Mohon tunggu...
Sagah Aditama
Sagah Aditama Mohon Tunggu... Administrasi - Biasa Aja

suka sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Pisau

10 Desember 2012   14:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:53 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mata Pisau

:Karya Sagah Aditama

Bayang bayang hitam memancar kelam kedalam lubuk hati terdalam, tersirat rasa dendam yang begitu besar. Seperti hari hari sebelumnya, aku duduk termenung di antara pedih yang menusuk ulu

hati. Aku berharap malaikat datang menjemputku segera, silahkan saja kalau ia mau mencabut nyawaku atau memberiku jalan dengan segenggam cahaya, setidaknya mampu memberi tarikan nafas yang lebih panjang lagi, bukan seperti ini. Aku di sini bukan sebagai manusia biasa yang hidup terpenjara nafsu, aku monster yang haus akan dendam. Orang orang menyebutku setan dari surga. Berwajah setan berprilaku ibarat malaikat. Tapi di sisi lain aku kejam akan orang orang yang bermuka bening bersifat seperti muka ku ini.

Waktu berlalu begitu saja, satu bulan aku termenung. Tidak makan tidak pula tidur, bersemedi di antara rerumputan pinggir gua dekat pantai selatan Jawa. Senja menyingsing kurasakan desiran angin membelai lembut jiwaku. Aku sedikit lebih tenang dan melupakan dendam. Tak lama berselang seseorang wanit berambut panjang, bermata sayu, kulit kuning langsat, cantik lagi lembut menemuiku.

"Siapa kamu? Kenapa kamu ada di sini? Bukankh ini tempat angker yang tidak di perbolehkan seorangpun masuk sini!"

"Aku pancca, aku hampir satu bulan bertapa di sini, aku tengah mencari cahaya yang terpendam jauh di sana. Aku perlu itu, eh tapi kenapa engkau ada di sini, bukankah ini tempat yang angker, dan tidak boleh ada seorangpun masuk? Tapi kenapa kau ada di sini. Siapa nama mu?"

"Aku sagita, mungkin aku sama sepertimu, bertapa tanpa makan tanpa minum di sini, aku sama mencari cahaya. Mencari jalan untuk pergi ke surga. Aku telah lelah hidup." Katanya sembari memandang tajam mataku. "Kalau boleh bertanya, kenapa kau bertopeng seperti itu?" Tanya heran,

"Tak perlu kau tau gadis, aku sengaja memakai ini agar orang tak pergi melihatku. Aku seperti setan dan hatiku tak seperti muka ku yang setan." Jawabku lantang padanya,

Dia tersenyum seraya mengulurkan tangannya, bersalaman dan membangunkan ragaku yang telah lama tidur. Hanya jiwaku yang bertapa bersinergi dengan senyawa batin, di maksudkan agar nafsu tak menggangguku bersemedi.

Lama kita berbincang membicarakan masa lalu dan masa depan, dalam hatiku berbisik "mungkin ini cahaya kembali ke surga".

Lama kita bersama dan berniat untuk selalu bersama dengan syarat mengunci nafsu masing masing. Agar tidak terjadi hal yang tidak di inginkan, yang belum sepantasnya kami lakukan.

Satu bulan terlewati kita tetap di pinggir pantai, mendirikan gubuk dari kayu jati. Aku sebenrnya ingin pergi, ingin menemui mereka yang telah merusak hidup keluargaku. Ada rasa ingin membalas tapi sagita selalu mencegahku untuk meredamnya dalam dalam.

Rasa dendam itu masih saja menghipnotis jiwaku, untuk tetap melaksanakannya. Setiap hari aku berlatih mempertajam parang laras panjang, dengan segenap ilmu silat asal jawa

yang ku miliki, dalam ilmu ini lebih mengandalkan kecepatan, kuda kuda yang kuat, lari yang kencang. Posisi pedang di tangan kanan, pisau di tangan kiri. Dimana keduanya bersinergi untuk mencabik musuh. Aku hanya memakai silat untuk memperlincah gerakan, tetap senjata utama dua mata pisau. Pagi sore berlatih dan terus berlatih, Sagita hanya memperhatikan dan membuatkan jamuan. "Sudahlah latihannya, sini kopinya di minum dulu." Sagita menegurku untuk istirahat,"Ya sebentar, tanggung ni." Jawabku dari kejauhan. Sembari menikmati kopi pagi dan desiran ombak pantai, ku coba hitung pasir pasir yang tersisir ombak, dalam hatiku bergumam "mereka yang lemah akan tersingkir dan mati". Lamunanku terjaga ketika Sagita menepuk pundakku seraya berkata "hust.. Jangan melamun di sini, nanti kesurupan setan gundul nyi roro kidul" katanya saaambil tersenyum terang. "Siapa itu nyi roro kidul?" Tanyaku heran"Nyi roro kidul itu penguasa samudra selatan jawa, dia bukan manusia tapi bisa dia itu iblis, banyak orang mempercayainya, kalau memberi dia sesembahan akan cepat kaya, pesugihan gitu"

"Begitukah?" Tanyaku lagi heran

"Iyaa" jawabnya singkat

Kupikirkan dan ku kaitkan dengan masa lalu ku, dimana keluargaku habis di bantai oleh sekelompok iblis, entah iblis dari mana. Keluarga ku di sebut sebagai keluarga mata pisau. Dimana dahulu keluarga kami bekerja sebagai pasukan khusus kerajaan Islam di tanah jawa. Yang bertugas membantai iblis yang meracuni manusia, mengiming imingi kekyaan dan nanti setelah mati akan menjadi budak mereka. "Mungkin mereka mereka itu, iblis pantai selatan yang membantai keluargaku." Gumamku lirih

"Sagita, bolehkah aku bertanya tentang sejarah Nyi Roro Kidul di tanah Jawa?" Tanyaku penasaran

"Kalau tentang sejarahnya aku kurang begitu mengerti, karna saya tau cerita ini dari orang tuaku dulu, dia sekarang telah meninggal tiga tahun lalu dan aku sendiri sampai saat ini, dan hanya memiliki kamu Pancca" jawabnya sembari menangis. Air matanya membuatku terenyuh dan ingin segera mengusapnya.

Ketika suasana sudah mulai tenang, aku mencoba mengajaknya pergi berkelana, ke daerah daerah pesisir. Untuk mencari keluargaku yang selamat dari pembantaian dulu.

"Gita, mau kah kau ikut bersama ku, berkelana mencari keluargaku yang selamat ketika pembantaian itu, aku akan mencoba mencari sejarahnya di buku peninggalan ayah. Semoga ini bermanfaat dan kita akan segera melenyapkan iblis pesisir selatan dari muk bumi ini. Agar tida lagi korban atas kelicikan mereka memperdaya manusia, dengan iming iming pesugihan. Bukankah itu musyrik atau menyekutukan Tuhan YME.

Cerita bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun