Misalnya, dalam menyampaikan pesan tentang pentingnya shalat atau sedekah, konten yang ditampilkan di TikTok akan berbeda dengan konten yang diunggah di Instagram. Ini karena tiap platform memiliki karakteristik dan pengguna yang berbeda.
Selain itu, media sosial juga memungkinkan adanya interaksi langsung antara pendakwah dan audiens, yang bisa berupa komentar, pesan langsung, atau fitur live. Interaksi ini sebenarnya adalah bentuk nyata dari relasi kekuasaan, di mana audiens memiliki kesempatan untuk memberikan tanggapan, kritik, atau bahkan menantang pandangan yang disampaikan oleh pendakwah.
 Ini adalah bentuk transparansi yang sangat unik di era digital dan bisa menjadi ladang pahala atau malah sebaliknya, menjadi sumber fitnah jika tidak dikelola dengan baik.Â
Salah satu contoh nyata dari relasi kekuasaan dalam dakwah di media sosial adalah bagaimana para pendakwah atau influencer Muslim di Indonesia dapat mempengaruhi tren gaya hidup Islami.
Misalnya, tren hijrah yang semakin populer di kalangan anak muda Muslim Indonesia. Dengan mengemas dakwah yang inspiratif, estetis, dan relatable, para pendakwah ini berhasil menggerakkan audiens untuk berubah ke arah yang lebih positif. Namun, fenomena ini juga menimbulkan perdebatan karena adanya pandangan yang menganggap dakwah semacam ini terlalu "menjual" agama atau bersifat dangkal.
Di sinilah pentingnya para pendakwah untuk bijaksana dalam memanfaatkan kekuasaan yang mereka miliki di media sosial. Mereka harus tetap menjaga esensi dari dakwah itu sendiri, yakni menyampaikan kebenaran dengan cara yang baik dan santun, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah atau kesalahpahaman.Â
Dakwah di media sosial bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi juga bagaimana mengelola respons audiens yang sangat beragam.Â
Relasi kekuasaan bukan sekadar siapa yang "menguasai," tetapi bagaimana setiap orang yang terlibat mempengaruhi satu sama lain. Filsuf Prancis Michel Foucault mengatakan bahwa kekuasaan adalah hubungan.Â
Di media sosial, para pendakwah, atau siapa saja yang menyebarkan konten dakwah, memiliki "kekuasaan" untuk mempengaruhi audiensnya. Mereka bisa mengubah pola pikir, membuka wawasan baru, atau bahkan menginspirasi perubahan perilaku.
Tapi yang menarik, audiens juga punya kekuasaan. Melalui komentar, like, share, atau bahkan unfollow, mereka memberikan feedback yang menentukan seberapa efektif pesan yang disampaikan.
 Tidak semua pesan dakwah bisa diterima begitu saja---ada yang setuju, ada yang kontra, ada yang netral. Inilah realita dakwah di era digital yang sangat terbuka, di mana pendakwah dan audiens berada dalam hubungan timbal balik.