Terlepas dari itu semua, aki dan ninik sama sekali tidak berubah. Raut wajahnya pun tetap sama. Tak terlihat tambahan kerutan di wajah. Sehari-hari, mereka masih melakukan kegiatan yang sama, yakni berladang, mengambil ikan yang terperangkap bubu di sungai, dan mengurus rumah tangga. Sikap mereka yang selalu ramah membuat saya terus ingin kembali ke sini, sekali lagi dan sekali lagi!
Disambut durian
Pada perjalanan kali ini, ada satu pemandangan unik yang tak saya lihat pada enam tahun lalu. Ada durian di mana-mana. Ya, durian memenuhi Cikeusik! Beruntunglah masyarakat Baduy yang dianugerahi hutan durian! Di dalam hutan mereka nun jauh di sana, terdapat banyak sekali pohon durian. Pohon-pohon durian yang ada di hutan Baduy memang tumbuh secara alami. Beruntung, pohon-pohon tersebut bisa tumbuh dengan subur sehingga dapat menghasilkan buah yang berkualitas.
[caption caption="durian baduy"]
Selama musim panen, durian di Baduy layaknya pempek di Palembang. Dari pagi hingga malam, durian menjadi camilan. Selain durian matang, warga Baduy juga mengonsumsi durian mentah. Saya sempat mencoba durian mentah yang mereka makan. Teksturnya seperti salak, tetapi dengan rasa tawar. Tak hanya dimakan langsung, durian mentah juga bisa ditumis lantas dimakan bersama nasi panas. Enak!
Parenting ala Baduy
Kekhawatiran saya atas bayi yang tidak nyaman tinggal di Baduy betul-betul tak beralasan. Faktanya, setelah merasa cukup beradaptasi dengan mengamati lingkungan baru di sekitarnya, si bayi langsung wara-wiri. Ia asyik mengacak-acak somong[2] yang tertumpuk di nampah. Saat diletakkan di tanah, ia pun asyik merangkak dan sesekali menyelinap di ladang sawah. Tak hanya itu, ia juga semangat saat dimandikan di pancuran bambu yang airnya berasal dari mata air. Si bayi juga senang bermain bersama cucu-cucu aki yang umurnya sebaya.
Melihat si bayi berinteraksi dengan bayi-bayi Baduy, saya pun tergerak untuk menanyakan perihal cara-cara keluarga Baduy dalam mengasuh anak-anaknya. Tak mengenal rumah sakit, perempuan Baduy yang mau melahirkan akan memanggil paraji[3]. Buat mereka, nggak ada istilah melahirkan di bidan ataupun rumah sakit, hanya ada melahirkan dibantu paraji. Demikian pula dengan cara lahiran, hanya ada satu cara yakni melahirkan secara normal. Saya sendiri bertanya-tanya, bagaimana dengan bayi atau ibu yang mengalami kondisi darurat, seperti bayi terlilit tali pusar, posisi bayi sungsang, atau ibu mengalami perdarahan. “Ya...selama ini kalau (perempuan) melahirkan, nggak ada (kasus) yang aneh-aneh,” jawab aki.
Berbeda dengan anjuran menyusui yang digalakkan pemerintah—ASI eksklusif selama enam bulan, di Baduy seorang ibu biasa menyusui anaknya hingga berusia 3-4 tahun. Selain tak mengenal susu formula, mereka juga tak ada biaya untuk membelinya. Meski pro-ASI, mereka juga tak mengenal istilah ASI ekskluisf. Bagi mereka, kalau si bayi sudah terlihat ingin makan, mereka akan memberikannya—tak berpengaruh dengan usia bayi. Nggak heran, bayi berusia 3 bulan sudah diberi kue cucur serta gorengan jenis lainnya. Di usia 6 bulan, seorang bayi di Baduy sudah “boleh” makan durian.
Di Baduy, memang tidak tersedia kamar mandi sehingga penduduk Baduy terbiasa mandi di sungai. Demikian pula dengan bayi-bayi mereka. Saat menemani seorang ibu memandikan bayinya di sungai, saya mengamati batapa cekatannya ia. Bayi akan didudukan di salah satu punggung kaki ibu yang bertumpu pada batu, kaki lainnya terendam di dasar sungai untuk menjaga keseimbangan.
Selanjutnya, tangan kiri ibu memegang salah satu tangan bayi, sedangkan tangan kanan ibu menyiram, mengusap, dan membilas bayi. Alih-alih menggunakan sabun dan sampo yang tidak diperbolehkan karena dapat mencemari sungai, ibu memilih menggosok badan dan rambut bayi dengan jeruk nipis yang dibelah dua.
Untuk membersihkan telinga bayi, ia tentunya tidak menggunakan cottonbud, melainkan pantat peniti—bagian besi yang melingkar. Itulah salah satu contoh cara sederhana seorang ibu di Baduy dalam menjaga kebersihan bayinya. Lantas, bagaimana dengan cara mereka dalam menjaga kesehatan bayinya, adakah istilah imunisasi dalam kamus bahasa Baduy?
Di waktu berbeda, saat saya menginap di Kampung Gajeboh, Baduy Luar, saya berbincang dengan seorang bapak. Sebut saja Akang. Sebagai orang Baduy Luar yang sering berhubungan dengan masyarakat luar Baduy, Akang diminta untuk menyosialisasikan manfaat imunisasi kepada ibu-ibu di sekitarnya, terutama mereka yang memiliki bayi dan balita.