3. JPU mengabaikan barang bukti
4. Tuntutan JPU tidak logis
5. Aktor intelektual tidak diungkap selama persidangan
Menurut Pukat UGM, tindakan pelaku mengarah pada Pasal penganiayaan berat, Pasal 335 ayat (1) KUHP karena pelaku sudah merencanakan dan adanya kesengajaan yang mengakibatkan luka berat dan permanen pada Novel Baswedan. Hal tersebut dibuktikan dengan pengintaian dan dipersiapkannya air keras oleh kedua pelaku.Â
Sebenarnya jaksa memiliki opsi menuntut maksimal 7 tahun penjara, namun JPU hanya menuntut 1 tahun penjara. Keputusan JPU disebut-sebut dapat mencederai keadilan masyarakat dan berdampak buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi.
Reaksi Masyarakat Usai Sidang Tuntutan JPUÂ
Benar saja, usai sidang tuntutan JPU tersebut berakhir, masyarakat bereaksi keras. Mereka menyuarakan pendapat akan keadilan yang logis terhadap kasus Novel Baswedan, tiga tahun menanti kejelasan namun berakhir dengan tuntutan ringan. Beberapa di antaranya yang ikut bersuara adalah
Ustad Abdul Somad (UAS)
UAS menanyakan perihal "nggak sengaja" kepada Hotman Paris Hutapea, selaku orang yang paham hukum. Dengan logat khasnya UAS berkelakar, "Kok bisa orang menyiram nggak sengaja?." Hotman mengatakan bahwa ia tidak terlalu mendalami kasusnya dan ia tidak bisa menjawab karena masih proses persidangan. UAS menambahkan bahwa ia bodoh masalah hukum, "yang sulit saya percaya untuk bangun pagi itu kan payah Bang Hotman, masa iya bangun pagi, membeli air keras lagi." Ucap UAS kebingungan mengapa kasus penyiraman Novel Baswedan disebut tidak sengaja.Â
Rocky Gerung, filsuf, akademisi, dan intelektual publik Indonesia pun ikut bersuara. Rocky Gerung mengatakan "Jadi yang bahaya hari ini, tuntutan Jaksa itu adalah air keras baru untuk mata publik. Nah, itu yang harus kita halangi. Supaya jangan sampai mata publik itu menjadi buta karena tuntutan jaksa yang irasional." Rocky pun menambahkan bahwa ia bersama teman-temannya saling sepakat memulai satu gerakan untuk melindungi mata publik dari air keras kekuasaan.Â