Mohon tunggu...
Sahal Fikri
Sahal Fikri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Prodi KPI UIN SAIZU Purwokerto

Berterimakasih atas segala hal yang mampu untuk kuat bertahan hidup sampai sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengelola Relasi Kekuasaan dalam Gerakan Dakwah di Media Sosial

29 Oktober 2024   08:29 Diperbarui: 29 Oktober 2024   08:44 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dunia digital hari ini sudah berkembang pesat dengan berbagai inovasi-inovasi, salah satunya adalah media social yang merupakan media yang menyediakan semua informasi yang efisien, cepat, dan akurat secara penyampaian kepada publik. Pada era saat ini mengenal yang namanya new media merupakan hal-hal yang sudah menjadi konsumen sehari-hari Masyarakat, ada beberapa macam dari new media itu sendiri, yaitu instragram, tiktok, twitter, whattapps, dll. 

Media social digunakan sebagai proses mengkampanyekan sebuah informasi, kaitannya dengan islam adalah bagaimana di dalam media social sebagai seorang muslim kita mampu menggunakan, mengelola, bahkan sampai membuat inovasi-inovasi baru.   

Media social bisa menjadi jalan alternatif untuk terus konsisten membuat konten-konten dakwah yang bisa di terima oleh khalayak umum. Salah satunya pada media instagram yang sekarang banyak fitur yang mendukung untuk sebagai penunjang konten-konten dakwah Islami. 

Adapun hal itu, konten-konten yang harus di sajikan juga harus melihat dari sisi audiens atau target dari audiens itu sendiri, artinya tidak semua konten yang dibuat akan mudah di terima oleh audiens. 

Michel Fouchalt mendefinisikan bahwa relasi kekuasaan adalah hubungan antara para penguasa dan juga yang mau di kuasai. Relasi kekuasaan memegang peranan penting sebagai alat untuk membingkai konten-konten, dengan hal ini adalah konten dakwah. 

Relasi kekuasaan yang dimaksud adalah bagaimana setiap da'i mempunyai power yang kuat untuk mengontrol psikologi audiens. Dari hal ini, kita juga harus memahami psikologi dari audiens. 

Dalam konteks media sosial, relasi kekuasaan bisa berarti bagaimana seseorang yang memiliki kekuatan pengaruh atau "influencer" dalam suatu platform, mampu mengarahkan psikologi dan opini audiensnya melalui konten yang mereka buat. 

Hal ini juga berlaku dalam dakwah. Para da'i atau pendakwah yang aktif di media sosial harus memahami bagaimana menguasai audiens agar pesan dakwahnya diterima dengan baik.

Misalnya, seorang da'i yang memiliki banyak pengikut di Instagram memiliki kekuasaan untuk mengarahkan opini publik tentang isu-isu keagamaan tertentu. Mereka memiliki kekuatan untuk menciptakan narasi, mengubah persepsi, atau bahkan menginspirasi perubahan perilaku. Namun, dalam menjalankan kekuasaan ini, para pendakwah harus bijak dan berhati-hati, karena media sosial adalah ruang yang terbuka bagi pro dan kontra. 

Setiap konten dakwah yang diunggah bisa dengan mudah menimbulkan berbagai reaksi dari audiens yang memiliki latar belakang pemahaman dan sudut pandang yang beragam.

Di sisi lain, adanya relasi kekuasaan ini juga menciptakan tantangan tersendiri bagi gerakan dakwah. Seorang da'i harus memahami psikologi audiensnya agar pesan yang disampaikan bisa tepat sasaran. Mereka perlu memperhatikan tren, bahasa yang digunakan, dan cara penyampaian yang sesuai dengan karakteristik pengguna media sosial. 

Misalnya, dalam menyampaikan pesan tentang pentingnya shalat atau sedekah, konten yang ditampilkan di TikTok akan berbeda dengan konten yang diunggah di Instagram. Ini karena tiap platform memiliki karakteristik dan pengguna yang berbeda.

Selain itu, media sosial juga memungkinkan adanya interaksi langsung antara pendakwah dan audiens, yang bisa berupa komentar, pesan langsung, atau fitur live. Interaksi ini sebenarnya adalah bentuk nyata dari relasi kekuasaan, di mana audiens memiliki kesempatan untuk memberikan tanggapan, kritik, atau bahkan menantang pandangan yang disampaikan oleh pendakwah.

 Ini adalah bentuk transparansi yang sangat unik di era digital dan bisa menjadi ladang pahala atau malah sebaliknya, menjadi sumber fitnah jika tidak dikelola dengan baik. 

Salah satu contoh nyata dari relasi kekuasaan dalam dakwah di media sosial adalah bagaimana para pendakwah atau influencer Muslim di Indonesia dapat mempengaruhi tren gaya hidup Islami.

Misalnya, tren hijrah yang semakin populer di kalangan anak muda Muslim Indonesia. Dengan mengemas dakwah yang inspiratif, estetis, dan relatable, para pendakwah ini berhasil menggerakkan audiens untuk berubah ke arah yang lebih positif. Namun, fenomena ini juga menimbulkan perdebatan karena adanya pandangan yang menganggap dakwah semacam ini terlalu "menjual" agama atau bersifat dangkal.

Di sinilah pentingnya para pendakwah untuk bijaksana dalam memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki di media sosial. Mereka harus tetap menjaga esensi dari dakwah itu sendiri, yakni menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik dan santun, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah atau kesalahpahaman. 

Dakwah di media sosial bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga bagaimana mengelola respons audiens yang sangat beragam. 

Relasi kekuasaan bukan sekadar siapa yang "menguasai," tetapi bagaimana setiap orang yang terlibat mempengaruhi satu sama lain. Filsuf Prancis Michel Foucault mengatakan bahwa kekuasaan adalah hubungan. 

Di media sosial, para pendakwah, atau siapa saja yang menyebarkan konten dakwah, memiliki "kekuasaan" untuk mempengaruhi audiensnya. Mereka bisa mengubah pola pikir, membuka wawasan baru, atau bahkan menginspirasi perubahan perilaku.

Tapi yang menarik, audiens juga punya kekuasaan. Melalui komentar, like, share, atau bahkan unfollow, mereka memberikan feedback yang menentukan seberapa efektif pesan yang disampaikan.

 Tidak semua pesan dakwah bisa diterima begitu saja---ada yang setuju, ada yang kontra, ada yang netral. Inilah realita dakwah di era digital yang sangat terbuka, di mana pendakwah dan audiens berada dalam hubungan timbal balik.

Lebih jauh lagi, relasi kekuasaan dalam dakwah di media sosial tidak hanya mencakup antara pendakwah dan audiens, tetapi juga melibatkan kekuatan algoritma platform itu sendiri. 

Algoritma adalah mekanisme yang mengatur konten mana yang akan ditampilkan di linimasa pengguna. Dalam hal ini, relasi kekuasaan antara pendakwah dan platform media sosial menjadi sangat penting. Pendakwah harus memahami bagaimana algoritma bekerja, agar konten dakwah mereka bisa muncul di feed audiens yang relevan.

Sebagai contoh, konten dakwah yang memuat video pendek dengan tema yang menarik dan engaging cenderung memiliki peluang lebih besar untuk viral dan muncul di halaman "Explore" Instagram atau di "For You Page" TikTok. Dengan demikian, memahami algoritma adalah bagian dari strategi dakwah di media sosial yang efektif, karena algoritma tersebut juga merupakan bagian dari relasi kekuasaan yang tak kasat mata di dunia digital. 

Namun, ketergantungan pada algoritma ini juga memiliki risiko, karena platform media sosial memiliki standar dan kebijakan tersendiri yan g tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai dakwah.

 Ada kasus di mana konten-konten dakwah yang dianggap mengandung ujaran kebencian atau intoleransi akan dihapus oleh platform, karena bertentangan dengan kebijakan komunitas mereka. Oleh karena itu, pendakwah juga harus berhati-hati dan memahami bahwa ada batasan yang harus mereka hormati saat berdakwah di media sosial. 

Dalam konteks ini, tantangan terbesar adalah bagaimana pendakwah bisa tetap menyampaikan pesan yang tegas dan benar, namun tidak melanggar aturan platform yang bersifat global dan universal. Mereka perlu menciptakan keseimbangan antara menyampaikan pesan agama dengan cara yang relevan dan tidak melanggar ketentuan komunitas media sosial.

Pada akhirnya, relasi kekuasaan dalam gerakan dakwah di media sosial adalah sebuah fenomena yang kompleks, yang melibatkan berbagai aktor dan kepentingan. Dakwah di media sosial tidak hanya tentang menyampaikan pesan agama, tetapi juga tentang bagaimana menguasai audiens, memahami algoritma, dan menyesuaikan konten agar relevan dan bisa diterima oleh masyarakat luas. 

Ini adalah tantangan sekaligus peluang besar bagi umat Islam untuk memanfaatkan media sosial sebagai alat dakwah yang efektif di era digital.

Namun, yang perlu diingat, kekuasaan yang ada di media sosial bukanlah kekuasaan yang mutlak. Sebaliknya, kekuasaan ini adalah amanah yang harus digunakan dengan bijak. Dakwah yang efektif adalah dakwah yang mampu menyentuh hati dan pikiran audiens tanpa memaksakan pandangan atau menggurui. 

Dengan pendekatan yang persuasif, santun, dan kreatif, gerakan dakwah di media sosial bisa menjadi gerakan yang menginspirasi perubahan positif di tengah masyarakat. 

Sebagai penutup, gerakan dakwah di media sosial harus senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang rahmatan lil 'alamin, yaitu membawa rahmat bagi seluruh alam. 

Dengan memanfaatkan kekuatan media sosial, dakwah dapat menyebar luas hingga ke pelosok negeri bahkan dunia, namun tetap harus dilakukan dengan cara yang baik dan benar. Di sinilah pentingnya memahami relasi kekuasaan, agar gerakan dakwah di media sosial bisa menjadi solusi dan bukan masalah baru bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun