Otoritas di negara demokrasi baru seperti Indonesia barangkali tergoda untuk menggunakan cara-cara lama guna menghentikan gejolak seperti itu. Misal, dengan meringkus beberapa orang yang diduga adalah otak dibalik gejolak tersebut. Tetapi, selain itu menyerang kredo paling tua dalam demokrasi - kebebasan berpendapat dan berekspresi, itu juga hanya menunjukan kegagalan memahami kondisi abad ini. Kenyataannya, tidak ada otak tunggal, atau segelintit otak, di balik gerakan-gerakan besar kekinian.Â
Sebaliknya, seluruh warga negara yang terlibat telah secara aktif mengolah isu di jagad maya. Untuk menghentikan gejolak tersebut, tidak ada pilihan selain memperhatikan ekspresi dan mendengarkan pendapat mereka.
Tentu, kita tidak mengharapkan rezim demokratis yang terlalu sering mengamati media sosial dan mengambil kebijakan berdasarkan trending topic. Media sosial dapat memberi tahu kecenderungan respon publik atas suatu wacana kebijakan, tetapi sikap fundamental mereka tidak terekspose di sana.Â
Di samping itu, media sosial adalah medium yang kurang serius, dan cukup mudah terpapar bias. Maka demikian, untuk yang terbaik yang bisa diandalkan, adalah dengan memperhitungkan sesuatu yang datang dari medium lebih konvensional namun juga lebih menampakan kejelasan dibandingkan media sosial. Medium tersebut telah kita kenal dengan sebutan petisi.
Petisi sama sekali bukan barang baru di Indonesia. Pasal 44 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah memberikan jaminan untuk penggunaannya dengan merumuskan: "Setiap orang berhak sendiri maupun bersama-sama berhak mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan atau usaha kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien, baik dengan lisan meupun dengan tulisan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".Â
Meski begitu, penggunaan petisi baru kembali booming di Indonesia setelah ia dimodernisasi ke dalam bentuk online oleh sebuah platform bernama change.org. Perkembangan yang positif ini, sayangnya, belum diikuti oleh keharusan bagi pemerintah untuk meindaklanjuti petisi-petisi yang diajukan masyarakat kepadanya.
Beberapa ribu kilometer jauhnya dari Indonesia, Amerika Serikat (AS) memberikan contoh baik yang dapat ditiru dalam hal menindaklanjuti petisi. Lembaga kepresidenan Amerika Serikat, Gedung Putih, membuat inisiatif bernama We the People. Layanan petisi daring yang dibuat sejak 2011 dan resmi diselenggarakan pemerintah AS sejak 2014 itu, bisa memaksa pemerintah merespon petisi dengan kondisi tertentu.Â
Dijelaskan di situs We the People, petisi yang mendapat lebih dari 100 ribu pendukung, dalam waktu 30 hari sejak dibuat, harus direspon pemerintah. Sedangkan petisi yang gagal mendapat 150 dukungan dalam 30 hari, tak akan muncul dalam sistem pencarian. Artinya, netizen tak akan bisa menemukan petisi dimaksud.1
Apa yang diterapkan di AS, kabarnya juga telah direplikasi di Korea Selatan. Sejak Agustus 2017, Pemerintah Korea Selatan wajib merespon petisi, dengan syarat petisi tersebut harus menembus 200 ribu tandatangan dalam 30 hari. Sejak praktik ini berlangsung, petisi yang paling banyak muncul ialah menyangkut isu hak asasi manusia. Bila dipersentasekan, ini adalah 18% dari keseluruhan petisi yang pernah diajukan.2
Tidak ada alasan untuk mengatakan Indonesia tidak dapat meniru apa yang dilakukan AS dan Korea Selatan dalam soal menindaklanjuti petisi. Secara teknis, ini bukanlah problem regulasi yang rumit.Â
Apa yang terpenting adalah menentukan ambang batas pendukung petisi, dimana itu akan menjadi patokan pemerintah untuk menindaklanjutinya: apakah men-drop out kebijakan atau tetap meneruskannya.Â