Cahaya redup akan kalah dengan cahaya yang lebih terang dan mungkin mataharipun akan kalah dengan cahaya yang lebih terang darinya. Wiji kuatir kalau suatu saat manusia dapat menemukan sebuah sumber cahaya yang lebih terang dari Matahari.Â
Jika itu terjadi, Wiji yakin bahwa anak cucunya tidak akan mampu mengenal Matahari apabila kejadian luar biasa itu terjadi. Dia mengingat bagaimana dahulu dia sering kali mencoba menghitung bintang-bintang dan mengingat letak posisinya saat ayahnya mengajarkan tentang pembagian waktu malam.Â
Sekarang dia sudah tidak lagi mampu melakukan itu bersama dengan anak-anaknya. Fenomena hilangnya bintang ini bagaikan sebuah kemajuan yang mengakibatkan bencana. Bagaimana jika matahari juga mengalami hal serupa? Wiji tidak pernah mampu membayangkannya. Dalam diam, dia berdoa agar hal itu tidak pernah terjadi.
Beberapa tahun belakangan ketika ketiga anaknya tinggal di asrama dan istrinya bekerja, dia merasa semakin kesepian. Istrinya selalu berangkat ke pabrik tepat jam setengah 5 sore sedangkan Wiji yang menggunakan matahari sebagai penanda waktunya, jam pulangnya tidak tentu.Â
Terkadang dia pulang setelah istrinya berangkat dan terkadang mereka berpapasan di gang masuk ke rumahnya, dan terkadang pula keduanya bertemu di rumah sebentar sambil mengucapkan salam atau membicarakan mengenai sisa lauk yang telah dimakan istrinya.Â
Saat dini hari, ketika Wiji bangun dan mempersiapkan dagangannya, biasanya Minah, istrinya baru sampai rumah dan kemudian tidur tanpa meninggalkan sepatah katapun. Ketika Minah masih tertidur pulas dan Wiji telah menyelesaikan pekerajaannya, dia kemudian memasak sarapan untuk istrinya. Dia tahu, istrinya telah bekarja keras di pabrik sehingga dia merasa tidak patut untuk membangunkannya.Â
Wiji berangkat kerja saat istrinya masih tidur lelap. Mereka seolah menjadi dua makhluk asing di rumah tanpa adanya anak-anak. Biasanya jika anak-anak liburan, mereka masih menyempatkan untuk sarapan bersama dan kemudian istrinya melanjutkan istirahatnya.
Pernah suatu hari Wiji menegur istrinya, ketika dia harus memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian. "Kamu terlalu sibuk belakangan, bahkan tidak punya banyak waktu buat rumah kita." Sontak istrinya yang waktu itu baru pulang kerja langsung emosi. " Aku bekerja untuk mencukupi rumah tangga kita. Aku bekerja mulai sore hingga tengah malam dan saat aku baru sampai rumah sudah kamu marahi."Â
Wiji yang saat itu merasa telah menyampaikan keluhannya dengan bahasa yang sangat halus, kemudian diam. Tetapi istrinya melanjutkan, " Sudah aku bilang kamu perlu membawa jam agar kita dapat berjumpa tiap hari. Jika kamu menggunakan jam sebagai acuan rutinitasmu, kita tentu dapat dengan mudah bertemu. Karena kamu menggunakan matahari sebagai acuan, akhirnya tidak jelas waktu pulangmu.Â
Kamu selalu pulang setelah aku berangkat kantor." Wiji merunduk dengan penuh penyesalan. Dia mencoba untuk mengumpulkan seluruh kecerdasannya agar dapat menjawab keluhan istrinya itu. Namun tiap sebuah ide terlintas dipikirannya, dipendamnya kembali dalam-dalam.Â
Dia tidak ingin menyakti istrinya. Sampai beberapa saat setelahnya saat istrinya mulai melahap makanan malamnya sepulang kerja, Wiji kembali membuka pembicaraan, "Aku sudah berusaha pulang lebih cepat dari biasanya." Keengganannya untuk melirik jam dinding membuatnya tidak tahu tepat jam berapa dia pulang. " Aku dahulu pulang saat bayanganku sejengkal lebih tinggi dari tubuhku.Â