Sembari menengadahkan mukanya, Robi menerawang jauh ke cakrawala malam. Warna gelap yang menjadi latar dengan bintang bagaikan pernak-pernik permadani yang tampak bergelantungan, menggusur pelan-pelan kesadarannya. Entah karena obat yang baru saja di telannya atau karena rasa kantuknya yang semakin tidak terkendali.
Bumi tempatnya berpijak terus saja berputar tanpa menghiraukan keberadaannya. Waktupun bergerak lambat, membantunya mengambil kembali kesadaran yang pelan sirna. Dia gapai kuat kesadaran itu dan bangkit. Dia duduk dengan menekuk kedua kakinya menyandarkan punggungnya pada besi-besi konstruksi jembatan yang masih belum terbungkus beton.
Sudah sekitar dua bulan Robi bekerja dalam proyek pembangunan jembatan itu. Bukan sebagai seorang insinyur sebagaimana pendidikan yang pernah ditempuhnya, melainkan menjadi seorang kuli. Dia tidak membawa serta ijazahnya ketika pergi ke tanah cendrawasih. Dia hanya membawa tekat yang telah bulat untuk terus melanjutkan kehidupannya.
Setidaknya, tekat itu masih bertahan sampai sekarang. Ketika semua orang di Jakarta kembali mengingatnya. Beberapa telpon dari teman-temannya tiap hari masuk ke daftar panggilan tidak terjawab. Pesan SMSpun cukup banyak yang masuk. Robi selalau membaca semua pesan itu. Terkadang pesan itu membuatnya tampak bahagia tetapi lebih banyak yang membuatnya marah.
Rona mukanya tampak memerah saat emosi. Tubuhnya terasa lebih ringan. Matanya bergerak ke kanan dan kiri. Seperti halnya yang pernah terjadi beberapa tahun sebelumnya saat seorang temannya yang bernama Riski menyebar kabar yang menyudutkannya. Â
Riski yang selalu menyertainya mewartakan tentang kelainan mental yang dideritanya ke seluruh jaringannya. Semacam sebuah pengungkapan yang ditujukan untuk melemahkan posisi Robi diantara jaringannya. Syukur masih ada orang yang setia pada Robi, dia adalah Yesa, yang selanjutnya bergerak untuk membersihkan isu itu.
"Memangnya seorang yang memiliki kelainan tidak patut memimpin jejaring kita? Memangnya di dunia ini ada orang yang sempurna dengan tanpa memiliki kecacatan?" Dua kalimat itulah yang selanjutnya menyebar dengan cara yang tidak pernah dapat dibayangkan oleh Robi. Robi menyadari bahwa dua kalimat tanya dari Yesa itu kemudian membuka kembali pintu hati dari jejaringnya.
"Kamu harus tampil sebagai manusia mas, biar orang dapat menerimamu apa adanya!" Suara Yesa terngiang kembali dalam telinga Robi. Robi membuka Telepon genggamnya dan mencari SMS yang beberapa hari sebelumnya diterimanya. Dibukanya sebuah SMS dari Yesa, "Mas, kamu sekarang dimana?" Segera Robi menekan menu balas pada layar telepon genggamnya dan mengetikkan beberapa kata yang mengisyaratkan lokasinya sekarang. Tetapi Robi mengurungkan niatnya, dia hapus kembali kata-kata yang telah diketiknya.
Dia berjalan menyusuri sungai mengamati teman-teman pekerjanya yang duduk bergerombol di seberang. Mereka melambaikan tangan, memberikan isyarat agar Robi bergabung. Robi menolaknya dengan menggelengkan kepala. Robi menyadari bahwa semua yang dialaminya selalu berawal dari ajakan kecil semacam itu. Dia menduga gerombolan teman pekerjanya itu sedang berpesta Topi Miring atau Ketan Ireng yang baru mereka dapatkan dari pedagang jawa yang berkunjung pada hari sebelumnya.
Robi melanjutkan perjalanannya ke Portacamp Sleeper yang terletak di dekat lapangan penumpukan, sebelum telepon dari Yesa terdengar nyaring di telinganya. "Hei, mas. Apa kabar?" Suara itu terdengar lebih berat dari aslinya. Robi sebenarnya tidak ingin menjawabnya tetapi reflek tangannya yang mengangkat telpon Yesa membuatnya terpaksa harus menjawabnya. "Baik."
"Aku sudah tahu sekarang kamu di mana. Kemungkina dua hari lagi aku sampai sana. Jaga kesehatanmu ya?"
Robi merasa tidak perlu terpancing dengan pernyataan Yesa. Dia mengenal juniornya itu dengan sangat baik. Yesa seringkali mencari tahu dengan rasa sok-nya itu. "Aku tunggu." Jawabnya singkat berharap segera dapat mengakhiri perbincangan itu.
"ngomong-ngomong mereka semua telah memaafkanmu." Tutup Yesa.
Maaf merupakan kata yang sangat mudah keluar dari mulut seseorang. Robipun sering bilang maaf kepada orang yang pernah melakukan salah padanya. Begitupun jaringannya juga sering memberikan maaf pada orang yang telah melakukan salah. Kenyataan selalu berbeda pada tindakan yang kemudian dilakukannya. Â Robi yang mengatakan maaf belum tentu sepenuhnya memberikan maaf. Ketika maafnya telah diucapkan, tindakan seringkali tidak menyertainya.
Pada lingkungannya,terutama pada jejaring aktifis mahasiswa sepertinya. Seorang hidup dalam idealisme yang sangat tinggi. Setiap kesalahan kecil dari seseorang bisa jadi berakibat fatal pada jaringannya. Seperti beberapa tahun lalu yang pernah terjadi. Teman Robi yang bernama Maksum ditemukan telah menggunakan uang jejaringnya untuk kepentingan pribadi. Maksum dengan cepat meminta maaf atas kelalaiannya itu.Â
Dia berkeliling menjelaskan alasan terpakainya uang jaringan dan bersedia mengembalikan secepatnya. Semua orang memaafkannya, termasuk Robi. Setelahnya, Maksum merasa permasalahannya telah selesai. Meskipun kenyataannya, tidak seorangpun mau berkerjasama dengannya setelah insiden itu.
Robi tetap merasa kalau kesalahannya tidak sebesar Maksum. Dia merasa mungkin benar apa yang disampaikan oleh Yesa bahwa seniornya telah mampu memaafkannya. Barangkali itu benar, semua akan sangat baik baginya. Dia akan segera kembali ke Jakarta, melanjutkan aktifitasnya sebagai orang yang memegang hak sebagai puncak pimpinan dari jaringanya. Meskipun dalam hati ragu, dirinya tidak mengalami apa yang pernah menimpa Maksum.
Membayangkan semua kembali seperti sebelumnya terasa begitu indah bagi Robi. Sekali perintah, ratusan atau mungkin ribuan orang akan menjalankanya. Ketika dia berkeinginan, semua orang akan dengan sigap membantunya. Mereka bekerja sesuai dengan keahlian masing-masing. Semua tentu berada di bawah kendali Yesa.Â
Sementara itu, Robi tinggal menunggu hasil akhir dari usaha mereka. Memolesnya agar terlihat lebih cantik dan mengklaim itu sebagai upayanya. Tidak seorangpun akan berani menolak klaimnya.
Dia kembali berniat untuk menghubungi Yesa. Memintanya agar menyiapkan orang yang dapat membantunya bertahan dan menyerang balik para seniornya yang telah mengusirnya dari kota. "Yesa, kamu tahu kasusku bukan?"
Suara Yesa terdengar serak, "Iya mas. Aku jelas sangat memahami apa yang menimpamu."
"Aku telah lama berjuang untuk mencapai titik ini. Aku berjuang sendiri tanpa bantuan siapapun. Aku juga tidak pernah melawan siapapun selama ini. Tetapi mereka memperlakukanku layaknya seorang pesakitan. Mereka sekarang ingin mencabutku dari akar rumputku dan ingin pula mengakhiri karirku. Mereka benar-benar tidak adil padaku."
"Aku juga menganggap demikian. Aku masih bergerak mas. Mereka sebenarnya telah memaafkanmu mas."
"Kamu mempercayainya?"
"Tidak."
Pembicaraan itu terputus. Keduanya kehabisan kata-kata untuk melanjutkan perbincangan. Robi berpikir tidak waktunya lagi untuk membicarakan stategi. Begitupun Yesa yang telah berhitung bahwa tidak ada gunanya melakukan perlawanan.
Robi merebahkan badan pada ranjang porta camp yang kerangkanya terbuat dari besi. Terdengar suara rintihan dari besi menahan berat badannya. Dia ambil lima butir pil dari kantong kain yang di bawanya dari Jakarta. Dia minum pil itu sekaligus dan kemudian memejamkan matanya.
Suara orang tuanya tiba-tiba terdengar nyata di telinganya. " Dia benar-benar salah langkah. Dia bukan lagi anakku jika tidak mau pulang ke kampung."
Suara Yesa juga terdengar terang, "Mas, harusnya kamu berhenti saja. Kita tidak akan menang melawan mereka."
Suara seniornya terdengar saling bersahutan, "Dia sudah terlalu banyak berhutang pribadi pada kita."
"Dia sama sekali tidak memberikan manfaat pada jejaring kita."
"Dia telah lama menjadi pesakitan. Dia telah lama menjadikan pil sebagai penolongnya. Dia telah berjabat tangan dengan setan sekarang."
Bayangan pada saat-saat awal dia memimpin kembali hadir. Dia mengenakan setelan kemeja dengan celana kain warna hitam memasuki sebuah ruang siding. Di ruangan itu tampak Yesa, Firman dan Bahrain sedang berdebat dan di saksikan oleh sekian banya orang yang sepontan memberikan sorak saat Robi melewati pintu.
"Aku tidak ingin dipimpin oleh orang yang tidak amanah. Aku merasa saudaraku Robi yang paling patut memimpin kita sekarag. Bukan orang yang hanya mau jabatannya saja seperti Lukman." Yesa datang menghampirinya, menuntunnya dan mempersilahkan duduk di salah satu kursi kosong.
Setelah dia membenarkan posisi duduknya dan saat ruangan rapat itu mendadak hening. Para peserta rapat berdiri dan menyalami Robi sambil mengucapkan selamat tanpa menghiraukan keberadaan Firman dan Bahrain. Semua telah bersepakat untuk memilih Robi sebagai pemimpin mereka.
Dalam gelap ketika matanya semakin berat, terdengar suara seorang polisi memasuki ruangannya. " Segera kalian kemasi barang-barangmu dan ikut kami ke kantor!"
Sebuah alat pembakar yang biasa disebutnya bong dan sekantong inex yang baru saja dibelinya di ambil oleh petugas berwajib. Dia berjalan mengikuti petugas yang membawanya ke kantor polisi. Tidak ada ingatan bagaimana dia di bawa ke kantor polisi. Tidak pula teringat olehnya siapa saja yang telah dia hubungi sejak malam itu. Dia hanya tahu kabar dari temannya bahwa senior -- senior telah mengetahui keadaannya.
"Robi... Robi..." Suara panggilan itu terdengar jauh. "Cepat bawa dia ke rumah sakit! Dia over dosis."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H