradab sebelum berilmu. Ada penggalan hadits yang mengatakan:
تَعَلَّمَ الْأَدَبُ قَبْلَ أَنْ تَتَعَلَّمَ الْعِلْمُ
Artinya: “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”
Apapun kegiatan di pondok yang berhubungan dengan teman, kakak kelas, pengurus pondok, ustadz, ustadzah, dan masyayikh, tetap yang menjadi nomor satu adalah sopan santun dalam beretika. Ketika menginjak kelas satu dan dua Tsanawiyah, saya diajari ilmu dasar tentang akhlak bagi anak perempuan. Pada saat itu kitab yang dikaji untuk santri putri adalah kitab akhlaqu lil banat karya Syaikh Umar bin Ahmad Baradja, yang membahas tentang keharusan menanamkan akhlak yang baik bagi anak perempuan dimulai sejak kecil sehingga ia tumbuh dewasa akan menjadi orang yang berkepribadian baik, dan masih banyak lagi pembahasan mengenai akhlak dan kehormatan seorang perempuan yang harus dijaga. Pentingnya akhlak pada santri bisa menunjukkan bagaimana dia memuliakan seorang guru. Ridho guru memiliki peran penting dalam menentukan kesuksesan para muridnya. Memuliakan guru merupakan bagian dari memuliakan ilmu itu sendiri. Orang yang tidak memuliakan guru, sama saja dia tidak memuliakan ilmu yang sedang ia pelajari. Apapun ilmu yang ia pelajari tidak akan bisa masuk kedalam dirinya selama ia tidak mendapatkan ridho dari gurunya.
Beranjak pada kelas tiga Tsanawiyah, saya juga masih mempelajari ilmu yang berkaitan dengan adab yaitu kitab Ta’lim al-Muta’alim karya Syaikh az-Zarnuji. Kitab tersebut setingkat lebih umum dan lebih tinggi dari kitab akhlaqu lil banat yang membahas tentang adab seorang penuntut ilmu sebagai kunci sukses dalam belajar. Pertama, seseorang harus mengambil ilmu dan mencari bagusnya budi pekerti dari seorang guru. Kedua, bersungguh-sungguh dalam mencari seorang guru yang mempunyai perhatian khusus terhadap ilmu. Ketiga, mendengarkan dan mematuhi setiap nasehat dan aturan yang diperintahkan oleh guru, dan masih banyak lagi. Kita sebagai murid harus memandang guru dengan pandangan bahwa beliau harus dimuliakan dan dihormati. Saat itu, saya diajar oleh guru saya yang bernama Ustadz, Mudir Sunani. Beliau selalu hadir dalam kelas, tidak pernah tidak masuk, meskipun yang disampaikan hanya sepatah dua patah kata, tapi beliau pasti menyempatkan hadir untuk menemani murid-muridnya belajar. Saat itu saya lupa tidak membawakan spidol papan tulis untuk kelas, sampai di kelas pun juga tidak ingat Saya tergesa-gesa berangkat sekolah sore karena dari pagi sekolah dan dilanjut organisasi ekstrakuliluler sampai siang, lalu pulangnya mepet dengan masuknya waktu sekolah sore.
Kelalaian saya saat itu membuat satu kelas menjadi terdiam, hening seketika karena melihat guru saya yang hanya diam menatap murid-muridnya dengan tatapan kosong. Keadaan yang seperti itu membuat teman-teman saya berfirasat pasti ada yang kurang. Firasat mereka benar, ternyata tidak ada spidol untuk menulis dipapan tulis, sampai ada salah satu teman saya yang mengingatkan, ternyata saya lupa tidak membawa spidol. Ketika itu semuanya baru sadar saat waktu sekolah sore hampir selesai. Beliau memang sengaja hanya diam, tidak marah dan tidak mengingatkan, agar kita sadar akan kewajiban-kewajiban seorang murid didalam kelas, apa saja yang harus dibawa ketika tholabul ilmi, dan properti yang harus ada didalam kelas agar kegiatan belajar mengajar berjalan dengan lancar. Terakhir, dengan rasa kecewa beliau menerangkan sedikit tentang:
لَوْلَا الْمُرَبِّيْ مَاعَرَفْتُ رَبِّيْ
Artinya: “Jika bukan karena pendidik (guru), maka aku tidak akan mengenal Tuhanku.”
Kata tersebut saya ambil pelajaran yang tersirat makna, tidak akan seorang murid mengenal ilmu dan tuhannya akan paham agama, jika tidak ada perantara dari seorang guru. Seseorang akan bermanfaat ilmunya jika mendapat ridho dari seorang guru. Barokah dari seorang guru dapat kita ambil dengan cara memuliakan beliau. Bentuk ini dinamakan sebagai tabarrukan atau ngalap barokah yang mana merupakan mencari tambahnya suatu kebaikan atau biasa disebut dengan ziyadatul khoir. Saat itu ada cerita seorang santri yang memiliki sikap sangat acuh tak acuh. Saking acuhnya bahkan ia tidak peduli dan tidak percaya dengan adanya barokah. Ia hanya meyakini perkara yang tampak dan apa yang dipikirkan dengan logikanya sendiri. Ia juga sering merasa heran jika melihat teman-temannya yang saling berebut bekas minum guru atau kyai, teman-temannya yang makan bersama-sama dan merasa kenyang walau porsinya sedikit, dan heran pula ketika ia mengetahui ada teman sekelasnya yang termasuk abdi ndalem walaupun jarang mengikuti pelajaran dan tidak pernah muroja’ah namun selalu mendapat nilai yang unggul.
Setelah akhirnya diyakinkan oleh teman-temannya dan ditunjukkan oleh beberapa bukti nyata akhirnya ia memutuskan untuk membuktikan bahwa barokah benar-benar nyata. Namun, di tengah pembuktiannya itu, ia malah mendapatkan peristiwa yang menjadikannya ragu lagi. Dimulai dari gagalnya dalam ujian dan ayahnya yang sedang kritis di rawat dirumah sakit. Teman-temannya yang setia menemaninya menyadarkan bahwa ketika amal dilakukan dengan tidak ikhlas maka akan dicabut barokahnya, karena dengan tidak adanya barokah dapat membuat ilmu yang dicari selama ini menjadi sia-sia. Mencari barokah memerlukan usaha, perlu bersusah payah terlebih dahulu. Itulah yang membuatnya sadar dan tergerak untuk memperbaiki diri dengan melakukan amal dengan ikhlas hingga akhirnya Allah membalas dengan barokah yang nyata, barokah yang selama ini ia cari. Sederhananya, dapat kita ketahui bahwa ketika santri mau belajar dan mau berkhidmat kepada gurunya dengan ikhlas, maka ia akan mendapatkan barokah dan kefahaman dari ilmu tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H