Menyingkap kota Banten selalu diawali dengan sederetan kisah masa lalu. Masa yang persis ditulis oleh Multatuli dalam "Max  Havelaar".  Berjalan dari Stasiun Rangkas Bitung, titik lain dari kota Banten, sebuah bangunan di samping alun - alun Rangkas, "Perpustakaan Saidjah dan Adinda". Nama yang tak asing di telinga pembaca tulisan Multatuli.
Sekilas terlintas bahwa Baduy yang jauh dari peradaban, menolak segala pengaruh luar dan teguh pada prinsip- prinsip leluhur adalah sebuah kemunduran di tengah gencarnya teknologi dan arus modernisasi. Namun kita lupa bahwa Baduy telah maju satu langkah, mereka dalam lingkup kelompok mereka telah mencapai sebuah kebebasan.Â
Mereka tak didekte dan tak ditindas oleh siapapun. Mereka yang membuat dan mencipta kehidupan untuk mereka sendiri. Namun, Baduy adalah Baduy, sebuah hati yang teguh dan tak terkoyak oleh perubahan (sampa saat ini).
Banten tak melulu tentang Ujung Kulon yang indah, Baduy yang kini berubah menjadi 'obyek wisata' atau rentetan kasus korupsi para pejabatnya. Pandeglang, satu daerah di Banten yang berjarak 200 km dari Jakarta (Ibu Kota Negara) menyimpan satu rahasia kecil yang masih tersimpan jauh di tengah hutan di Desa Curug. Sebuah sekolah yang berjarak 5 km dari pinggir desa utama di kecamatan Cibaliung.Â
Panas, tandus, kering (ya karena saat itu adalah musim kemarau) debu, air yang sangat terbatas adalah potret yang mungkin tak hanya ditemui di desa ini.Â
Perjalanan 5 km melalui jalan di tengah hutan, melewai satu satunya jembatan dari kayu yang sudah mulai rapuh, beberapa papan hanya diletakkan begitu saja di jembatan. Untuk orang yang selalu dimudahkan akses transportasi, melihat dan melewati jembatan kayu itu semacam kebodohan "Gila, ya kali gw nyemplug ke sungai, jatuh. Bodoh banget."Â
Ya, sekolah jauh yang harus didatangi, masih 3 km lagi dari sini, dengan jalan yang lebih terjal dan curam. Sapaan ramah warga terkadang menyeka kelelahan dan keringat di dahi. Satu titik mulai terlihat ketika di hadapkan pada sebuah simpangan. Sekelompok warga berkumpul, dan menunggu kedatangan orang - orang dari jauh.
"Punten, pak.. Sekolah Jauh teh di mana?"
"Itu teh, eta yang kandang ayam."
Ya, bahkan warga sekitar menyebutnya sebagai sebuah kandang ayam. Sebuah bangunan kecil, dengan dinding bambu. beratap jerami, dengan anjing-anjing kampung yang sesekali masuk kelas. Wajah-wajah yang menunggu di dalam kelas semacam oase bagi sekumpulan pejalan kaki yang lemah.Â