Mengingat peran penting pemilu sebagai momentum konsolidasi demokrasi secara menyeluruh dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka seluruh pemangku kepentingan (stakeholders)Â demokrasi, hendaknya bertekad melahirkan pemilu yang berkualitas dan bermartabat.Â
Aneka titik lemah yang menjadi 'dosa warisan' dari pemilu-pemilu sebelumnya, harus ditebus dengan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu, yang sungguh-sungguh bersifat; langsung, umum, bebas, rahasia, serta  jujur, dan adil (Luber dan Jurdil). Â
Kita percaya bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta seluruh perangkatnya, telah berupaya sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas dari seluruh tahapan pemilu yang kompleks ini (pemilu serentak).Â
Begitu uniknya Pemilu 2019 ---di mana setiap pemilih akan mencoblos lima surat suara sekaligus, yakni DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Pilpres--- maka diprediksi akan menyita perhatian dunia internasional. Sangat mungkin banyak pengamat dan peneliti internasional yang akan terjun memantau penyelenggaraan Pemilu 2019 di Indonesia.
Kiranya kita mafhum bahwa Pemilu 2019 digelar dalam perjalanan usia Indonesia yang telah melewati usia 73 tahun, suatu perjalanan usia yang tidak muda lagi. Kualitas penyelenggaraan Pemilu 2019 merupakan entry point bagi Indonesia untuk melakukan loncatan inspiratif; dari sekedar sebagai negara demokrasi keempat terbesar di dunia, menjadi negara acuan praktek demokrasi paling diandalkan di muka bumi. Sebaliknya, apabila Pemilu 2019 berlangsung anti-klimaks dari aspek kualitas, maka Indonesia berpotensi bergerak liar menuju negara gagal (failed state).
Bahaya paling liar terhadap kualitas pemilu adalah politik uang. Apabila ditelisik lebih jauh, maka dapat disimpulkan bahwa praktek politik uang sesungguhnya bermula dari konspirasi atau manuver ala kelompok mafioso dalam merampok uang negara. Pencurian uang negara secara berkomplot inilah yang dikenal dengan istilah 'korupsi berjamaah'.Â
Politik uang (money politics)Â yang bersumber dari uang-uang haram hasil korupsi itu, bakal melahirkan pula para pemimpin politik yang berintegritas rendah. Kondisi ini bakal merobohkan bangunan demokrasi yang ideal.
Begitu berbahayanya korupsi sehingga suatu negara berdaulat dapat berubah menjadi negara gagal, seperti yang terjadi pada sejumlah negara di kawasan sub-sahara Afrika.
Hari-hari ini, kita menyaksikan adanya fakta bahwa segelintir elite politik masih tergoda untuk melakukan korupsi akibat politik berbiaya tinggi (high cost politics). Seringkali terbukti dari pengakuan oknum-oknum elite politik yang tertangkap sebagai koruptor, bahwa uang negara yang dicuri itu digunakan untuk mengganti biaya politik yang telah dikeluarkan. Ironisnya, biaya politik itu sebagian besar merupakan talangan atau pinjaman yang harus dibayar beserta dengan bunganya.
Pemilu berbiaya tinggi dan mahal membuat oknum-oknum politikus pragmatis berani menempuh jalan pintas korupsi. Kondisi tersebut menggoda elite politik melakukan tindakan korupsi untuk membiayai kontestasi politik yang diikutinya. Tidaklah heran apabila dari waktu ke waktu, terjadi peningkatan volume penangkapan oknum-oknum politikus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Â
Data media massa menunjukkan, terhitung sejak tahun 2012 hingga menjelang akhir tahun 2018 ini, sedikitnya 25 orang kepala daerah (gubernur, dan atau bupati/walikota) telah diseret ke "Gedung Merah-Putih" di Kuningan melalui Operasi Tangkap Tangan atau OTT.Â