Mohon tunggu...
Safta Sanday. S
Safta Sanday. S Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

Hai... Nama saya Safta. Saya seorang mahasiswa di Universitas Sriwijaya angakatan 2019.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Analisis Cyber War Menggunakan Pemikiran Clausewitz sebagai Pelopor Strategi Pro-Modern: Apakah Relevan untuk Saat Ini?

3 Desember 2021   12:43 Diperbarui: 4 Desember 2021   07:28 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat perkembangan teknologi yang sangat pesat, ternyata perkembangan teknologi tersebut mendorong kenyataan bahwa ruang cyber menjadi salah satu ruang yang tidak dapat dihindarkan. Ruang cyber begitu kompleks dan perkembangannya sangat pesat (Assegaff, 2020). Melalui perkembangan teknologi tersebut membuat ancaman cyber tidak dapat lagi dihindari.

Hal ini dapat dilihat dari semakin memudarnya batas-batas negara akibat dari adanya komunikasi antar negara yang tidak dapat dibatasi sebagai dampak dari perkembang teknologi. Sebelum membahas mengenai relevansi cyber war menurut pemikiran Clausewitz pada dasarnya telah banyak ilmuwan atau filsuf yang membahas mengenai perang atau strategi perang. Namun, pada kesempatan kali ini penulis akan membawakan bagaimana cyber war menurut pemikiran dari ilmuwan atau filsuf Clausewits.

INDIKATOR PERANG MENURUT CLAUSEWITZ

Meminjam argumen yang telah disampaikan oleh Clausewits yang menyatakan bahwa untuk menganilisis perang terdapat beberapa komponen utama agar sebuah tindakan perang dapat dikatakan benar-benar perang. Clausewits menyimpulkan terdapat tiga indikator yang mengindikasikan bahwa perang tersebut dapat ditafsir dengan baik. Indikator yang pertama adalah karakter kekerasan dalam perang dimana perang merupakan sebuah representasi dari tindakan yang memiliki kekuatan untuk melakukan tindakan kekerasan dengan memaksa lawan untuk tunduk (Maiolo, 2008). 

Dalam hal ini, tertulis dalam buku Carl Von Clausewitz yang terdapat pada halaman pertama yang berjudul "Perang" yang menyatakan bahwa kekerasan merupakan salah satu titik penting dari semua aktivitas perang. Indikator kedua yang menjadi sorotan Clausewitz adalah karakter instrumental perang. Pada dasarnya tindakan dalam perang selalu bersifat instrumental. 

Oleh karena itu, suatu hal yang dapat menjadi instrumental dalam perang adalah melalui sarana dan tujuan. Indikator ketiga adalah sifat politik dalam perang. Tindakan perang selalu bersifat politis. Tujuan pertempuran, untuk melempar musuh dan membuatnya tidak berdaya, mungkin untuk sementara membutakan komandan dan bahkan ahli strategi untuk tujuan perang yang lebih besar. 

Di dunia nyata, tujuan perang yang lebih besar selalu merupakan tujuan politik. Ini melampaui penggunaan kekuatan. Wawasan ini ditangkap oleh frasa Clausewitz yang paling terkenal adalah "Perang hanyalah kelanjutan dari politik dengan cara lain". Agar perang menjadi politik, entitas politik atau perwakilan entitas politik, apa pun bentuk konstitusionalnya harus memiliki niat dan kehendak. Niat harus diwujudkan dan kehendak satu pihak harus ditransmisikan kepada musuh di beberapa titik selama konfrontasi (tidak harus dikomunikasikan secara publik).

Setiap tindakan kekerasan dan niat politiknya yang lebih besar juga harus dikaitkan dengan satu pihak di beberapa titik selama konfrontasi. Sejarah tidak mengenal tindakan perang tanpa atribusi akhirnya.Jika dikaji berdasarkan defenisi dari cyber war dapat kita ketahui bahwa dalam sebuah tindakan cyber war penggunaan kekuatan teknologi militer yang memiliki intensitas yang sangat tinggi sehingga menimbulkan tendensi untuk menjadi penyebab yang jauh lebih berbahaya bagi masyarakat sipil. 

Dalam kriteria kejahatan dunia maya yang menjadi salah satu elemen penting adalah tindakan dan kekuatan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus-kasus cyber war dimana dalam cyber war terlihat jelas bahwa penggunaan teknologi perangkat jauh dalam pada alat dan sistem pertahanan dan keamanan dalam peperangan merupakan salah satu bentuk penggunaan teknologi dalam cyber war. 

Melalui teknologi terkini membuat negara menjadi lebih mudah dalam mendeteksi bahkan menyerang musuh dengan waktu yang sangat singkat. Dengan menekan tombol dalam cyber war dapat menimbulkan korban jiwa. Hal ini dapat ditemukan pada senjata berteknologi seperti drone atau roket jelajah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penggunaan teknologi drone, rudal jelajah dan teknologi lainnya dalam cyber war akan menjadi salah satu hal yang sangat berbeda (Giraudoux, 1955). Selain itu, dalam menurut buku yang telah ditulis oleh Carl Von Clausewitz yang terdapat pada halaman pertama yang berjudul "Perang" menyatakan bahwa dengan adanya ketergantungan terhadap teknologi informasi juga dapat berdampak buruk terhadap manusia. 

Hal ini dapat dilihat dari adanya konsensi yang menyatakan bahwa hilangnya sistem kontrol dalam alu lintas udara akan berdampak pada hadirnya korban jiwa apabila terdapat negara yang menggunakan cyber untuk merusak radar lalu lintas udara atau sistem kontrol. Salah satu hal yang menjadi skenario terburuk adalah adanya serangan cyber  yang dilakukan oleh negara China terhadap Amerika Serikat jika terjadi krisis politik di Amerika Serikat. Melalui pemadaman listrik yang dilakukan oleh China terhadap Amerika Serikat melalui sistem kontrol jarak jauh tentu akan berdampak pada berbagai sektor, seperti hilangnya informasi keuangan dalam skala yang besar. 

Terhentinya perjalanan kereta listrik, hilangnya radar lalu lintas udara, serta hilangnya komunikasi tentu merupakan salah satu dampak dari adanya aksi cyber apabila hal ini digunakan oleh negara lain untuk melupuhkan suatu negara.

JENIS-JENIS CYBER WAR MENURUT CLAUSEWITZ

Lalu, berdasarkan penjelasan diatas apa saja jenis-jenis cyber war berdasarkan pemikiran yang telah disampaikan oleh Clausewitz?. Oleh karena itu, untuk mengulik lebih dalam lagi bagaimana cyber war menurut pemikiran Carl Von Clausewitz sebagai pelopor strategi pra-modern (Ronfeldt, 1993). Penulis akan berusaha menyampaikan pemikiran Clausewitz tentang cyber war melalui berbagai sumber referensi. Berikut adalah beberapa jenis cyber war menurut Clausewitz:

1. Sabotase.

Sabotase pada dasarnya adalah suatu upaya yang disengaja untuk melemahkan atau menghancurkan sistem ekonomi atau militer. Sabotase cenderung bersifat taktis dan jarang memiliki efek operasional atau bahkan strategis. Semakin tinggi perkembangan teknis dan ketergantungan suatu masyarakat serta pemerintah dan militernya, semakin tinggi pula potensi sabotase, terutama sabotase yang dimungkinkan oleh dunia maya. Berbicara mengenai sabotase terdapat berapa contoh keberhasilan penggunaan sabotase dunia maya diketahui publik. 

Sabotase tersebut dapat terjadi bersamaan dengan kekuatan militer konvensional atau berdiri sendiri. Salah satu contoh paling spektakuler untuk serangan gabungan adalah Operasi "Orchard" dan serangan bom Israel di situs reaktor nuklir di Dayr ez-Zor di Suriah utara pada 6 September 2007. Pada masa itu tampaknya Angkatan Udara Israel bersiap untuk serangan utama oleh mengambil satu situs radar Suriah di Tall al-Abuad dekat perbatasan Turki. 

Para penyerang Israel menggabungkan peperangan elektronik dengan serangan presisi. Jaringan listrik Suriah tidak terpengaruh. Sistem pertahanan udara Suriah merupakan salah satu yang paling kuat di dunia  menjadi buta dan gagal mendeteksi seluruh skuadron pesawat tempur F-15I dan F-16I Israel ketika memasuki wilayah udara Suriah.

Tapi satu hal yang sudah bisa disorot dalam elemen cyber Operasi "Orchard" yang mungkin sangat penting untuk dijadikan sebagai landasan keberhasilan serangan Israel dan meskipun serangan cyber tidak secara fisik menghancurkan apa pun dengan sendirinya, hal ini harus dilihat sebagai bagian yang terintegrasi dari operasi militer yang lebih besar. Meskipun serangan dunia maya itu sendiri tanpa komponen militer tidak dapat disebut sebagai tindakan perang, namun hal itu merupakan pendorong keberhasilan serangan militer. Jika dikaji kembali secara mendalam, serangan Stuxnet menjadi salah satu serangan cyber yang paling canggih. Mengapa demikian? Karena serangan yang dilakukan sangat terarah dan tepat sasaran terhadap target tertentu. Perangkat lunak sabotase secara khusus ditulis untuk Sistem Kontrol Industri. Sistem kontrol ini adalah tumpukan perangkat keras berbentuk kotak tanpa keyboard atau layar. Programmable Logic Controller (PLC) memiliki fungsi untuk menjalankan sistem kontrol. 

Oleh karena itu, operator pabrik industri harus memprogram pengontrol dengan menghubungkannya sementara ke laptop, kemungkinan besar yang disebut Field PG, notebook industri khusus yang dijual oleh Siemens. Field PG ini, tidak seperti sistem kontrol dan pengontrol diri sendiri yang menjalankan Microsoft Windows dan kemungkinan besar tidak terhubung ke Internet dan bahkan tidak ke jaringan internal.Kembali kepada bahasan tentang Stuxnet. Pada dasarnya Stuxnet melakukan proses sabotase pada target dengan cara mencegat nilai input dari sensor, sebagai contoh merekam data dan kemudian memberikan kode akses untuk menyabotase sistem kontrol. Tujuannya tidak hanya menipu operator di ruang kontrol, tetapi juga menghindari dan membahayakan sistem keamanan digital. Stuxnet juga menyembunyikan modifikasi yang dibuatnya pada kode pengontrol. Tidak hanya itu, bahkan sebelum meluncurkan payload, Stuxnet beroperasi secara diam-diam, Stuxnet memiliki mekanisme untuk menghindari perangkat lunak antivirus, ia mampu menyembunyikan salinan file-nya pada drive yang dapat dilepas, menyembunyikan blok programnya sendiri ketika enumerasi diberlakukan pada pengontrol.

2. Spionase.

Aktivitas ofensif kedua dalam cyber war adalah spionase. Spionase adalah upaya untuk menembus sistem permusuhan untuk tujuan mengekstraksi informasi sensitif atau dilindungi. Untuk melakuan spionase dibutuhkan teknologi dan teknis tingkat tinggi. Hal ini diperlukan karena dalam proses spionase hanya melakukan pengumpulan informasi yang nantinya akan digunakan untuk merancang kebijakan bagi negara yang melakukan spionase. Intinya, untuk melakukan spionase biasanya dilakukan oleh negara-negara besar yang memiliki teknologi spionase yang tinggi. Jika dikaji secara empiris, maka sebagian besar bidang yang paling disoroti dalam aksi spionase atau cyber war adalah kebijakan politik disetiap negara (Gross, 2011).

Sebagai contoh kasus spionase yang terdapat dalam buku Strategic Studies adalah kasus Titan Rain yang diartikan sebagai kode pemerintah Amerika Serkat untuk melakukan serangkaian serangan terhadap sistem komputer militer dan pemerintah pada tahun 2003. Tidak hanya itu, Pada November 2008, militer AS menyaksikan pelanggaran paling signifikan terhadap komputer milik militer Amerika Serikat. Dalam kasus ini diduga adanya spyware milik Rusia yang memasukkan data melalui flash drive ke komputer militer Amerika Serikat di pangkalan militer AS yang berada di Timur Tengah. Kemudian mulai memindai Internet untuk alamat domain dotmil (Maiolo, 2008). Dengan cara ini malware mendapat akses ke jaringan tidak rahasia Pentagon, Jaringan Router Protokol Internet Tidak Terklasifikasi (NIPRNET). 

Dalam hal ini terlihat jelas bahwa relevansi dari pemikiran Clausewitz tentang cyber war masih relevan sampai saat ini. Mengapa demikian? Karena tindakan spionase hingga saat ini masih dilakukan oleh berbagai negara yang merasa curiga terhadap suatu negara. Tidak hanya itu, teknologi yang digunakan dalam spionase tidak jauh berbeda sehingga dapat dikatakan pemikiran Clausewitz tentang cyber war masih relevan hingga saat ini.

3. Subversi.

Subversi pada dasarnya merupakan tindakan yang disengaja sebagai upaya untuk melemahkan otoritas, integritas, dan konstitusi dari otoritas sebuah negara yang maju. Menurut pemikiran Clausewitz, tujuan akhir dari tindakan subversi adalah untuk menggulingkan pemerintah. Tetapi aktivitas subversif mungkin juga memiliki penyebab yang lebih terbatas, seperti melemahkan otoritas organisasi atau bahkan seseorang pemimpin negara. Salah satu tindakan subversi adalah propaganda dan provokasi, sebagai contohnya dengan menerbitkan pamphlet, sastra dan film. Dalam hal ini, penggunaan cyber war pada subversi untuk saat ini belum dapat dikatakan tepat. Akan tetapi, konsep klasik lainnya berupaya mempertahankan relavansi subversi sebagai studi dalam cyber war. Clausewitz mengamati bahwa dalam subversi kekuatan motiv adalah salah satu pendorong untuk membuat tindakan. 

Clausewitz juga menambahkan bahwa kekuatan subversi yang paling besar adalah pemberontakan  yang didorong oleh motif yang kuat yang mampu memobilisasi pendukung yang dapat merekrut sukarelawan dan aktivis (Gross, 2011).Contoh subversi non-kekerasan yang sangat berwawasan luas adalah Anonymous. Gerakan aktivis ini longgar dan tanpa pemimpin. Pendukung menyembunyikan identitas mereka dan bersatu di sekitar tujuan yang ditentukan sendiri, sering kali mempromosikan kebebasan berbicara dan menentang sensor. Motto gerakan ini sering dipasang di akhir pengumuman "Kami Anonim". Tindakan yang dilakukan oleh aktivis Anonymous mungkin memiliki agenda politik atau mungkin hanya bentuk hiburan yang kasar. Relawan mungkin melakukannya untuk lulz, seperti ungkapan dari budaya internet. 

Lulz adalah konsep yang terkait dengan gagasan Jerman tentang Schadenfreude.  Contoh yang terakhir adalah Anonymous YouTube porn day, serangan iseng bersama pada 20 Mei 2009 di mana ratusan video porno diunggah ke situs berbagi video populer yang diduga sebagai pembalasan terhadap penghapusan video music. Contoh kedua adalah operasi Anonymous yang mungkin paling mencolok adalah serangan yang menghancurkan terhadap HBGary Federal, sebuah perusahaan keamanan teknologi. Perusahaan dengan tag linemen deteksi malware ini telah menganalisis GhostNet dan Aurora. Dua ancaman paling canggih yang diketahui. Pada awal Februari 2011, Aaron Barr, yang saat itu menjabat sebagai chief executive officer (CEO) menginginkan lebih banyak visibilitas publik dan mengumumkan bahwa perusahaannya telah menyusup ke Anonymous dan berencana untuk mengungkapkan rinciannya. 

Sebagai reaksinya, para peretas Anonymous menyusup ke server HBGary, menghapus data, merusak situs webnya dengan surat yang mengejek perusahaan tersebut dengan tautan unduhan ke kebocoran lebih dari 40.000 emailnya ke The Pirate Bay, menghapus sistem telepon perusahaan, merebut hak milik CEO, memposting nomor jaminan sosialnya, dan menyumbat mesin faks. Ini merupakan tindakan cyber yang sangat membahayakan bagi sebuah perusahaan.Contoh lain dari subversi adalah serangan DDoS bermotif politik di Estonia dan Georgia dan pergumulan antara aktivis Israel dan Arab yang terjadi selama Operasi Cast Lead pada Januari 2009. Internet, media sosial dan penyebaran yang memiliki teknologi canggih pada dasarnya memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap subversi, kekerasan subversive, pemberontakan dan bahkan pembentukan jaringan terorisme. Perkembangan teknologi dan kemajuan internet merupakan salah satu hal yang memperkuat terjadinya kekerasan politik dan berkembangnya gerakan jihad.

KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan, berdasarkan apa yang telah dipaparkan oleh penulis. Terlihat jelas bahwa pemikiran Clauswitz yang membahas tentang cyber war masih relevan hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa jenis cyber war yang dihadirkan dalam buku Strategic Studies masih banyak digunakan oleh berbagai negara hingga saat ini. Tidak hanya negara saja, masyarakat individu juga melakukan cyber war dengan menggunakan subversi sebagai upaya untuk melakukan propaganda melalui sosial media. Jika dikaji berdasarkan teknologi yang digunakan dalam melakukan cyber war seperti spionase, sabotase dan subversi ternyata masih memiliki persamaan hingga saat ini. Disisi lain, jika melihat penjelasan diatas telihat jelas bahwa saat ini dibutuhkan tingkat kecanggihan teknis dan sosial agar sabotase, spionase dan subversi atau yang disebut dengan cyber war tidak disalahgunakan. Sabotase yang berhasil merupakan fungsi dari kualitas kecanggihan teknis penyerang dan kecerdasan yang tersedia, subversi yang berhasil merupakan fungsi dari kuantitas pendukung yang dimobilisasi oleh kekuatan ide-ide politik dan tujuan sosial. Analisis ini mengarah pada tiga kesimpulan yang bertentangan dengan cyber war. 

Kesimpulan pertama adalah tentang subversi. Di masa lalu dan sekarang bukan lagi tentang teknologi tinggi, akan tetapi teknologi rendah lebih cenderung mengarah pada eskalasi kekerasan, ketidakstabilan, dan akhirnya bahkan perang atau cyber war. Pada abad kedua puluh satu, satu jenis pelanggaran politik dengan potensi terbesar untuk melepaskan ketidakstabilan dan kekerasan mungkin bukan sabotase yang sangat canggih secara teknologi, tetapi subversi yang secara teknis agak primitif. Namun, Internet memfasilitasi efek yang tidak terduga penyebab sosial dan politik tertentu dapat bertahan dalam subkultur dan kelompok khusus baik untuk sementara atau dalam waktu yang lama, baik dengan kekerasan atau tanpa kekerasan.

Kesimpulan kedua menyangkut pelanggaran dalam cyber war yang lebih canggih. Kebijaksanaan konvensional menyatakan bahwa dunia maya mengubah keseimbangan serangan/pertahanan di atas kepalanya dengan membuat serangan lebih mudah dan lebih hemat biaya sambil membuat pertahanan lebih sulit dan lebih banyak sumber daya.

Kesimpulan ketiga adalah tentang pertahanan. Kekuatan siber tercanggih di dunia tertarik pada keterbukaan jika mereka ingin mempertahankan keunggulannya, terutama dalam pertahanan. Kemampuan ofensif yang tepat dari Amerika Serikat, tetapi juga negara-negara lain seperti Israel, Prancis, Cina atau Korea Utara memiliki kekuatan cyber yang sangat rahasia. Ada banyak alasan untuk berasumsi bahwa banyak operasi mata-mata tidak diketahui oleh korban. Bahkan sabotase melalui bom logika mungkin sudah disiapkan tanpa sepengetahuan lawan. Bahkan mungkin ada insentif bagi pemerintah serta perusahaan besar untuk menyembunyikan tingkat sebenarnya dari serangan cyber war. Akan tetapi, dalam dunia pertahanan negara-negara paling canggih harus lebih transparan. Hanya keterbukaan dan pengawasan yang dapat mengekspos dan mengurangi kelemahan dalam organisasi, prioritas, teknologi, dan visi.

Referensi

Assegaff, I. H. (2020). Cyber Diplomacy: Menuju Masyarakat Internasional yang Damai di Era Digital. Padjadjaran Journal of International Relations (PADJIR), 1.

Giraudoux, J. (1955). Tiger at the Gates (La Guerre De Troie N'aura Pas Lieu). New York: Christopher Fry.

Gross, M. J. (2011). A Declaration of Cyber-War. New York: Routledge .

Maiolo, T. G. (2008). Strategic Studies A Reader. New York: Routledge .

Ronfeldt, J. A. (1993). Cyberwar is Coming. New York: Routledge .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun