Frida segera menarik pakaiannya ketika sorot lampu senter menerangi semak-semak. Dia tinggalkan teman lelakinya yang masih tertidur pulas setalah mengambil semua isi dompetnya. Suara teriakan dan cacian terdengar jelas dibelakang mengiringi langkah kakinya yang semakin cepat. Dia berlari menuju sungai besar. Saat sampai di tepi sungai Aku mengambil bagian. Aku berjalan seolah sedang mencari kucingku yang hilang.
Dia mengambil bagian kembali ketika hendak memasuki bilik kos, membuang baju ke dalam bak dan melemparkan tubuhnya ke kasur. Aku datang menghampirinya, memperhatikan tubuhnya yang gemetar. Hanya dengan memperhatikan matanya, aku dapat mengetahui apa yang baru saja menimpanya.
Alih-alih menyapa, matanya justru melirik sinis padaku. Dengan napas yang tidak teratur dia menuduhku. "Kamu pasti yang memberitahu mereka."
"Kamu tidak perlu berprasangka terhadapku. Mengurai terang yang aku pancarkan menjadi praduga yang menyudutkanku. Mengabaikan kenyataan lain tentang faedah kehadiranku di Duniamu." Aku tahu jika kemarahannya tidak segera dihentikan, mungkin dia akan melakukan sesuatu yang merugikan kami.
"Tidak ada seorang pun yang tahu aku di sana kecuali dirimu. Tapi pemuda itu mendatangi kami seolah mengetahui sesuatu." Ucap Frida dengan mata nanar penuh air mata.
"Terkadang dirimu bersembunyi dalam keremangan yang jauh dari jangkauanku untuk menyimpan lembar-lembar rahasia yang sengaja kamu pendam bersama orang terkasihmu." Aku berdiri di depannya membelai rambutnya dan memilinnya dengan keempat jariku.
Kebekuan mendekap kami dan melahirkan kebungkaman baru. Seolah Frida tidak lagi ingin berdebat denganku. Dia membaringkan tubuhnya menghadap tembok membelakangiku. Aku tahu dia menangis saat itu.Aku biarkan dia menuntaskan kekesalan dan ketakutannya.
Mendadak seluruh kampung dipenuhi suara kentongan. Para pemuda berlarian memeriksa setiap rumah mencari perempuan yang lari dari semak. Sosok perempuan yang mungkin saja mereka kenal dengan baik. " Ini kampung agamis. Tidak boleh ternoda oleh ulah perempuan itu." Terdengar suara seorang pemuda mengumpat di jalanan gang samping kos Frida.
Frida duduk, menghapus air matanya. Â " Setidaknya besok aku bisa makan." Dia menatapku bahagia.
"Ya, setidaknya kita tidak merasakan kelaparan." Jawabku mengapresiasi usahanya. Sebenarnya sudah dua bulan kami tidak cukup makan. Uang tabungan kami menipis. Sedangkan kami masih belum mendapatkan panggilan atas lamaran yang telah terkirim ke berbagai perusahaan di sekitar sana. Dengan begitu, aku memaklumi usahanya. Bahkan jauh dalam lubuk hatiku, berterima kasih atas semua yang dilakukannya.
Aku baringkan tubuhku di sampingnya. Mencoba mencari sesuatu yang mungkin dapat aku gunakan untuk menenangkan kekawatirannya. Aku ambil botol air mineral yang ada di atas meja, meminumnya beberapa teguk, memberikannya ke Frida dan memandangi keteduhan wajahnya.
"Mereka pasti bahagia karena berhasil menemukan sumber kesialannya. Menangkap basah dua orang yang melakukan perzinaan di kampung agamis ini." Frida tertawa. "Dengan begitu mereka akan berharap dapat menjadi salah satu orang yang dimuliakan."
"Aku yakin tidak semuanya berpikir seperti itu. Sebagian lain mungkin mengikuti arus agar tidak dianggap berpihak pada keburukan." Keraguanku menghentikan perkataanku. Aku tahu, belum pernah ada orang yang tertangkap basah melakukan perzinaan di sana. Terakhir peristiwa penggerbekan terjadi di kampung sebelah yang kurang agamis, dan itupun hukumannya sangat berat."
Perempuannya diarak keliling kampung dengan tanpa busana. Lelakinya diikat di lapangan sambil dipukuli orang sekampung. Beberapa lelaki bertahan hidup dengan memar di sekujur tubuh dan panas kemaluannya terkena balsem. Sebagian besar meninggal. "Kebanyakan orang akan menjelma menjadi orang suci saat menemukan keburukan sesamanya."
Frida tersenyum seolah menertawakan perkataanku. "Mereka akan menemukanku. Mereka akan datang ke sini dan mengarakku. Kecuali kamu mau membantuku."
"Di gang ini, ada ratusan perempuan lajang yang kos dan sebagian besar mereka mantan pekerja hiburan malam sepertimu. Kebanyakan mereka berpostur sama sepertimu. Dengan begitu, tentu kecurigaan mereka tidak hanya tertuju kepadamu." Aku mencoba meyakinkan diri untuk melanjutkan penjelasanku. " Kecurigaan mereka akan tertuju pada semua perempuan muda seperti dirimu."
"Ya, aku paham. Tapi aku bukan orang yang pandai berakting. Dengan mudah aku akan tampak gugup saat bertemu dengan Lelaki itu. Hati nuraniku tidak akan membiarkan diriku meninggalkannya menderita sendiri di sana. Lagi pula, dia tentu akan mengenaliku dengan baik."
"Bagaimana aku bisa membantumu jika kamu sekarang sudah panik?"
"Aku akan mencoba mengendalikan diriku." Frida mengatur napasnya. "Kamu harus ingat, sejak hiburan malam dilarang dan kita jadi pengangguran. Sekalipun kamu tidak pernah membantuku mencari nafkah. Aku banting tulang mencari uang untuk biaya hidup kita." Frida menutup matanya. Dia mengenang masa-masa berat kami belakangan.
"Lebih baik, segera kamu kenakan pakaianmu! Suara mereka sudah dekat." Perintahku.
Frida panik. Dia melompat ke depan lemarinya mencari piyama dengan motif bunga-bunga warna merah yang berada di bawah tumpukan bajunya. Piyama yang biasa dia pakai saat ada teman atau keluarganya menginap. " Aku minta tolong, Hadapi mereka!" Matanya menatapku dengan penuh harapan.
Aku tidak tega melihatnya demikian. Aku rusak garis-garis bekas setrika piyamanya dengan tanganku. Mengacak-acak rambut dan mengucek matanya hingga berwarna merah. Aku melompat ke kasur dan membalik bantal yang telah basah oleh air matanya. Waktu mendadak berjalan lambat.
Suara seorang lelaki terdengar beriringan dengan suara ketokan pintu. "Mbak Frida, apakah ada di dalam?"
Aku mengatur nada suaraku hingga menyerupai suara Frida. " Ada apa pak?"
Aku berlari tergopoh-gopoh membuka pintu. Aku pandangi mata ketiga lelaki itu dengan wajah kaget. "ada apa ini pak, kok malam-malam begini berkunjung?"
"Ayo ikut aku ke lapangan!" Perintahnya tegas.
Aku berjalan mengikuti ketiga lelaki itu. Dalam perjalanan, aku saksikan pula perempuan-perempuan lain yang masih mengenakan piyamanya berjalan searah denganku. Dari percakapan mereka, aku tahu bahwa Irwanlah lelaki yang memergoki Frida saat bersama dengan Wahyudi.
Kami semua berdiri berjajar layaknya barisan semut yang hendak memasuki lubangnya. Satu persatu dari kami di periksa oleh Irwan dan Wahyudi yang berdiri di tengah lapangan. Untuk perempuan yang tidak dicurigai, segera diminta kembali ke rumah. Tetapi beberapa perempuan yang dicurigai atau memiliki kemiripan ciri fisik dengan teman tidur Wahyudi akan dipisahkan. Sudah terdapat sekitar delapan orang perempuan yang berjajar di belakang Irwan dan Wahyudi.
Menurut kasak-kusuk yang aku dengar, Wahyudi masih dalam keadaan mabuk berat saat tertangkap. Wahyudi mengaku bahwa dirinya bertemu dengan perempuan itu di dekat perempatan. Dia sama sekali tidak mengenal perempuan itu. Perempuan itu pula yang menawarkan diri kepadanya. Irwan sendiri bukan orang yang tahu dengan detail wajah perempuan itu. Dia hanya melihat perempuan itu dari kejauhan. Meskipun dia membawa lampu senter, tidak sekalipun perempuan itu menoleh ke belakang sehingga mukanya terlihat.
Aku berpikir bahwa  hal itu yang mendasari pak lurah melakukan ini semua. Dia tidak ingin terjadi salah tangkap seperti beberapa bulan lalu yang pernah dialami oleh kampung sebelah. Di kampung itu, telah dilakukan penghukuman pada perempuan baik-baik yang diduga melakukan perzinaan hanya karena sekilas mirip dengan perempuan yang kabur dari penggerbekan di salah satu warung remang-remang dekat hutan.
Aku berjalan dengan pelan mengikuti arus. Aku buang rasa kawatirku dengan berpegang pada perhitungan stokastik sederhana yang pernah aku pelajari di sekolah. Dengan keyakinan yang tinggi, aku percaya semua akan baik-baik saja.
Aku telah berdiri tepat di depan Irwan dan Wahyudi ketika keduanya saling pandang. Wahyudi tampak tersenyum kepadaku. Mungkin dia mengenaliku. Tetapi Irwan memandangku dengan cara yang aneh. Dia memicingkan matanya dan menelitiku dari atas sampai bawah.
"Aku yakin dia perempuannya." Teriak Wahyudi. Tercium aroma alkohol menyebur dari mulutnya. Aku masih dapat mendengarkan tawanya yang menyebalkan di tengah kepanikanku.
"Bukan, perempuan itu bukan dia." Jawab Irwan tegas. Dengan mantab irwan menatap mata Pak Lurah.
Semua orang menatap Irwan curiga. Perempuan yang telah selesai diperiksa merapat kembali ke tengah lapangan dan perempuan yang masih dalam antrian membubarkan diri ikut berkerumun bersama dengan lainnya. Pak Lurah mendekati Irwan dan kemudian menatap matanya. "Kamu yakin dengan jawabanmu?"
Irwan tampak bingung. Matanya bergerak ke kanan kiri dan atas bawah. " Sudah delapan perempuan dia bilang yakin. Bagaimana aku bisa percaya omongan pemabuk itu?"
"Lantas apa solusinya?" Pak Lurah membelakangi Irwan.
"Sama seperti bapak, aku tidak ingin salah dalam memutuskan. Lebih baik kita hukum saja lelaki ini sendiri." Irwan merundukkan kepala.
Semua perempuan muda itu mengambil jarak dari tengah lapangan dan bergabung dengan penduduk yang telah berjejalan di dekat garis pembatas warna kuning. Akupun berjalan dengan lesu bersama perempuan lainnya. Ketika tepat berada di garis kuning, aku menerima pesan singkat dari Irwan. "Terima kasih telah menyelamatkanku sebelumnya."
Aku teringat SMSku pada Irwan ketika berjalan menyusuri sungai dan mengambil peran Frida. " Bekuk lelaki itu, lucuti dia dan cekoki dengan minumanmu!" Aku lemparkan senyum padanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H