"Mereka pasti bahagia karena berhasil menemukan sumber kesialannya. Menangkap basah dua orang yang melakukan perzinaan di kampung agamis ini." Frida tertawa. "Dengan begitu mereka akan berharap dapat menjadi salah satu orang yang dimuliakan."
"Aku yakin tidak semuanya berpikir seperti itu. Sebagian lain mungkin mengikuti arus agar tidak dianggap berpihak pada keburukan." Keraguanku menghentikan perkataanku. Aku tahu, belum pernah ada orang yang tertangkap basah melakukan perzinaan di sana. Terakhir peristiwa penggerbekan terjadi di kampung sebelah yang kurang agamis, dan itupun hukumannya sangat berat."
Perempuannya diarak keliling kampung dengan tanpa busana. Lelakinya diikat di lapangan sambil dipukuli orang sekampung. Beberapa lelaki bertahan hidup dengan memar di sekujur tubuh dan panas kemaluannya terkena balsem. Sebagian besar meninggal. "Kebanyakan orang akan menjelma menjadi orang suci saat menemukan keburukan sesamanya."
Frida tersenyum seolah menertawakan perkataanku. "Mereka akan menemukanku. Mereka akan datang ke sini dan mengarakku. Kecuali kamu mau membantuku."
"Di gang ini, ada ratusan perempuan lajang yang kos dan sebagian besar mereka mantan pekerja hiburan malam sepertimu. Kebanyakan mereka berpostur sama sepertimu. Dengan begitu, tentu kecurigaan mereka tidak hanya tertuju kepadamu." Aku mencoba meyakinkan diri untuk melanjutkan penjelasanku. " Kecurigaan mereka akan tertuju pada semua perempuan muda seperti dirimu."
"Ya, aku paham. Tapi aku bukan orang yang pandai berakting. Dengan mudah aku akan tampak gugup saat bertemu dengan Lelaki itu. Hati nuraniku tidak akan membiarkan diriku meninggalkannya menderita sendiri di sana. Lagi pula, dia tentu akan mengenaliku dengan baik."
"Bagaimana aku bisa membantumu jika kamu sekarang sudah panik?"
"Aku akan mencoba mengendalikan diriku." Frida mengatur napasnya. "Kamu harus ingat, sejak hiburan malam dilarang dan kita jadi pengangguran. Sekalipun kamu tidak pernah membantuku mencari nafkah. Aku banting tulang mencari uang untuk biaya hidup kita." Frida menutup matanya. Dia mengenang masa-masa berat kami belakangan.
"Lebih baik, segera kamu kenakan pakaianmu! Suara mereka sudah dekat." Perintahku.
Frida panik. Dia melompat ke depan lemarinya mencari piyama dengan motif bunga-bunga warna merah yang berada di bawah tumpukan bajunya. Piyama yang biasa dia pakai saat ada teman atau keluarganya menginap. " Aku minta tolong, Hadapi mereka!" Matanya menatapku dengan penuh harapan.
Aku tidak tega melihatnya demikian. Aku rusak garis-garis bekas setrika piyamanya dengan tanganku. Mengacak-acak rambut dan mengucek matanya hingga berwarna merah. Aku melompat ke kasur dan membalik bantal yang telah basah oleh air matanya. Waktu mendadak berjalan lambat.