"Sa buat ini untuk kakak"
Berani dan penuh dengan pengetahuan tentang Warsambin, ia tinggal bersama Bapak dan Mama Piara. Ya, Mama Piara, bukan Mama Kandung, Mama Kandungnya tinggal di desa yang sama, namun ia tinggal bersama Mama piaranya.
Setiap pagi Dina bangun pukul 5.30 Waktu Warsambin, bersiap ke Sekolah sementara seluruh anggota keluarganya masih terlelap. Sarapan? Anak - anak akan pulang ke rumah pada jam istirahat, saat itulah makanan sudah tersaji. Ikan Lema, ikan rumahan yang setiap hari mereka konsumsi, dan nasi putih. Bosan katanya. Terkadang mereka makan Nasi Kosong, ya hanya sepiring Nasi Putih, atau Nasi Teh.
"Sa makan nasi teh tadi. Nasi sama Teh Manis. Teh Manis itu kami campur dengan Nasi"
Tangan kecil mereka yang merangkai kalung dan menempa gelang dari akar bahar, senyum mereka yang penuh dengan keyakinan bahwa segala sesuatu akan baik - baik saja. Bahwa mereka akan selamanya di Warsambin, menikah setelah lulus SMP atau barangkali secepatnya.
"Kakak nanti main lagi kah ke Warsambin?Mama yoooo.. Jangan lama - lama ya, nanti sa su nikah waktu Kakak ke sini lagi"
Anak lain yang masih duduk di bangku kelas lima seolah sudah mengukir takdir bahwa ia akan segera menikah, malu - malu ia mendengar dan diam - diam mengangguk. Mengajak mereka untuk tetap sekolah bukanlah hal yang sulit. Mereka adalah anak - anak yang cerdas, yang mudah memahami dan mengerti.Â
Bangku  di ruang guru yang telah disulap menjadi perpustakaan sementara seketika ramai, beberapa anak berebut dan beberapa lagi diam tak mau diganggu, seorang anak menggumam dengan bacaan di tangannya.
Mereka suka bernyanyi, bahkan mereka menyenandungkan sebuah lagu perpisahan, bukan hanya lirik lagu, namun kesedihan akan sebuah perpisahan membuat siapa saja yang mendengar lantunan anak - anak Warsambin akan menangis.