Mereka mengenal Raja Ampat sebagai surga kecil yang tersimpan di tanah emas. Berbondong - bondong manusia, antara ingin mengorek emas atau menyicip keindahan Pulau ini. Papua. Sebuah pulau paling timur Indonesia, pulau yang namanya sudah tersohor di penjuru dunia. Ekstotis katanya.Â
Sebuah nama Raja Ampat mendadak menjadi primadona para pelancong, kewajiban untuk memiliki foto - foto Raja Ampat, entah karena sebuah kecintaan akan alam atau keinginan untuk dikenal dan diakui. Keindahan yang agung itu dimiliki oleh semua mata, uang bukan lagi menjadi hitung - hitungan, karena berapapun yang dikeluarkan, menginjakkan kaki di Raja Ampat akan mendapatkan decakan kagum seluruh umat.Â
Raja Ampat bukan hanya tentang gugusan pulau yang indah, seperti pada pulau - pulau lain, seperti dengan Mentawai, selalu ada kisah yang akan muncul ke permukaan. Kisah tentang anak - anak yang sedang merajut asa, atau ibanya, anak - anak yang bahkan belum mengenal 'asa'. Menginjakkan kaki di tanah Papua untuk pertama kali.
Sebuah desa di Teluk Mayalibit, Warsambin. Desa paling ujung yang ada di Distrik Teluk Mayalibit, selebihnya desa lain tak dapat dijangkau dengan darat. Bodi mereka menyebutnya, perahu yang sehari - hari digunakan masyarakat untuk bepergian. Kabarnya baru tahun lalu Warsambin terjamah oleh aspal, sebuah tower yang berdiri kini tak lagi berfungsi, ntah apa alasannya.
Desa Warsambin sama indahnya dengan desa - desa lain di Raja Ampat, meski ia tak memiliki hamparan pasir putih dan laut yang biru, damai air di Teluk Mayalibit, teduh pepohonan dan ramai burung tak menutup keindahan Warsambin sebagai desa paling ujung di distrik.
Warga akan berbelanja ke Waisei sesekali, dengan Damri yang ala kadarnya, setiap jam 9 pagi beberapa orang akan ke Kota, membeli apa saja, kebutuhan sehari - hari ataupun sekedar sandang kemudian jam 2 siang mereka akan kembali dengan Damri yang sama.
Begitu seterusnya setiap hari. Kepala Sekolah SD yang baru kami temui di hari terakhir juga bergantung pada Damri itu, ia akan bolak - balik ke Kota untuk mengurus administrasi Sekolah, pun dengan Kepala Sekolah SMP.Â
Siapa yang tak jatuh cinta dengan alam yang indah? Siapa yang tak terpukau pada senyum bahagia anak - anak di Warsambin?
Mauris ingin menjadi tentara, dan seorang anak, Roben, senyumnya selalu merekah, melihat foto kapal besar yang berlayar di laut, ia menyatakan dirinya ingin menjadi Pilot. Asa - asa itu mulai terukir di satu siang, di sebuah kantor distrik Teluk Mayalibit.Â
"Sa buat ini untuk kakak"
Berani dan penuh dengan pengetahuan tentang Warsambin, ia tinggal bersama Bapak dan Mama Piara. Ya, Mama Piara, bukan Mama Kandung, Mama Kandungnya tinggal di desa yang sama, namun ia tinggal bersama Mama piaranya.
Setiap pagi Dina bangun pukul 5.30 Waktu Warsambin, bersiap ke Sekolah sementara seluruh anggota keluarganya masih terlelap. Sarapan? Anak - anak akan pulang ke rumah pada jam istirahat, saat itulah makanan sudah tersaji. Ikan Lema, ikan rumahan yang setiap hari mereka konsumsi, dan nasi putih. Bosan katanya. Terkadang mereka makan Nasi Kosong, ya hanya sepiring Nasi Putih, atau Nasi Teh.
"Sa makan nasi teh tadi. Nasi sama Teh Manis. Teh Manis itu kami campur dengan Nasi"
Tangan kecil mereka yang merangkai kalung dan menempa gelang dari akar bahar, senyum mereka yang penuh dengan keyakinan bahwa segala sesuatu akan baik - baik saja. Bahwa mereka akan selamanya di Warsambin, menikah setelah lulus SMP atau barangkali secepatnya.
"Kakak nanti main lagi kah ke Warsambin?Mama yoooo.. Jangan lama - lama ya, nanti sa su nikah waktu Kakak ke sini lagi"
Anak lain yang masih duduk di bangku kelas lima seolah sudah mengukir takdir bahwa ia akan segera menikah, malu - malu ia mendengar dan diam - diam mengangguk. Mengajak mereka untuk tetap sekolah bukanlah hal yang sulit. Mereka adalah anak - anak yang cerdas, yang mudah memahami dan mengerti.Â
Bangku  di ruang guru yang telah disulap menjadi perpustakaan sementara seketika ramai, beberapa anak berebut dan beberapa lagi diam tak mau diganggu, seorang anak menggumam dengan bacaan di tangannya.
Mereka suka bernyanyi, bahkan mereka menyenandungkan sebuah lagu perpisahan, bukan hanya lirik lagu, namun kesedihan akan sebuah perpisahan membuat siapa saja yang mendengar lantunan anak - anak Warsambin akan menangis.
"Berpisah lewat pandangan, bertemu dalam doa"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H