Mohon tunggu...
S A Hadi
S A Hadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sholikhul A Hadi

Happy is the people whitout history

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbuang

22 Oktober 2019   16:14 Diperbarui: 22 Oktober 2019   16:28 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sari merebahkan badannya di sebuah amben bambu memperhatikan dua temannya Siti dan Rukmini yang melayani pelanggannya. Mereka sesekali duduk dipangkuan pelanggannya, mengadukkan kopi dan kemudian berdiri sambil membelai brengos atau jenggotnya. Sebuah rutinitas yang biasa Sari lakukan juga ketika pelanggan melirik matanya saat menyajikan minuman atau makanan mereka.

Pipi beradu dengan pipi, napas yang terengah-engah, sebuah benjolan yang mengeras diantara paha, hingga dekapan yang terkadang membuat Sari dan kedua temannya bertahan dipangkuan mereka menjadi tantangan yang tiap hari harus di hadapinya. Ketika semua itu terjadi, Sari harus segera melepaskan diri. Dia berdiri dengan tanpa menabrak meja atau menumpahkan minuman yang sengaja di taruhnya di pinggir untuk melatih konsentrasinya. Dia memang memanfaatkan posisi minuman itu untuk membuat dirinya tetap fokus hingga tidak tergoda pada belaian yang terkadang dilakukan para pelanggannya.

Sari masih memperhatikan Siti dan Rukmini ketika petir tiba-tiba terdengar keras membakar pohon kelapa di belakang warungnya. Siti melompat ketakutan menabrak meja dan menjatuhkan semua yang ada di atasnya. Suara pecahan gelas dan piring membuat Sari terbangun dan Rukmini berlari menghampiri Siti. Tetapi nampaknya, lelaki yang dilayani Siti dengan sigap berdiri dan memeluk kembang desa tetangga itu dengan tangan kanan memegang pinggul Siti erat dan tangan satunya menggrayangi bagian lainnya.

"Hentikan tangan kirimu Bud!" Bentak Sari pada lelaki yang dikenalnya bernama Budi itu.

Budi mendorong Siti hingga membuatnya oleng. " Aku mencoba membantunya." Budi membela diri.

"Sudahlah, jangan diperpanjang. Aku tahu apa yang kamu lakukan." Sari memberikan isyarat agar Rukmini segera membantu Siti yang menangis ketakutan. Dia menghampiri budi.

"Apa maksudmu?" Budi bendekatkan mukanya ke Sari hingga Hidung keduanya saling beradu.

"Kamu tentu tahu alasan Kang Imam menjadikanku pengelola warung ini. Aku harap kamu tidak berlebihan." Mata Sari tajam menantang mata Budi dengan tanpa rasa takut.

Budi menjauhkan mukanya dan meludah ke sisi kirinya. "Aku tidak bisa di hina seperti ini."

Beberapa orang pemuda datang menghampiri Budi dan menariknya menjauh dari jangkauan Sari. Seorang dari mereka meminta maaf kepada Sari atas apa yang terjadi dengan bahasa kromo halus. "Maaf Mbak, Budi mungkin masih mabuk."

Sementara itu, Budi mengancam. "Sari, Kamu wanita sundal yang sok suci. Aku akan membunuhmu nanti."

Mendengarkan keributan itu, Faisal berdiri dari tempatnya di meja paling pojok dekat dengan telivisi yang malam itu memutar acara Dangdut Academi. Dia mengambil gelas dari mejanya dengan tangan kiri dan sebuah garpu dengan tangan kanannya. Dia berjalan dengan sedikit sempoyongan menghampiri Budi yang mencoba melepaskan diri dari tangan-tangan yang menahannya.

Sari tetap berdiri dengan tenang memperhatikan tingkah Budi dan ketika menyadari Faisal mulai mendekat, dia kemudian membentaknya. "Apa yang ingin kamu lakukan Sal? Berhenti di sana!" Tangannya menuding ke arah Faisal.

Faisal berhenti tepat dua meja dari tempat keributan. Beberapa teman Faisal segera menyusulnya dan berdiri bergerombol kurang lebih sepuluh orang. Mereka tampak dalam posisi siaga sambil membawa kursi, botol dan beberapa lainnya mengikatkan kalung rantainya pada tangannya.

Budi berusaha menguasai dirinya. Dia meminta teman-temannya melepaskan pegangannya dan berdiri tegak. Dia benarkan kancing bajunya yang lepas. Dengan tegas dia berkata, "Aku tidak ingin membuat masalah di sini. Tetapi kamu yang memulainya Sar."

Sari tidak menjawab. Matanya masih menatap mata Budi. Dia ingin membuat budi ragu dengan ancamannya. Tetapi Budi bukan lelaki yang dengan mudah menyerah begitu saja. Dia terus saja ngoceh seolah masih belum selesai melampiaskan emosinya. "Kalian di sini menjual minuman beserta tubuh kalian. Aku membayarnya. Aku berhak menyentuh bagian tubuh manapun dari kalian yang aku inginkan." Budi menghindari tatapan mata Sari. Dia ambil Jaketnya dari sandaran kursinya. "Ingat aku tidak akan melupakan ini Sar. Aku akan terus mengingat perlakuanmu ini."

Tampak tangan sari mulai mengepal. Seolah dia ingin melepaskan pukulannya. Sari memejamkan matanya, mengatur napasnya dan membalikkan badannya. Meninggalkan Budi yang berusaha memakai jaketnya dengan sisa-sisa kesadarannya.

"Minta tolong bersihkan Mbak." Perintah Sari pada Rukmini.

 "Mbak, aku tidak apa jika hanya dibelai saja. Tetapi ini tangannya .. " Siti merapatkan pelukannya ke Sari.

"Cup cup cup. Sudah, jangan diingat lagi. Aku bakal tetap bersamamu walau apapun yang terjadi." Sari menenangkan Siti. "Kamu tidur dulu saja! Besok setelah kamu bangun semua akan lebih baik." Sari membaringkan Siti dan mencium kening temannya.

Rukmini telah menunggu lama di luar sambil menenteng satu botol minuman. Dia meneguknya beberapa kali dan menaruh botol itu ke meja ketika Sari datang menghampirnya. "Mbak, kamu menungguku?" Ujar Sari.

"Sudah lama kita tidak minum bersama Sar."

"Seperti kita tidak pernah bersama saja." Sari duduk di samping Rukmini.

"Aku kawatir Budi akan bertindak lebih pada kita." Rukmini membelai rambut Sari. "Sebenarnya, aku pernah melihat Siti keluar bersama Budi. Mungkin mereka berpacaran."

Sari belum pernah mengetahui cerita itu. "Kenapa kamu tidak cerita mbak?" Sari mengambil botol yang sebelumnya diminum oleh Rukmini.

"Aku takut kamu memarahi Siti." Rukmini menunggu sampai Sari menghabiskan minumannya. Dia tahu kalau sari mampu menghabiskan setengah botol minuman hanya dalam sekali tegukan. "Biasanya kamu selalu menekankan agar kita professional. Profesional menurutmu tidak perlu ada hubungan percintaan antara kita dengan pelanggan." Rukmini tampak ragu untuk melanjutkan perkataannya.

"Kapan itu terjadi mbak?"

"Sekitar dua bulan lalu." Rukmini menarik napasnya dalam-dalam. Dia berdiri mengambil satu botol minuman lagi dari rak dan menaruhnya di meja.

Sari merasa tidak bisa berkata-kata. Dia mengenang tindakannya terhadap Budi beberapa jam sebelumnya. "Tapi kalau tadi Budi aku biarkan, mungkin besok yang lain akan melakukannya juga. Aku rasa sudah benar apa yang aku lakukan padanya." Gumamnya pelan.

"Iya, demi menjaga harga diri kita." Rukmini membenarkan. Dia memperhatikan Sari yang membuka botol keduanya dan menghabiskan separuh isinya. Dengan tarikan napas yang dalam, Rukmini menyalakan rokok Lucky Strike-nya. "Mereka semua tahu siapa kamu."

"Aku sudah terbiasa pula jika namaku dijelek-jelekkan. Aku tidak peduli. Aku lebih menguasai lelaki daripada diri mereka sendiri." Sari mengambil rokok Rukmini dan menyalakannya.

"Tetapi kamu harus ingat Siti dan juga hubungan antara Budi dan Kang Imam, bos kita." Rukmini mencoba berbicara dengan sehalus mungkin agar Sari tidak naik darah.

"Aku akan melakukan segala cara agar Siti tetap dapat merawat orang tuanya dan kamu bisa memberi makan anak Yatimmu." Sari memejamkan matanya. "Aku berjanji mbak."

"Seandainya saja, kang Imam memecat kita, aku berencana pindah ke kota. Aku ingin kamu bersamaku." Rukmini memeluk Sari.

"Aku akan tetap di sini mbak, apapun resikonya."

Setelah tiga hari berlalu, Budi datang kembali ke Warung dengan membawa Kang Imam, abangnya. Dia berjalan dengan pongah di depan Sari dan Rukmini yang merunduk menghadapi Kang Imam. "Mana Siti?" Ujarnya sambil mendongakkan kepala.

"Akan saya panggilkan Mas." Rukmini berdiri.

"Tidak usah! Kamu duduk saja. Biar aku sendiri yang membawanya ke sini." Balas Budi.

Sari dengan sigap memegang tangan Budi. " Berhenti !" Bentaknya. "Biarkan dia istirahat. Kamu duduk saja di sini bersama kami!"

"Siapa kau berani memerintahku?" Budi merasa punya kuasa. Dia mengibaskan tangan Sari yang semakin erat memegang tangannya. Mata sari memandangi Kang Imam dengan penuh keberanian.

"Jika saja bos tidak menghentikan Budi, aku bakal bertindak." Ancamnya pada kang Imam.

Kang Imam menghindari tatapan mata Sari. "Bud, kamu duduk di sini saja! Biarkan Siti istirahat." Suaranya begitu datar hingga terdengar hambar di telinga.

Larangan Kang Imam meberikan arti lain bagi Sari. Dia merasa kang Imam berpihak padanya. Sari tersenyum tipis hingga terlihat lesung pipinya ketika tangannya melepaskan lengan Budi. "Kenapa Bos kesini?" Ujarnya ketus.

"Sudah cukup lama aku tidak kesini. Aku hanya ingin meninjau warungmu." Kang Imam menunjuk sebuah minuman yang ada di rak dan memberikan isyarat agar Rukmini mengambilkannya.

"Bukan karena Budi?" Sari mengambil sebatang rokok dan menempelkannya di bibir.

"Mas dia kemarin melecehkanku. Aku ingin mereka di pecat. Atau memang benar Sari ini adalah selingkuhanmu. Anak haram pasti akan menjadi sundal juga seperti ibunya."  Budi mendesak.

"Aku memang ingin melakukan itu." Kang imam menatap  Budi. "Aku harap besok kalian kemasi barang-barang kalian." Perintah kang Imam pada Sari.

"Apa kau mengusir kami?" Sari segera menarik botol minuman yang ada di tengah meja. "Aku telah membesarkan warungmu yang sebelumnya hanya warung biasa, hingga seterkenal ini. " Sari marah, air matanya tiba-tiba mengalir deras.

"Mbak, sabar!" Terdengar suara Siti dari dalam kamar. Dia berjalan ke depan dengan masih mengenakan kembennya dan mata merah. Sari menata kursi ketika mengetahui Siti telah sampai di sebelahnya. "Mas Bud, Aku hamil anakmu."

Warung itu berubah menjadi sepi. Hanya suara jangkrik yang terdengar jelas mengisi kebingungan semua orang yang ada di sana. Tampak mata Kang Imam menatap Sari dengan rasa bersalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun