Sudah sepuluh tahun peristiwa penolakan itu terjadi. Laila masih memilih untuk melajang dan Darman menikah dengan Restu, anak penjual sayur di pasar. Sekarang Darman sudah memiliki anak yang akan masuk sekolah dasar dan dia membutuhkan uang untuk nya. Pada suatu pagi, Laila datang ke rumahnya. " Tu, mana Darman?" Suarnya terdengar lantang mengisi rumah gedeg milik Darman.
"Masih tidur mbak."
"Cepat bangunkan dia!"
Restu dengan cepat masuk ke dalam rumah dan kemudian keluar bersama Darman. "Ada apa La?"
"Aku pengen kopi Tu. Tolong buatkan kopi!" Perintah Laila pada restu.
Restu yang diperlakukan seperti pelayan oleh mantan kekasihnya tampak menahan armarahnya. Air matanya menetes ke tanah ketika berjalan menuju dapur. Tetapi Darman dan Laila tidak menghiraukan itu. Keduanya saling pandang seolah sudah saling mengerti maksud masing - masing.
"Aku sudah membeli ini. Ketika Kamu sudah siap, segeralah berkabar. Kami tidak akan mampu menyekolahkan anakmu dari gaji menjaga kebun milik keluargaku."
Darman mencoba menenangkan diri. Sebuah perasaan yang sulit diterjemahkannya terbit dan terbenam. "Aku tidak ingin merugikan keluargamu."
"Aku sudah tahu itu. Akupun tahu pekerjaanmu selama ini. Jadi Aku Rasa tidak Ada alasan buatmu untuk menolak niatan baikku."
"Dari mana kamu tahu pekerjaanku Di luar pekerjaan resmiku sebagai penjaga kebunmu?"
"Semua orang kampung telah membicarakanmu."