Di era sekarang banyak terjadi perubahan sosial secara besar-besaran yang diakibatkan oleh globalisasi dalam bidang apapun salah satunya teknologi, yang sekarang ini lagi gencar-gencarnya bersaing demi memikat hati penjualnya. Karena dengan cara inilah trend atau populer khususnya barang-barang elektronik yakni smarthphone, itu harganya dapat melambung jauh apabila minat masyarakat terhadap barang tersebut tinggi. Hal ini menyebabkan perang pasar yang dimana produsen-produsen smarthphone meningkatkan kualitas produknya. Surplus ini tidak luput dari para konsumen  yang menganggap smarthphone itu sebagai barang primer wajib dibawa kemanapun. Terkadang jika smarthphone lupa dibawa serasa hidup itu selalu diselimuti rasa khawatir, karena jika terjadi hal yang tidak mengenakan dijalan, maka jalan keluarnya dengan memberi kabar ke keluarga atau pun kerabat dekat.
   Smarthphone ini telah menjangkau semua umur dalam status penggunaanya, hingga anak kecil sekarang pun banyak yang sudah mahir dalam mengoprasikan smarthphone, karena orang tuanya yang memberikan smarthphone sebagai hadiah ataupun reward jika anak tersebut rankingnya bagus, namun ada alasan lain dari pemberian smarthphone kepada anaknya salah satunya agar anankya tidak rewel atau orang tua itu mempunyai rasa kasian terhadap anaknya karena teman-temannya telah mempunyai smarthphone. Jika dilihat dari pola didiknya terhadap anak hal ini boleh-boleh saja asalkan tetap pada pengawasan orang tuanya, jika tidak akan terjadi gangguan pada pola perilaku anak ataupun kehidupan sosialnya. Bisa saja di dalam dunia mayanya ia aktif berkomentar dan mengungkapkan pendapatnya terhadap suatu postingan yang diposting oleh media sosial.
    Namun terkadang banyak netizen yang berkomentar dengan kata-kata yang tidak mengindahkan tutur kata baik, melainkan dengan perkataan yang tidak etis dan tidak pantas untuk diposting. Hal ini tidak sadar, jika anak mengetahui hal-hal yang tidak diketahuinya maka akan bertanya kepada orang tua apakah itu perkataan yang baik atau sebaliknya ataupun kata-kata tersebut sering trending sebagai perkataan yang formal diucapkan namun konotasinya tidak etis. Maka dari itu dekadensi moral mulai menyerang milenial dan menimbulkan kesenjangan dibidang adab tata perilaku dalam berinteraksi sesama manusia.Â
   Â
    Kata dekadensi moral menurut Bartens (2000), menjelaskan dekadensi moral adalah tindakan seseorang yang selalu melakukan tindak laku buruk. Dekadensi moral tidak merajuk pada teori keutamaan. Teori keutamaan yang dimaksud yaitu: kebijaksanaan, kejujuran, keadilan, dan kerendahan hati. Bentuk dekadensi moral yang melanda negara kita adalah dekadensi akhlak. Bentuk dekadensi akhlak yang menjadi dampak luas ialah dekadensi kejujuran. Dekadensi kejujuran menyuburkan praktik kejahatan yang menggerogoti dan kehidupan seseorang dari pucuk ke akar, dari hulu sampai ke hilir seperti yang dikemukakan oleh (Hazhari, 2015).
   Â
    Dari definisi dekadenis moral di atas dijelaskan bahwa seyogyanya kesenjangan moral atau etika itu berdasarkan tindakan perilaku buruk yang bisa saja menjadi suatu kebiasaan dalam sehari-hari yang jelek, jadi ketika kita tertimpa bencana sekecil apapun terkadang kata-kata yang tidak etis itu muncul. Walaupun sekarang disebagian masyarakat menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa didengar ditelinga kita, ataupun menjadi komentar netizen tentang suatu postingan yang mengejutkan atau tidak mengenakan untuk dilihat.Â
    Dan tidak sadar generasi milenial yan dibawah umur juga menggunakan media sosial, karena hanya ikut-ikut temannya, entah tujuannya sebenarnya hanya ikut-ikutan atau hal yang lain. Banyak ditemui fenomena yang dibilang "cringe", sebutan untuk hal yang tidak sedap dipandang atau bisa dibilang mirislah. Contohnya seseorang yang tidak sadar membuat "daily activity" liburannya di suatu tempat dan ia menguploadnya di instagram sampai storynya menjadi titik-titik kecil, karena saking banyaknya foto yang di upload.
    Hal ini dinilai menimbulkan kecemburan sosial akibat individu yang hanya mementingkan urusan prbadinya sendiri, dan ia hanya ingin dianggap keberadaannya oleh orang yang melihat postingannya. Atau kemungkinan ia memang kurang perhatiaan dari orang tuannya yang sibuk bekerja. Pola didik anak yang semacam ini terjadi di zaman modern ini, orang tua merasa lega jika anaknya tidak rewel, makanya salah satunya dengan diberi kewenangan memliki smarthphone.Â
Jika dilihat dari psikis anak didapati, bahwa masa balita sampai kanak-kanak itu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, jadi jika mereka dibebaskan berselancar di sosial media, kemungkinan ia akan merasa senang, dan kemudian kecanduan smarthphone. Di masa anak-anak pada masa sekarang ini, seharusnya orang tua lebih memperhatikan gerak geriknya dalam menggunakan sosial media, agar tidak salah pergaulan dan persepsi yan menyesatkan seperti hal-hal berbau tabu yang belum boleh dimengerti oleh anak-anak.
    Walaupun jika diajarkan beberapa komponen tabu tersebut namun dengan batasan-batasan yang telah mudah dimengerti anak, semisal jika terdapat kamar mandi umum yang bersimbolkan gambar orang dengan warna biru itu untuk laki-laki, dan simbol orang memakai rok dengan warna pink itu untuk toilet perempuan.Â
Hal dasar ini perlu diajarkan agar anak mengerti simbol toilet di tempat publik, bukan hanya di rumah saja dan menjadi seorang yang anti sosial. Perlunya anak dikenalkan dunia luar sedari kecil itu sangatlah berdampak pada pola interaksinya di instansi pendidikan, apakah si anak mempunyai karakter pemalu, karena sebelumnya kurang mengenal dunia luar,ataukah anak sangat interaktif ketika bertemu dengan orang-orang yang belum ia kenal sebelumnya dan akhirnya terjalin pola interaksi sosial yang baik dan benar.
    Kemudian dalam pola interaksi sosial itu terdapat empat faktor antara lain yang pertama yakni Imitasi (Peniruan terhadap perilaku seseorang yang menyamakan tindakannya dengan orang lain), jika dilihat dari pola didik anak sedari kecil orang tua mengajarkan perilaku yang baik-baik dan tutur kata yang baik kepada anaknya, dan anak pun merespon apa yang diajarkan orang tua, kemudian menerapkannya pada kehidupan mereka, Sugesti (Pemberian sikap atau tindakan yang berasal dari dirinya sendiri, kemudian diterima oleh orang lain) contohnya semisal ketika anak marah kemudian orang tua memberikan wejangan-wejangan untuk menenangkan dirinya yang sedang emosi, lalu anak mengiyakan apa yang orang tua katakan.Â
    Identifikasi (Proses pembentukan karakter individu secara tidak langsung terbentuk dengan sendirinya atau disengaja) contohnya anak yang mempunyai karakter individu pemarah , akibat sering dimarahi oleh orang tua atau penurut karena ia sadar akan kesalahan yang ia perbuat, Simpati (Proses dimana individu tertarik dengan pihak lain semata-mata hanya untuk bekerja sama dalam memenuhi tujuan yang sama) ketika anak rewel, kemudian orang tua berjanji membelikan es krim untuknya, di sisi lain keduanya memiliki keuntungan yang sama-sama baik untuk keduanya.Â
    Faktor-faktor diatas ini sangatlah tepat di ajarakan kepada anak, agar anak mengerti pola interaksi yang sehat dan benar. Tidak terganggu pola interkasinya, karena ia hanya terpaku pada dunia mayanya saja yang tidak tahu arti kehidupan sosial yang nyata.
Referensi:Â
- Bertens. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI).
- Hazhari, Meisil. 2015. Menjadi Pribadi yang Menyenangkan. Yogyakarta: Deepublish.
- Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
- Nurcahya, Dea Kantri. 2019. Jurnal Civic Hukum, Volume 4, Nomor 2, November 2019. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H