Seluruh jengkal hanya pasir halus. Tak ada segenggam tanah pun di Tanah Timur ini. Letaknya memang di Tanah Timur Indonesia, beberapa mil dari Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebuah sumur dengan air payau (yang bagi mereka itu sudah menjadi 'air tawar') menghidupi ratusan nyawa di atas kehidupan beralas pasir. Senyum mereka ramah, langkah anak-anak yang ceria dan suara yang selalu hangat menyambut siapapun yang datang. Barang siapa yang datang ke tempat ini, niscaya ia akan jatuh cinta dan ingin kembali.Â
Tak banyak penduduk yang tinggal di Pulau Kera, hanya beberapa puluh (atau mungkin mencapai seratus) warga tinggal di Pulau ini. Darimana mereka? Mereka adalah Suku Bajo yang menetap selama puluhan tahun. Suku yang terkenal dengan kebergantungan hidup mereka pada laut. Suku para pelaut, suku para nelayan. Seberapa keras mereka diberi iming - iming, mereka akan menolak jika mereka harus hidup jauh dari laut. Itulah yang terjadi di Pulau itu saat ini.
Bertemu dengan Bapak Amor, salah satu warga Pulau Kera, menginap semalam di keluarga hangat ini, dan mendengar cerita leluhur. Leluhur adalah bagian hidup mereka, makam leluhur mereka nyaris dipindahkan, itulah yang membuat mereka kembali, ya mereka sempat meninggalkan Pulau ini. Apa yang dimiliki oleh manusia selain kecintaan mereka pada kehidupan dan kesetiaan mereka pada leluhur?Â
Mereka tinggal di Indonesia, tapi mereka bukan warga negara Indonesia. Tiap kali waktu untuk memilih Pemilu, semua kandidat pencari suara hilir mudik ke Pulau ini, memberi janji-janji yang biasa diberikan oleh para pemikat hati. Suara mereka dihitung untuk menentukan pemenang, tapi mereka bukanlah bagian dari Warga Negara Indonesia.Â
Bagaimana bisa? Seorang mantan pejabat kepolisian memberi klarifikasi "Mereka itu Suku Bajo, mereka selalu berpindah-pindah, bagaimana kami memberikan status kewarganegaraan untuk mereka?" juga penjelasan tentang wilayah administrasi Pulau Kera itu yang terbagi di antara dua kabupaten. Dua alasan yang hanya membutuhkan niat untuk penyelesaiannya.Â
"Terkadang saya berpikir, apa saya pergi saya ke Timor Timor? Mereka akan menerima kami dengan lapang dada. Kami ini macam tak dianggap ada, tapi dibutuhkan untuk segelintir suara, lalu terlupa lagi" Suara penyesalan seorang warga di Pulau Kera ini seolah sudah putus harapan.
"Leluhur kami, makamnya akan digusur, Pulau ini akan dijual? Kemana kami harus pergi? Mereka menawarkan tempat di Sulamu. Tapi mereka memberi kami tempat yang jauh dari bibir pantai? Bagaimana kami bisa bertahan?"
"Pulau ini milik leluhur kami, leluhur kami yang pertama datang, tapi pengusaha itu mengakuinya, Pitoby mau menjadikan Pulau ini menjadi resort katanya"
"Mereka itu bukan penduduk asli Pulau Kera. Kami bingung bagaimana menata mereka"
Apakah nasib anak-anak harus dikorbankan hanya demi sebuah wilayah?Â
Apakah mereka harus tetap buta tentang tempat dimana mereka tinggal?
Senyum ceria dan bahagia anak-anak Pulau Kera ketika menerima setumpuk buku cerita, wajah sumringah Bapak Amor melihat peta wilayah Indonesia. Menceritakan bagian laut mana yang pernah ia layari.Â
Pulau Kera tak jauh dari Kota Kupang, hanya sekitar 20 - 30 menit.Â
Sekelompok pemuda Kupang yang masih peduli dan menyayangi Pulau ini, berjuang berbekal keyakinan dan keteguhan hati, mempertahankan nasib mereka yang tinggal di Pulau Kera. Beberapa warga telah menyerah pada Pulau Kera, mereka pergi ke Sulamu "Di sana anak bisa sekolah, di sana kami memiliki masa depan, tak seperti anak di Pulau Kera, mereka masih saja bodoh, belum bisa membaca dan menulis"
Tapi, di tempat inilah, anak yang masih tidak paham bahwa cita-cita dan mimpi itu ada, di tempat inilah, agama menjadi satu-satunya ilmu pengetahuan, selain tentang laut. Tak usahlah ditanya pengetahuan mereka tentang laut. Di sebuah Pulau di Tanah Timur, Pulau yang tak memiliki tanah, mereka masih bertanya "Kami ini memang suku Bajo, tapi siapakah sebenarnya kami ini?"
Sesekali, pergilah ke Kupang, berangkatlah ke Pelabuhan Oeba, dimana pasar ikan hidup dengan riuh para pedagang. Tunggulah ketika Suku Bajo dari Pulau Kera menyandarkan perahu kecil mereka di Pelabuhan, ikutlah mereka, tinggallah barang semalam. Bagikanlah cerita yang mereka bagikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H