Abad 21 ditandai dengan 3 poin kunci: pertama, keruntuhan berbagai rezim yang berusaha menyumbat suara dan ekspresi publik; kedua, semakin meluasnya ide-ide demokrasi; dan ketiga, kemajuan teknologi yang melayani transisi itu.Â
Jika hari ini kita menghitung rezim otoriter kuno yang masih tersisa di seluruh dunia, itu pasti belum menghabiskan 10 jari di dua tangan kita -- dan Indonesia, sudah sejak 1998 tidak termasuk ke dalam hitungan.Â
Rezim-rezim otoriter kuno itu rata dengan tanah bukan untuk ketiadaan pengganti (anarkis), melainkan untuk di atasnya berdiri suatu rezim baru: rezim demokratis. Sementara kemajuan teknologi melayani kredo paling tua dalam perjalanan demokrasi, yakni kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Sebagaimana umumnya terjadi pada negara-negara dunia ketiga, Indonesia merasakan perubahan dari abad ke-20 menuju abad ke-21 sebagai perubahan yang lebih drastis dan dramatis. Ini berbeda dengan negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara, misalnya, karena mereka telah bereksperimen  beberapa puluh atau beberapa ratus tahun lebih awal dengan demokrasi, sehingga apa yang mengejutkan mereka di abad ini paling-paling hanyalah perkembangan teknologi.Â
Itupun dengan mengabaikan fakta bahwa keajaiban-keajaiban teknologi itu kebanyakan datang dari negeri mereka sendiri. Maka, ini menjelaskan betapa wajarnya demokrasi masih merangkak di Indonesia. Dan untuk membuatnya dapat berdiri tegak, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Satu di antara pekerjaan semacam itu adalah memastikan kebebasan berekspresi dan berpendapat diikuti dengan hak untuk diperhatikan dan didengarkan.Â
Tentu saja, di sini kita membicarakan hubungan antara negara dan warga negara dalam konteks pengambilan kebijakan publik. Terbatas pada itu, adalah percuma, warga negara memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat, ketika negara tidak memenuhi hak mereka untuk diperhatikan dan didengarkan.Â
Ini bahkan menjadi lebih krusial di tengah kemajuan teknologi, khususnya media sosial, oleh karena warga negara dapat melihat bahwa ekspresi dan pendapat mereka tentang suatu kebijakan publik rupanya tidak hanya milik dirinya sendiri, melainkan juga milik ribuan dan bahkan jutaan warga negara lainnya. Media sosial berperan sebagai amplifier dalam hal ini.
Beberapa tahun terakhir memberi cukup banyak pelajaran tentang konsekuensi kurang terpenuhinya hak untuk diperhatikan dan didengar. Pada September 2019 misalnya, demonstrasi penolakan revisi UU KPK di beberapa kota menjadi tak berkesudahan bahkan hingga saat ini karena DPR bersama Presiden tidak menggubris demonstran dan tetap menggolkan revisi tersebut.Â
Para demonstran jelas telah dipersatukan di media sosial. Satu tanda tipikal yang menunjukan hal tersebut adalah mereka bersama-sama menyerukan di lapangan frasa-frasa yang sebelumnya menjadi trending topic di media sosial, seperti istilah "Reformasi Dikorupsi", "Gejayan Memanggil", dan lain sebagainya.