Sari merebahkan badannya di sebuah amben bambu memperhatikan dua temannya Siti dan Rukmini yang melayani pelanggannya. Mereka sesekali duduk dipangkuan pelanggannya, mengadukkan kopi dan kemudian berdiri sambil membelai brengos atau jenggotnya. Sebuah rutinitas yang biasa Sari lakukan juga ketika pelanggan melirik matanya saat menyajikan minuman atau makanan mereka.
Pipi beradu dengan pipi, napas yang terengah-engah, sebuah benjolan yang mengeras diantara paha, hingga dekapan yang terkadang membuat Sari dan kedua temannya bertahan dipangkuan mereka menjadi tantangan yang tiap hari harus di hadapinya. Ketika semua itu terjadi, Sari harus segera melepaskan diri. Dia berdiri dengan tanpa menabrak meja atau menumpahkan minuman yang sengaja di taruhnya di pinggir untuk melatih konsentrasinya. Dia memang memanfaatkan posisi minuman itu untuk membuat dirinya tetap fokus hingga tidak tergoda pada belaian yang terkadang dilakukan para pelanggannya.
Sari masih memperhatikan Siti dan Rukmini ketika petir tiba-tiba terdengar keras membakar pohon kelapa di belakang warungnya. Siti melompat ketakutan menabrak meja dan menjatuhkan semua yang ada di atasnya. Suara pecahan gelas dan piring membuat Sari terbangun dan Rukmini berlari menghampiri Siti. Tetapi nampaknya, lelaki yang dilayani Siti dengan sigap berdiri dan memeluk kembang desa tetangga itu dengan tangan kanan memegang pinggul Siti erat dan tangan satunya menggrayangi bagian lainnya.
"Hentikan tangan kirimu Bud!" Bentak Sari pada lelaki yang dikenalnya bernama Budi itu.
Budi mendorong Siti hingga membuatnya oleng. " Aku mencoba membantunya." Budi membela diri.
"Sudahlah, jangan diperpanjang. Aku tahu apa yang kamu lakukan." Sari memberikan isyarat agar Rukmini segera membantu Siti yang menangis ketakutan. Dia menghampiri budi.
"Apa maksudmu?" Budi bendekatkan mukanya ke Sari hingga Hidung keduanya saling beradu.
"Kamu tentu tahu alasan Kang Imam menjadikanku pengelola warung ini. Aku harap kamu tidak berlebihan." Mata Sari tajam menantang mata Budi dengan tanpa rasa takut.
Budi menjauhkan mukanya dan meludah ke sisi kirinya. "Aku tidak bisa di hina seperti ini."
Beberapa orang pemuda datang menghampiri Budi dan menariknya menjauh dari jangkauan Sari. Seorang dari mereka meminta maaf kepada Sari atas apa yang terjadi dengan bahasa kromo halus. "Maaf Mbak, Budi mungkin masih mabuk."
Sementara itu, Budi mengancam. "Sari, Kamu wanita sundal yang sok suci. Aku akan membunuhmu nanti."