Konflik berkepanjangan yang melanda Partai Golkar berakhir sudah, pasca terbitnya SK Menkumham yang memperpanjang DPP hasil Munas Riau 2009. Bara konflik pun mendingin. Bersamaan dengan itu, angin rekonsiliasi sepoi-sepoi berhembus ke dalam tubuh Golkar. Perdamaian politik yang lama ditunggu itu pun akhirnya datang juga.
Namun, rekonsiliasi di tubuh Golkar sudah semestinya ditempatkan dalam konteks kolektivitas yang menjangkau segenap elemen slagorde Golkar, khususnya antara kedua kubu yang terlanjur bertikai yakni DPP versi Bali di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan DPP versi Ancol di bawah kepemimpinan Agung Laksono (AL). Dengan kata lain, rekonsiliasi jangan direduksi hanya pada level personal ARB dan AL.
Personalisasi tokoh di tubuh Golkar haruslah dihindari untuk mencegah bertumbuhnya feodalisme politik. Lazimnya feodalisme politik selalu memosisikan tokoh tertinggi partai atau ketua umum sebagai ‘primus interpares’. Feodalisme politik jelas-jelas bertentangan dengan paradigma baru Partai Golkar yang dicetuskan oleh Ketua Umum Partai Golkar periode 1999-2004, Akbar Tanjung. Golkar sejatinya adalah milik rakyat dan bangsa, dan bukanlah milik orang per orang dan atau kroni politik tertentu.
Terkait harapan kolektif keluarga besar Golkar bahwa Munaslub mesti berlangsung dalam suasana rekonsiliatif, demokratis, dan berkeadilan, maka peran ARB dan AL sangatlah menentukan. ARB yang adalah Ketum Golkar hasil Munas Riau 2009 bersama AL yang menjabat Wakil Ketua Umum ditunggu peran kesejarahannya untuk memulihkan sekaligus mengembalikan kejayaan Golkar. Tidak ada pilihan yang lebih berharga bagi ARB dan AL, kecuali mengambil peran sebagai lokomotif untuk menarik gerbong reformasi Golkar.
Suka tidak suka, figur ARB dan AL sudah terlanjur dipersepsi oleh publik sebagai pemicu konflik Golkar yang berlangsung lebih dari setahun ini. Sehingga pada forum Munaslub inilah ARB dan AL memiliki peluang sejarah untuk memulihkan citranya dan meneguhkan eksistensi ketokohan mereka sebagai figur pemersatu Golkar. ARB dan AL bisa mengakselerasi roda rekonsiliasi dengan mendorong pembentukan Panitia Munaslub yang mampu menjadi jembatan perdamaian. Komposisi panitia penyelenggara, panitia pengarah/SC, dan panitia pelaksana/OC Munaslub semestinya terdiri dari kader-kader berintegritas yang tidak punya cacat pencitraan di ranah publik.
Apabila ARB dan AL mampu melewati momentum krusial ini dengan indah (happy landing) yakni dengan mempersembahkan perdamaian yang tuntas di tubuh Golkar, maka sejarah akan mencatat dengan tinta emas peran ARB dan AL dalam memulihkan kondisi Golkar dari keterpurukan, sekaligus mengembalikan kejayaan Golkar seperti pernah diraih di masa lalu.
Tidak hanya untuk ARB dan AL, ujian sejarah pun sesungguhnya sedang dihadapi oleh Golkar sebagai entitas politik yang telah berusia di atas 50 tahun. Lazimnya, sebuah organisasi politik yang telah menembus usia di atas 50 tahun, berada dalam kondisi krusial yakni dapat terus bertahan atau sebaliknya gagal eksis. Kondisi Golkar hari-hari ini sedang berada di persimpangan sejarah, apakah akan terus eksis, atau bakal tenggelam di ufuk sejarah. Refleksi atas kondisi Golkar terkini kiranya menjadi pertimbangan bagi ARB dan AL untuk menulis sejarah kepemimpinan mereka bagi kelangsungan dan masa depan Golkar.
Cegah ‘bom waktu’ perpecahan
Dalam rangka rekonsiliasi paripurna bagi Golkar, maka Munaslub kali ini mesti mampu menghadirkan kepesertaan dari unsur kedua kubu yang pernah bertikai. Pasalnya, secara de facto kedua kubu itu telah membentuk DPD-DPD di seluruh Indonesia. Bahkan, komposisi struktural partai sudah terbentuk hingga ke tingkat basis organisasi yakni pada level Pengurus Kecamatan.
Pelibatan kepesertaan Munaslub dari kedua belah pihak yang pernah bertikai adalah logis dan bersifat niscaya. Soal siapa nantinya yang memiliki hak suara di Munaslub, biarlah keputusan itu dibahas di sesi pembahasan Tatib. Hal ini juga bermanfaat untuk mencegah ‘bom waktu’ bagi eksistensi Golkar, misalnya kemungkinan terpecahnya Golkar menjadi partai baru. Perpecahan lanjutan di tubuh Golkar harus dicegah agar tidak memperpanjang daftar sejarah keterbelahan Golkar yang memicu lahirnya partai-partai baru.
Sekali lagi, apabila ARB dan AL mampu mencegah perpecahan baru di tubuh Golkar pasca Munaslub, maka dua tokoh kaliber Golkar ini bakal dikenang sebagai figur pemersatu Golkar, di tengah hantaman badai tsunami politik terhadap partai beringin. Selain itu, ARB dan AL pun akan dicatat oleh lembaran sejarah Golkar, sebagai dua tokoh kunci yang mampu mengembalikan karakter Golkar sebagai kekuatan politik karya-kekaryaan.
Segenap kader Golkar di seluruh Indonesia tentu saja berharap agar Golkar tidak berubah menjadi fosil sejarah. Golkar jangan sampai menuliskan sejarah tragik, ibarat kisah tenggelamnya kapal Titanic di dasar samudera. Komparasi dengan kisah Titanic ini wajar saja, mengingat Golkar ibaratnya sebuah kapal besar yang membawa para penumpang dari berbagai lapisan dan latar belakang yang merepresentasikan kemajemukan Indonesia.
Peran ARB dan AL pun diperlukan untuk menghasilkan Munaslub bersih. Publik khususnya keluarga besar Golkar berharap agar ARB dan AL mampu mewarisi pelajaran politik kepada bangsa ini mengenai kiprah politik partai yang bersih dan menjadi contoh bagi parpol lainnya. Terobosan Munaslub bersih ini akan memperkuat citra Golkar sebagai penghembus perubahan dalam praktek politik Indonesia. Terobosan politik seperti Konvensi Calon Presiden pada Pilpres 2004 yang diperkenalkan oleh Akbar Tanjung (Ketua Umum Golkar 1999-2004), hingga kini terus diapresiasi oleh berbagai elemen bangsa.
Ada baiknya ARB dan AL merealisasikan berlangsungnya Munaslub yang bersih dari praktek politik uang dan cara-cara kotor lainnya. Untuk itu ARB dan AL harus mendorong Panitia Munaslub agar mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pemantau independen dalam forum Munaslub. Selain itu, Panitia Munaslub bisa pula mengundang para pemantau independen bisa berasal dari kalangan LSM, serta mitra-mitra politik Golkar di sejumlah negara sahabat seperti UMNO Malaysia, PAP Singapura, dan PKC Tiongkok.
Diharapkan kepemimpinan Golkar pasca Munaslub mampu mengadopsi keteladanan kepemimpinan nasional seperti sosok Presiden Jokowi yang selalu tampil bersahaja dan kukuh berkarya. Untuk itu, figur Ketua Umum Golkar mendatang idealnya tidak tersangkut masalah hukum dan politik, karena hal itu akan menyulitkan pemulihan citra Golkar di mata rakyat. Di masa mendatang, Golkar diharapkan mampu menjadi penentu stabilitas politik nasional. Melalui kemampuan “bersinergi erat” dengan pemerintahan Jokowi-JK, Golkar diharapkan kembali ke khittah sebagai kekuatan karya-kekaryaan, sehingga bisa berjuang bersama pemerintah untuk mengemban Amanat Penderitaan Rakyat atau Ampera!
Mengacu pada prasyarat PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela) yang lazim berlaku di tubuh Golkar, maka berikut ini nominator Calon Ketua Umum Partai Golkar 2016-2021, sebagaimana yang telah muncul di ranah publik adalah sebagai berikut: Indra Bambang Utoyo, Airlangga Hartarto, Agus Gumiwang Kartasasmita, Jend. Purn (TNI) Luhut Binsar Panjaitan, Jend. Purn (TNI) Moeldoko, Titiek Soeharto, Tommy Soeharto, Mahyudin, Zainuddin Amali, Priyo Budi Santoso, Alex Noerdin, Syahrul Yasin Limpo, Taufiq Hidayat, Azis Syamsudin, Idrus Marham, Ade Komarudin, dan Setya Novanto. ***
Erwin Ricardo Silalahi
(Eksponen Gerakan Golkar Bersih)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H