Mohon tunggu...
Safitri N
Safitri N Mohon Tunggu... Lainnya - Homo Ludens

Homo Ludens

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Suku Bajo dan Halaman Pasir di Tanah Timur

10 November 2017   19:53 Diperbarui: 11 November 2017   14:28 1999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seluruh jengkal hanya pasir halus. Tak ada segenggam tanah pun di Tanah Timur ini. Letaknya memang di Tanah Timur Indonesia, beberapa mil dari Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sebuah sumur dengan air payau (yang bagi mereka itu sudah menjadi 'air tawar') menghidupi ratusan nyawa di atas kehidupan beralas pasir. Senyum mereka ramah, langkah anak-anak yang ceria dan suara yang selalu hangat menyambut siapapun yang datang. Barang siapa yang datang ke tempat ini, niscaya ia akan jatuh cinta dan ingin kembali. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Hanya butuh waktu dua jam mengelilingi pulau kecil ini. Pulau Kera, begitu mereka menyebutnya, bukan Pulau yang dipenuhi hewan Kera, bukan pula Pulau yang berbentuk menyerupai Kera. Menyusuri pengetahuan yang tersimpan di google, cerita Pulau Kera ini akan muncul, berawal dari sebuah sumur, tali untuk mengambil air terlepas, dan diambilah kata Kera menjadi nama. Pengucapannya bukan seperti mengucap hewan Kera, pengucapannya adalah pengucapan logat Tanah Timur. 

Tak banyak penduduk yang tinggal di Pulau Kera, hanya beberapa puluh (atau mungkin mencapai seratus) warga tinggal di Pulau ini. Darimana mereka? Mereka adalah Suku Bajo yang menetap selama puluhan tahun. Suku yang terkenal dengan kebergantungan hidup mereka pada laut. Suku para pelaut, suku para nelayan. Seberapa keras mereka diberi iming - iming, mereka akan menolak jika mereka harus hidup jauh dari laut. Itulah yang terjadi di Pulau itu saat ini.

Bertemu dengan Bapak Amor, salah satu warga Pulau Kera, menginap semalam di keluarga hangat ini, dan mendengar cerita leluhur. Leluhur adalah bagian hidup mereka, makam leluhur mereka nyaris dipindahkan, itulah yang membuat mereka kembali, ya mereka sempat meninggalkan Pulau ini. Apa yang dimiliki oleh manusia selain kecintaan mereka pada kehidupan dan kesetiaan mereka pada leluhur? 

Bapak Amor|Dokumentasi pribadi
Bapak Amor|Dokumentasi pribadi
Rumah-rumah dibangun di atas pasir dengan rangka seadanya, hamparan laut biru menjadi tempat bermain sekaligus ladang kehidupan. Hamparan pasir putih menjadi halaman untuk sekedar bercengkrama. Menunggu listrik menyala sementara atau menunggu orang-orang kota datang, meski sekedar berkunjung. Seperti kehidupan masyarakat lainnya, ibu-ibu memasak ikan setiap hari, anak-anak bermain sepanjang hari. Jangan bertanya tentang sekolah, mereka bergantung pada ilmu agama. 

Anak anak di Pulau Kera
Anak anak di Pulau Kera
Anak-anak fasih membaca Al-Qur'an, mereka membaca kalimat-kalimat dari Tuhan, Tulisan-tulisan penuh cinta dari Tuhan. Sayangnya, mereka tak tinggal di Negara Timur Tengah, mereka tinggal di negara di mana huruf yang menjadi bekal bertahan hidup adalah ABCD. Ya, sekolah kandang ayam di Banten jauh lebih baik dibanding di Pulau Kera ini. Tak ada sekolah.

Dahulu,pernah ada sebuah kelas untuk belajar|Dokumentasi pribadi
Dahulu,pernah ada sebuah kelas untuk belajar|Dokumentasi pribadi
Bicara tempat menimba ilmu, pun dengan tempat untuk berharap pada satu kesempatan hidup, tak ada fasilitas kesehatan. Mereka terbiasa untuk berjuang dengan diri mereka sendiri. Mereka masih bertahan dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Mereka tak banyak menuntut, hanya satu keinginan mereka, menjadi bagian dari Indonesia.

Mereka tinggal di Indonesia, tapi mereka bukan warga negara Indonesia. Tiap kali waktu untuk memilih Pemilu, semua kandidat pencari suara hilir mudik ke Pulau ini, memberi janji-janji yang biasa diberikan oleh para pemikat hati. Suara mereka dihitung untuk menentukan pemenang, tapi mereka bukanlah bagian dari Warga Negara Indonesia. 

Bagaimana bisa? Seorang mantan pejabat kepolisian memberi klarifikasi "Mereka itu Suku Bajo, mereka selalu berpindah-pindah, bagaimana kami memberikan status kewarganegaraan untuk mereka?" juga penjelasan tentang wilayah administrasi Pulau Kera itu yang terbagi di antara dua kabupaten. Dua alasan yang hanya membutuhkan niat untuk penyelesaiannya. 

"Terkadang saya berpikir, apa saya pergi saya ke Timor Timor? Mereka akan menerima kami dengan lapang dada. Kami ini macam tak dianggap ada, tapi dibutuhkan untuk segelintir suara, lalu terlupa lagi" Suara penyesalan seorang warga di Pulau Kera ini seolah sudah putus harapan.

"Leluhur kami, makamnya akan digusur, Pulau ini akan dijual? Kemana kami harus pergi? Mereka menawarkan tempat di Sulamu. Tapi mereka memberi kami tempat yang jauh dari bibir pantai? Bagaimana kami bisa bertahan?"

"Pulau ini milik leluhur kami, leluhur kami yang pertama datang, tapi pengusaha itu mengakuinya, Pitoby mau menjadikan Pulau ini menjadi resort katanya"

"Mereka itu bukan penduduk asli Pulau Kera. Kami bingung bagaimana menata mereka"

Apakah nasib anak-anak harus dikorbankan hanya demi sebuah wilayah? 

Apakah mereka harus tetap buta tentang tempat dimana mereka tinggal?

Senyum ceria dan bahagia anak-anak Pulau Kera ketika menerima setumpuk buku cerita, wajah sumringah Bapak Amor melihat peta wilayah Indonesia. Menceritakan bagian laut mana yang pernah ia layari. 

Pulau Kera tak jauh dari Kota Kupang, hanya sekitar 20 - 30 menit. 

Sekelompok pemuda Kupang yang masih peduli dan menyayangi Pulau ini, berjuang berbekal keyakinan dan keteguhan hati, mempertahankan nasib mereka yang tinggal di Pulau Kera. Beberapa warga telah menyerah pada Pulau Kera, mereka pergi ke Sulamu "Di sana anak bisa sekolah, di sana kami memiliki masa depan, tak seperti anak di Pulau Kera, mereka masih saja bodoh, belum bisa membaca dan menulis"

Tapi, di tempat inilah, anak yang masih tidak paham bahwa cita-cita dan mimpi itu ada, di tempat inilah, agama menjadi satu-satunya ilmu pengetahuan, selain tentang laut. Tak usahlah ditanya pengetahuan mereka tentang laut. Di sebuah Pulau di Tanah Timur, Pulau yang tak memiliki tanah, mereka masih bertanya "Kami ini memang suku Bajo, tapi siapakah sebenarnya kami ini?"

Sesekali, pergilah ke Kupang, berangkatlah ke Pelabuhan Oeba, dimana pasar ikan hidup dengan riuh para pedagang. Tunggulah ketika Suku Bajo dari Pulau Kera menyandarkan perahu kecil mereka di Pelabuhan, ikutlah mereka, tinggallah barang semalam. Bagikanlah cerita yang mereka bagikan.

Bermain|Dokumentasi pribadi
Bermain|Dokumentasi pribadi
Pencerita |Dokumentasi pribadi
Pencerita |Dokumentasi pribadi
Riuh Pulau Kera|Dokumentasi pribadi
Riuh Pulau Kera|Dokumentasi pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun