Mohon tunggu...
Erwin Ricardo Silalahi
Erwin Ricardo Silalahi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga Negara Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Keruntuhan Citra Parpol di Pemilu 2019

20 Oktober 2018   02:04 Diperbarui: 20 Oktober 2018   02:07 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari ini, suasana kompetisi kontestasi Pemilu 2019 kian kental mewarnai panggung politik nasional, baik itu dalam ranah pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres). Sebagaimana diketahui Pemilu 2019 mengandung keunikan tersendiri, mengingat inilah pemilu yang menyatukan sekaligus pileg dan pilpres.

Belajar pada penyelenggaraan pemilu di beberapa periode sebelumnya, maka hal prioritas yang harus diwujudkan adalah menjauhkan praktek politik uang (money politics) dari panggung demokrasi. 

Sejatinya, politik uang merupakan perkawinan negatif dari tingkah laku politikus busuk yang hanya mengandalkan mesin uang untuk membeli kemenangan, dengan memobilisasi dan memanipulasi kemiskinan riil di tengah masyarakat. Ironisnya, kemiskinan riil itu membuat masyarakat pemilih semakin pragmatis dan instan.

Dalam formulasi yang lain, money politics merupakan 'perkawinan terlarang' antara kemiskinan moralitas kaum politikus di satu sisi, dengan kemiskinan riil yang menjerat masyarakat di sisi lainnya. Seiring dengan realitas masyarakat kita yang semakin cerdas, maka sangat diharapkan agar para pemilih tidak lagi menjual martabat dan harga dirinya dengan menerima lembaran-lembaran uang dari para politikus busuk.

Publik sungguh berharap agar Pemilu 2019 yang berlangsung pada era kepemimpinan Presiden Jokowi ini, mampu melahirkan para pemimpin politik yang berkualitas, kredibel, dan berintegritas. 

Seiring dengan harapan ini, maka partai politik (parpol) sebagai peserta pemilu, mau melakukan otokritik dan pembenahan internal agar tetap dipercaya oleh rakyat. Apabila parpol gagal melakukan perbaikan citranya, maka sangat mungkin parpol akan mengalami fase keterpurukan akibat musnahnya kepercayaan (trust) dari publik. Sepatutnya parpol-parpol berbenah diri agar tidak jatuh terjerembab ke dalam ketidakpercayaan (distrust) publik.

Sebagai komparasi sejarah, pada masa dulu, seusai Pemilu 1955 pemilu yang diklaim paling demokratis hingga saat ini, parpol-parpol justru terjebak dalam pragmatisme kekuasaan yang akut, sehingga saling gontok-gontokan dan mengakibatkan instabilitas politik. 

Menanggapi situasi instabilitas politik negara pada masa itu, maka Bung Karno memberikan warning yang keras terhadap parpol. Dengan pilihan sadar, Bung Karno mengajak rakyat untuk mengubur partai-partai. "Ayo, mari kita kubur partai-partai!" demikian seruan Bung Karno kala itu.

Akibat situasi politik yang kontraproduktif, maka Bung Karno menggagas perlunya negara memiliki satu partai tunggal sebagai wahana konsolidasi kebijakan politik negara dalam hal pembangunan nasional. 

Ide besar Bung Karno itu dalam beberapa kepustakaan sejarah dikenal dengan terminologi "partai negara" (the state party/partij). Ide Bung Karno tersebut, sejatinya beririsan erat dengan gagasan Bung Karno mengenai pentingnya eksistensi suatu "golongan fungsional" yang kemudian melahirkan Golongan Karya; golongan yang semula bernama Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya).

Pemilu Bersih 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun