Mohon tunggu...
Erwin Ricardo Silalahi
Erwin Ricardo Silalahi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga Negara Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK Tersesat di Jalan yang Lurus

7 November 2017   17:00 Diperbarui: 7 November 2017   17:04 1649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bahwa sesungguhnya keputusan Sidang Pra-Peradilan itu bersifat final and binding,begitu pula keputusan Pra Peradilan yang memenangkan Setya Novanto dalam kasus e-KTP. Semestinya status pencekalan yang disematkan kepada Novanto pun harus gugur demi hukum oleh karena kemenangan Pra-Peradilan. Tindakan KPK semacam ini jelas-jelas telah melenceng jauh dari koridor hukum positif yang berlaku di negeri ini.  Manuver KPK dalam kasus e-KTP terasa lebih kental nuansa politiknya ketimbang substansi hukumnya.

Sikap KPK yang tendensius dan cenderung kalap untuk mengejar Setya Novanto, patut diduga merupakan upaya menutupi rasa malu akibat kalah di Sidang Pra-Peradilan. Pasalnya, sebelum keputusan Sidang Pra-Peradilan dikeluarkan, KPK telah bermanuver dengan membonceng opini media-media partisan bahwa pihaknya akan menang dalam Sidang Pra-Peradilan. Kenyataannya malah sebaliknya,  KPK justru kalah oleh putusan hakim Chepi Iskandar.

Mengingat manuver dan intrik politik KPK berpotensi mengancam stabilitas penyelenggaraan negara, lantaran mengganggu fungsi-fungsi kelembagaan DPR RI, maka sudah semestinya Presiden Jokowi selaku Kepala Negara mengambil sikap proaktif dan tidak lagi berdiam diri membiarkan kondisi kontraproduktif ini terus terjadi. Presiden Jokowi jangan lagi merasa sungkan seolah-olah hendak mengintervensi domain yudikatif. Sebaliknya, Presiden Jokowi mesti bertindak cepat dan tidak sungkan lagi untuk mengintervensi, agar dapat mengatasi situasi kontraproduktif yang mengancam stabilitas penyelenggaraan negara.

Mengapa perlu ada intervensi dari Presiden Jokowi selaku Kepala Negara? Sejatinya, seorang Presiden memiliki kewenangan ekstra-kontitusional untuk mengatasi situasi negara apabila negara sedang berada dalam ikhwal kegentingan yang memaksa. Halmana misalnya pada kewenangan Presiden mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dalam hal instabilitas penyelenggaraan negara akibat dari berbagai intrik dan manuver KPK, maka Presiden Jokowi selaku Kepala Negara harus sudah bertindak tegas,demi mencegah terjadinya krisis konstitusi yang bisa berujung pada negara gagal.

Merujuk pada sejarah ketatanegaraan, Presiden Soekarno pernah menempuh langkah ekstra-konstitusional saat mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk mengatasi situasi kegentingan yang memaksa akibat pergesekan ideologis diantara elemen-elemen pendukung demokrasi parlementer kala itu. Kini saatnya Presiden Jokowi diharapkan dapat bertindak tegas seperti mendiang Presiden Soekarno dalam menyelamatkan situasi negara. Apabila Presiden Jokowi mampu menunjukkan ketegasan seperti Presiden Soekarno, maka kewibawaannya sebagai seorang Presiden dan Kepala Negara akan semakin kokoh di mata rakyat.

Ada hal lain yang patut dikhawatirkan yakni terjadinya gesekan disintegrasi nasional akibat manuver dan intrik politik KPK. Kalau mau diperbandingkan, di masa lalu isu komunisme membuat bangsa kita terpecah-belah. Kini, isu korupsilah yang justru mengancam persatuan nasional kita. Manuver KPK yang membonceng isu korupsi amat berpotensi memecah-belah bangsa. Lalu apa kontribusi KPK terhadap sejarah terbentuknya negara-bangsa (nation-state)Indonesia, sehingga dengan mudahnya KPK merusak pranata kehidupan bernegara kita?

Sudah selayaknya publik bersikap rasional bahwa tidak boleh lembaga ad-hoc seperti KPK yang dapat berfungsi terus-menerus, seolah-olah merupakan lembaga permanen. Hal itu dapat menimbulkan adanya praktek negara dalam negara yang dapat berujung pada negara gagal.Konsekuensinya, sebuah lembaga ad-hoc harus memiliki batas waktu untuk keberadaannya. Mengingat KPK merupakan lembaga ad-hoc, maka kini saatnya fungsi dan keberadaan KPK segera diakhiri, seiring dengan telah terjadinya penataan dan reformasi di tubuh Kepolisian dan Kejaksaan.

Mengacu pada berbagai distorsi penyelenggaraan negara akibat ulah dan manuver KPK, maka kini saatnya KPK harus dipertimbangkan ulang keberadaannya. Kita tidak boleh sekali-kali mempertaruhkan tatanan bernegara dan berbangsa hanya untuk mempertahankan lembaga ad-hoc seperti KPK. Sejenis 'makhluk' apakah KPK ini sehingga diperlakukan begitu istimewa? (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun