Mohon tunggu...
Erwin Ricardo Silalahi
Erwin Ricardo Silalahi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Warga Negara Indonesia

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK Tersesat di Jalan yang Lurus

7 November 2017   17:00 Diperbarui: 7 November 2017   17:04 1649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seiring sorotan negatif yang semakin sering diarahkan berbagai elemen terhadap KPK belakangan ini, maka semakin intensif pula KPK memainkan manuver dan jurus-jurus kamuflase sangat mungkin dengan target untuk menunai simpati publik. Manuver itu biasanya berwujud modus Operasi Tangkap Tangan (OTT). Modus OTT ini sebenarnya patut dicurigai, karena KPK tidak pernah membuka secara terbuka  kepada publik bagaimana awal-mula proses OTT berlangsung.

Patut diduga, OTT yang berujung pada penangkapan sejumlah kepala daerah di Indonesia, bersumber dari bocoran informasi di seputar tersangka OTT. Kalau demikian, bukankah pemberi bocoran informasi itu juga merupakan bagian dari sindikat korupsi? Pembocor informasi ini bisa saja adalah orang-orang yang kecewa lantaran memperoleh 'jatah dana korupsi' yang sangat jauh dari ekspektasinya. Lalu tindakan hukum apakah yang dikenakan kepada para pembocor informasi itu? Apakah yang bersangkutan juga menjadi pihak yang ditersangkakan, atau dibiarkan lepas begitu saja oleh KPK?

Sumirnya penjelasan KPK mengenai pembocor informasi OTT, pada akhirnya mengundang anggapan bahwa OTT hanyalah modus basi untuk mengelabui sikap kritis para pihak kepada KPK. Peristiwa OTT yang disiarkan secara mencolok oleh media massa (blow-up) membuat publik seolah-olah terhipnotis dengan kinerja KPK dalam memberantas korupsi di negeri ini. Padahal, sangat mungkin OTT tidak lain merupakan modus basi yang digunakan KPK untuk menghabisi karakter seseorang, atau mengakhiri dengan cara vulgar karir politik seseorang yang mungkin tidak lagi disukai oleh vested group yang bermain di belakang KPK.

Modus basi OTT ini patut diduga tetap akan digunakan dan sangat mungkin semakin intensif dilakukan saat memasuki tahun politik menuju 2019. Guna menjatuhkan lawan politik yang tidak lagi disukai oleh vested group, maka seorang tokoh dapat saja di-OTT-kan! Kalau itu terjadi maka terbuka kemungkinan figur-figur yang akan tampil dalam kontestasi Pileg dan Pilpres tahun 2019, bisa mati kutu. Bukan tidak mungkin, pada  Pilpres 2019 mendatang, KPK pun akan dimobilisasi oleh vested group untuk mengkriminalisasi tokoh-tokoh bangsa yang berpotensi maju sebagai Capres.

Perihal manfaat dari sebuah OTT, apa yang bisa dijelaskan oleh KPK kepada publik? Pertanyaan sederhananya, apakah ada korelasi positif antara OTT dan uang negara yang diselamatkan dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat? Kalau tidak ada korelasinya, lalu masih perlukan KPK dipertahankan? Situasi ini ibaratnya bahwa KPK sedang tersesat di jalan yang lurus.

Degradari Lembaga Negara

Bila dirunut ke belakang, modus basi OTT yang dilancarkan oleh KPK memberi resiko yang fatal terhadap keberadan lembaga-lembaga negara. Beberapa lembaga negara telah mengalami dampak buruk akibat manuver KPK, diantaranya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD). Terkini adalah manuver KPK terhadap lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); kendati status tersangka pada Setya Novanto telah gugur menyusul kemenangan Setya Novanto di Sidang Pra-Peradilan, KPK masih saja ngototdan tampak panik untuk menjadikan Ketua DPR RI sebagai tersangka korupsi.

Sesuai konsekuensi hukum, maka jika status tersangka gugur, maka status pencekalan pun harus berakhir. Anehnya, KPK justru memperpanjang status pencekalan Setya Novanto. Begitu hebatkah KPK sehingga seenaknya mengangkangi logika hukum positif? Terkini, KPK melayangkan lagi panggilan kepada Setya Novanto untuk diperiksa terkait kasus e-KTP. Padahal, mengacu pada ketentuan UU MD3 dan keputusan Mahkamah Konstitusi, pemeriksaan Ketua DPR RI mesti dilandasi oleh persetujuan Presiden sebagai Kepala Negara. Tetapi, mengapa KPK bersikap sesuka hatinya? Apa sesungguhnya motif ideologis dari KPK yang tampak getol meruntuhkan wibawa lembaga-lembaga negara?

Untuk itulah, patut diduga bahwa KPK sedang bermanuver untuk memecah-belah atau bahkan menghancurkan bangsa Indonesia melalui isu korupsi. Apakah KPK sedang bermain dalam arus "penjajahan bentuk baru" oleh kekuatan imperialis-kapitalis dunia? Perihal penjajahan bentuk baru ini,  jauh-jauh hari mendiang Bung Karno telah memberikan warning kepada bangsa Indonesia bahwa salah satu fase kehidupan berbangsa yang paling berat adalah saat menghadapi kekuatan "neo-kolonialisme" dan "neo-imperialisme", yang bermetamorfosis untuk menjajah bangsa Indonesia dari aspek ekonomi dan budaya.

Satu hal lagi yang paling mencolok dan tidak elok pada KPK adalah penggunaan APBN dalam rangka kampanye anti-korupsi. Konon, ada puluhan miliar rupiah yang diberikan KPK kepada LSM-LSM untuk pembinaan anti korupsi. Anehnya, dana itu konon tidak boleh diaudit penggunaannya oleh auditor publik. Apa sebenarnya KPK ini? Komisi anti-rasuah ini paling getol memeriksa lembaga-lembaga lain yang menyalahgunakan APBN. Tetapi, dana APBN yang digunakan KPK tidak boleh diaudit. Kalau penggunaan APBN tanpa audit tidak disebut korupsi, lalu istilah apa yang paling tepat untuk menamakan hal tersebut?

Perlu Intervensi Kepala Negara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun