Mohon tunggu...
Safiroh Rohmah
Safiroh Rohmah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Uin Sunan Ampel surabaya

Be a good one

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konteks Islami Salah Pencet dalam Konten Ahlul Bid'ah

10 Desember 2023   17:10 Diperbarui: 10 Desember 2023   17:38 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sehari-hari, saya menjalani rutinitas sebagai pengguna media sosial yang aktif. Suatu hari, tanpa adanya unsur kesengajaan, saya salah menekan konten yang dimana konten tersebut secara tidak langsung mengajarkan dan menghasut para penonton untuk menjadi ahlul bid'ah. 

Pada awalnya, saya sendiri tidak menyadari akan hasutan secara tidak langsung tersebut, tetapi seiring dengan berjalannya waktu pada saat saya menonton tersebut, pengalaman tersebut membuka mata saya terhadap dinamika yang terjadi pada dunia maya.

Setelah beberapa jam, saya mulai menerima akan berbagai pesan juga tanggapan dari orang-orang yang ada pada konten tersebut. Beberapa di antaranya menunjukkan sikap yang ramah, mencoba menjelaskan sedikit demi sedikit keyakinan mereka dengan sopan, sementara yang lain ada yang menunjukkan sikap defensif juga keberatan terhadap apa yang telah mereka anggap sebagai serangan terhadap keyakinan mereka itu. 

Sadar akan kesalahan pencet konten saya, saya memutuskan untuk mengeksplorasi lebih lanjut konten yang telah saya lewatkan. Bukannya saya berhenti menonton konten tersebut, tapi saya menonton konten tersebut dengan tujuan agar saya mempunyai pandangan baru tentang perbedaan-perbedaan yang ada. 

Saya berusaha mendekati materi tersebut dengan pikiran yang terbuka, mencoba memahami sudut pandang yang berbeda. Meskipun saya tidak selalu setuju dengan semua ide yang disajikan pada konten tersebut. Bagi saya sendiri, pengalaman ini membuka pintu diskusi yang menarik dan mendalam.

Seiring dengan berjalannya waktu, saya menyadari bahwasannya media sosial seringkali menjadi arena dimana pandangan serta keyakinan yang berbeda saling bertemu. Terkadang, kesalahan sekecil apa pun dalam menekan suatu konten dapat memicu reaksi yang kompleks dan kadang-kadang emosional. Namun, saya juga menyaksikan keindahan di dalam kemampuan untuk berdialog dan belajar dari satu sama lain. 

Pengalaman salah pencet konten ini menjadi momentum refleksi bagi saya sendiri. Saya belajar untuk lebih berhati-hati lagi di dalam menggunakan media sosial, memahami bahwa setiap tindakan kecil dapat memiliki dampak yang begitu besar. Saya memilih untuk lebih selektif lagi dalam menekan konten, mencari pemahaman yang lebih mendalam sebelum mengekspresikan pendapat atau reaksi.

Dalam konten tersebut menunjukkan beberapa laki-laki yang sedang berdiskusi mengenai bahasan tentang keagamaan. Awalnya membahas tentang dasar-dasar dari keagamaan namun lama -kelamaan mereka malah kelihatan melenceng dari ajaran agama. Singkat cerita, ada salah satu laki-laki yang menceritakan tentang sedikit pengalaman hidupnya Dimana dia itu merupakan seorang laki-laki yang tumbuh dari keluarga yang sangat religious. Juga tingkat keinginan tahuannya sangat tinggi. 

Dia sangat terobsesi dengan membaca dan merenungkan ajaran-ajaran agama. Namun, dari penjelasan mengenai keagamaannya menurut pandangan saya, meskipun berpegang pada dasar-dasar Islam, dia menafsirkan banyak ajaran agama dengan cara yang berbeda. Keyakinannya menyimpang dari mayoritas dan juga mendekati pada pandangan yang dianggap kontroversial oleh ulama tradisional. Dia mengungkapkan pemahamannya tentang Islam yang tidak begitu sesuai dengan pandangan mayoritas umat agama islam, dan inilah yang membuat saya bisa mengidentifikasi laki-laki tersebut sebagai anggota bagian dari Ahlul Bid'ah.

Namun, sepertinya laki-laki tersebut bukanlah orang yang berusaha menyimpang dari ajaran agama dengan niat jahat. Sebaliknya, dia meyakini bahwa dari interpretasinya yang unik adalah upaya untuk memahami pesan-pesan agama dengan lebih mendalam. Dia percaya bahwa setiap muslim memiliki hak untuk mengeksplorasi dan menafsirkan Islam sesuai dengan pemahaman pribadi mereka.

Laki-laki tersebut menjelaskan pandangannya tentang tahlil yang mana menurutku itu adalah salah satu bukti bahwa ia merupakan salah satu bagian dari Ahlul Bid'ah. 

Pandangan seorang Ahlul Bid'ah (seseorang yang terlibat dalam pelencengan keagamaan) dalam agama Islam tentang tahlil dapat bervariasi tergantung pada jenis bid'ah yang mereka anut dan bagaimana mereka memahami konsep-konsep agama. Yang telah dijelaskan oleh laki-laki tersebut adalah membahas pandangan yang menurut saya begitu melenceng.

Tahlil, yang secara harfiah berarti mengucapkan La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah), adalah amalan zikir dan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Namun, Ahlul Bid'ah mungkin memiliki pandangan atau praktik tahlil yang kontroversial atau dianggap keluar dari norma Islam tradisional. Namun dalam pandangan seorang Ahlul Bid'ah mereka cenderung memberikan interpretasi atau penekanan yang berbeda terhadap tahlil, yang dapat menyimpang dari pemahaman mayoritas umat Islam. 

Misalnya, mereka yang lebih menekankan aspek-aspek tertentu dari tahlil, seperti mengaitkannya dengan hal-hal ghaib atau konteks budaya tertentu. Mereka bisa melihat tahlil sebagai alat untuk menyuarakan pandangan atau tujuan-tujuan tertentu yang dianggap relevan dengan kondisi masyarakat pada masa tersebut.

Pandangan Ahlul Bid'ah terhadap tahlil juga dapat mencerminkan keyakinan atau praktik bid'ah yang lebih luas dalam pandangan agama Islam. Sebagai contoh setelah laki-laki tersebut menyampaikan argumennya tentang tahlil, Yang mana menganggap tahlil sebagai sesuatu hukum yang haram, yang ia sendiri memiliki beberapa alasan atau argumen yang menjadi dasar pandangan mereka. Pertama-tama, laki-laki tersebut memiliki interpretasi yang keliru atau tidak sesuai dengan ajaran Islam mengenai tahlil. Karena adanya penambahan elemen-elemen baru, mengubah makna, juga memperlakukan tahlil dengan cara yang bertentangan dengan tuntunan ajaran agama islam Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Salah satu diantara laki-laki yang ada di konten tersebut menambahi sudut pandangnya tentang tahlil juga. Dimana ia beranggapan bahwa kelompok yang menggunakan tahlil sebagai sarana untuk menghubungkan diri mereka dengan makhluk halus atau jin. Dari sini jelas bahwasannya ia salah pemahaman dengan menggabungkan praktik-praktik supranatural atau mistik dengan tahlil, menganggapnya sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan spiritual yang lebih tinggi. Pandangan semacam ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa ibadah dan zikir hanya boleh ditujukan kepada Allah semata, tanpa menghubungkannya dengan makhluk-makhluk gaib.

Selain itu, ada orang lagi yang menambahi bahasan tentang tahlil itu merupakann haram hukumnya sebab ia menganggap tahlil sebagai keyakinan yang lebih mendekati pada ajaran yang benar dan lebih memahami kebutuhan zaman. Yang dari sini mungkin saja ia beranggapan seperti itu karena merasa bahwa tahlil dalam bentuk tradisionalnya tidak lagi relevan atau memadai untuk kebutuhan spiritual dan sosial masyarakat modern. Oleh karena itu, mereka dapat memodifikasi tahlil atau menciptakan versi baru yang sesuai dengan pandangan atau kebijakan mereka, walaupun hal tersebut mungkin bertentangan dengan ajaran agama.

Pandangan bahwa tahlil dalam bentuk tertentu adalah haram juga bisa muncul karena upaya memaksakan interpretasi atau penafsiran yang tidak sah terhadap ayat-ayat Al-Qur'an atau hadis-hadis Rasulullah SAW. Seperti imbuhan yang ditambahkan oleh laki-laki pertama yang membahasa tenbtang haramnya hukum tahlil. Mungkin saja dengan menggunakan dalil-dalil yang diambil dari konteks atau tanpa memperhitungkan konteks aslinya untuk mendukung praktik bid'ah mereka terkait tahlil.

Dalam pandangan kelompok yang menentang tahlilan menurut pemahaman saya sendiri, bid'ah dianggap sebagai sesuatu yang sesat, sesuai dengan sabda Nabi SAW, "kullu bid'atin dholalah wa kullu dholaalatin fiin naar." Mereka berpendapat bahwa tahlilan dianggap sebagai bid'ah karena pada zaman Nabi SAW, tidak ada praktik tahlilan. Definisi bid'ah dalam konteks ini mencakup segala bentuk amal ibadah yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. 

Selain istilah bid'ah, kelompok ini juga mengungkapkan pandangan terhadap berbagai praktik yang dilakukan oleh kelompok ormas Islam yang mendukung tahlilan. Mereka menilai bahwa praktik-praktik tersebut tidak memiliki dasar dalam al-Qur'an dan Hadits, seperti shalat tarawih 20 rakaat, ritual 1--7 kematian, pelaksanaan aqiqah diluar 7, 14, dan 21 hari setelah kelahiran, serta acara mitoni dengan membaca 7 surat al-Qur'an (Yaasiin, Waqi'ah, alMulk, ar-Rahman, Kahfi, Maryam, dan Yusuf). Kelompok yang mempertahankan praktik-praktik ini sering menanggapinya dengan mengklaim bahwa hadits yang digunakan oleh kelompok 'penentang' tahlilan dianggap dhoif (lemah).

Tidak hanya kelompok yang menentang tahlilan, kelompok yang mendukung tahlilan juga melakukan kajian terhadap hadits yang dikutip oleh kelompok pertama. Namun, mereka memperluas makna bid'ah menjadi bid'ah dholalah (sesat) dan bid'ah hasanah (baik). Mereka merujuk pada tindakan Umar bin Khattab yang mengusulkan penyelenggaraan shalat Tarawih secara bersama-sama sebagai contoh bid'ah hasanah (baik). Kelompok ini mengklaim bahwa kata "kullu" (semua) dalam hadits sering dikutip oleh kelompok 'penentang' tahlilan dapat diartikan sebagai "ba'dhun" (sebagian), sehingga terjemahannya menjadi sebagian dari bid'ah adalah sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka.

Ungkapan bid'ah menjadi topik yang sering muncul dalam pengajian, menimbulkan kesan adanya perpecahan. Namun, bagi individu yang kritis, keberadaan kritik ini dianggap positif karena mendorong umat Islam untuk lebih serius dalam memahami keislaman mereka. Dengan tradisi kritik ini, umat Islam mulai mengajukan pertanyaan kritis terhadap pernyataan yang muncul dari para mubaligh, kiai, ustadz, dan sebagainya. 

Pertanyaan tersebut mencakup aspek-aspek seperti apakah khutbah menggunakan bahasa lokal termasuk bid'ah? Jika ya, bid'ah seperti apa yang dimaksud? Jika bid'ah hanya dholalah (sesat), mengapa praktik tersebut masih dilakukan? Sehingga, seseorang yang memberikan khutbah Jum'at dengan menggunakan bahasa lokal, menurut pandangan kritis, tidak dapat langsung dikategorikan sebagai ahli neraka tanpa pertimbangan yang lebih mendalam.

Kelompok yang menentang akan praktik tahlil sering kali menuduhnya sebagai bentuk bid'ah keharaman karena dianggap sebagai warisan tradisi agama pra-Islam di Jawa, terutama yang beragama Budha dan Hindu. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa pelaksanaan kegiatan tahlil seharusnya diharamkan karena dinilai menyerupai praktik ibadah dari tradisi agama lain. Sama seperti yang telah dijelaskan pada konten tersebut yang dimana ada salah satu unsur hubungan dengan tradisi. 

Sebagai contoh dari pemahaman saya sendiri tentang bid'ah ketika mereka mengeluarkan fatwa melarang perayaan maulid Nabi Muhammad Saw., mereka mengklaim bahwa hal tersebut serupa dengan perayaan kelahiran yang ada dalam agama lain, khususnya perayaan Natal dalam agama Kristen. Pandangan ini secara umum menciptakan pemahaman bahwa apabila suatu praktik tidak berasal dari kalangan Muslim secara langsung, maka praktik tersebut dianggap sebagai bid'ah yang sesat, haram, bahkan dianggap sebagai perbuatan kafir jika dilakukan oleh individu Muslim.

Terlepas dari apakah diakui atau tidaknya, asal usul dari tahlil memang dapat ditelusuri kembali hingga menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia yang memiliki keyakinan non-Islam sebelum Islam memasuki Nusantara. Meskipun demikian, pada satu sisi, ajaran Islam, terutama yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW., ditandai dengan sifat menghargai dan toleransi. 

Ekspansi Islam tidak dijalankan dengan cara merusak atau menghapuskan tradisi yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat non-Islam sebelumnya Lebih lanjut, upaya Islamisasi ini, dengan fleksibilitasnya, mampu mengislamkan masyarakat Nusantara tanpa melibatkan kekerasan. Kelenturan dan adaptabilitas menjadi senjata ampuh yang digunakan oleh para penyebar Islam pada masa itu.

Secara historis, keberadaan tahlil menjadi cermin dari keberhasilan proses islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat Indonesia pra-Islam. Tradisi masyarakat ketika menghadapi kematian, seperti berkumpul di rumah duka pada malam hari untuk kegiatan yang kurang islami seperti berjudi dan mabuk-mabukan, perlahan-lahan mengalami transformasi. Islam, yang mulai menyentuh masyarakat, membawa perubahan tersebut dengan mengisi acara tersebut dengan nilai-nilai keislaman yang memberikan manfaat bagi yang meninggal, keluarga duka, dan masyarakat secara umum. Dari situlah kemudian muncul perkembangan luas tradisi tahlilan di tengah masyarakat, yang menjadi praktik umum yang diterapkan oleh masyarakat pada zaman sekarang.

Tidak hanya itu saja, pandangan yang cenderung membuat kesamaan antara tradisi Islam dan tradisi non-Islam juga menyatakan bahwa jika suatu praktik tidak dilakukan oleh umat Islam sejak awal, maka praktik tersebut dianggap sebagai bid'ah yang harus dihindari. Pandangan ini juga muncul dalam konteks budaya sarungan, di mana diklaim bahwa budaya tersebut bukanlah bagian dari tradisi Islam. Bahkan, pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak ada jejak budaya sarungan seperti yang terjadi di Indonesia. Faktanya, budaya sarungan yang hanya ditemukan di Indonesia diakui berasal dari tradisi agama Hindu yang ada di Indonesia. Sebagai contoh dari pemahaman saya, budaya sarungan yang melekat kuat pada orang Madura disebut-sebut sebagai bukti nyata, dan sebelum kedatangan Islam, mayoritas orang Madura diyakini mengikuti agama Hindu.

Menurut penjelasan dari Buya Yahya bahwa istilah "bid'ah" memiliki makna dalam bahasa Arab yang mengacu pada perbuatan yang dilakukan tanpa mengikuti contoh yang telah ditetapkan, termasuk tindakan menambah atau mengurangi ketetapan yang sudah ada. Dalam konteks bahasa, bid'ah memiliki arti yang terkait dengan inovasi, pembaruan, atau bahkan doktrin sesat.
Buya Yahya kemudian melanjutkan penjelasannya dengan menekankan bahwa apa yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tidak otomatis dianggap di luar batas Syariah Islam. Sebagai contoh, Buya Yahya mengambil ilustrasi tentang adzan yang dikumandangkan dua kali pada ibadah shalat Jumat.

Menurut Buya Yahya, "Meskipun Nabi tidak pernah mencontohkan hal tersebut, namun tindakan tersebut pernah dilakukan oleh sahabat Nabi dengan tujuan tertentu."

Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa hanya karena sesuatu tidak pernah dilakukan oleh Nabi pada zamannya, bukan berarti dapat langsung disimpulkan sebagai aktivitas yang dihukumi bid'ah. Buya Yahya menekankan bahwa tindakan tertentu yang tidak diambil contoh langsung oleh Nabi dapat memiliki konteks dan tujuan khusus, seperti yang dilakukan oleh sahabat Nabi. Oleh karena itu, perlu memahami konteks dan niat di balik suatu tindakan sebelum membuat penilaian apakah suatu aktivitas dapat dikategorikan sebagai bid'ah.

Tidak ada hadits yang secara eksplisit menyebutkan istilah "ahlul bid'ah" dalam koleksi hadits utama seperti Sahih al-Bukhari atau Sahih Muslim. Namun, ada beberapa hadits yang secara umum memberikan peringatan terhadap inovasi atau perubahan dalam agama. Salah satu hadits yang sering dikutip dalam konteks ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu 'anha, yang berkata:

Artinya: "Barangsiapa yang memperkenalkan sesuatu yang bukan dari ajaran kami, maka perbuatannya itu tertolak."
Meskipun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan "ahlul bid'ah," para ulama menggunakan hadits ini sebagai dasar untuk menolak inovasi atau perubahan yang tidak sesuai dengan ajaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah .
Penting untuk memahami bahwa definisi bid'ah dapat menjadi subjektif, dan ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang apa yang dianggap bid'ah. Beberapa menganggap bid'ah hanya terkait dengan masalah agama yang pokok, sementara yang lain dapat menyertakan praktik-praktik keagamaan tambahan yang muncul di kemudian hari. Dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi, umat Islam diingatkan untuk berpegang teguh pada ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah tanpa menambahkan atau mengurangi sesuatu dari ajaran tersebut. Namun, ketika membicarakan ahlul bid'ah, perlu dicatat bahwa sikap terhadap kelompok-kelompok atau individu tertentu seringkali berkaitan dengan konteks dan interpretasi ulama. Sikap saling menghormati dan berdialog dalam konteks perbedaan pandangan juga ditekankan dalam Islam.

Yang selanjutnya yang menjadi bahasan dalam konten tersebut yang menjadikan saya beranggapan dikonten tersebut orang-orangnya Ahlul Bid'ah adalah tentang ziarah kubur yang menjadi keharaman. Beranggapan bahwa ziarah kubur adalah bid'ah karena mereka yang ada dalam konten tersebut memiliki pandangan yang didasarkan pada interpretasi tertentu terhadap ajaran agama atau tradisi keagamaan yang mereka anut. Yang mana Sebagian dari mereka lahir dan dibesarkan dalam suatu masyarakat yang memiliki interpretasi agama yang konservatif. Pendidikan agama yang dia terima selama masa kecilnya cenderung menekankan pada prinsip-prinsip dasar tanpa memberikan ruang untuk praktik keagamaan tambahan. Tumbuh dengan keyakinan bahwa ajaran agama harus diikuti secara ketat sesuai dengan apa yang diajarkan dalam kitab suci.

Salah satu dari mereka menjelaskan kisahnya bisa berpendapat seperti itu karena beberapa warga di desa itu mulai meyakini bahwa ziarah kubur, yang telah menjadi tradisi turun-temurun di tengah masyarakat, adalah bentuk bid'ah yang harus dihindari. Jelas kalau seperti itu yaitu termasuk dalam golongan yang meyakini bahwa ziarah kubur adalah suatu bentuk bid'ah. Pandangan tersebut katanya itu tidak muncul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh ulama-ulama yang mengkritik tradisi ziarah kubur sebagai praktik keagamaan yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam sumber-sumber utama ajaran Islam. Baginya, setiap ibadah haruslah terikat dengan ajaran Al-Qur'an dan Hadis, dan segala sesuatu di luar itu dianggap sebagai inovasi yang tidak sesuai. Ia merasa bahwa ketaatannya terhadap agama tidak boleh disalurkan melalui tradisi-tradisi yang tidak memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Keputusannya ini membuatnya terisolasi dari sebagian besar masyarakatnya yang masih memegang teguh tradisi ziarah kubur.

Pandangannya terhadap ziarah kubur semakin kuat setelah ia terlibat dalam serangkaian diskusi dan perdebatan dengan tetangga-tetangganya yang masih mempertahankan tradisi tersebut. Dengan penuh keyakinan, ia menyatakan bahwa ziarah kubur adalah bentuk bid'ah yang harus dihindari oleh umat Islam.

Memang pada awal penyebaran Islam, Nabi Muhammad SAW mengeluarkan larangan terhadap kaum Muslimin untuk menziarahi kuburan. Larangan tersebut timbul karena adanya kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya kesyirikan dan pemujaan terhadap kuburan, terutama jika yang meninggal merupakan sosok yang saleh. Keputusan Nabi ini didasarkan pada pemahaman bahwa pada masa itu, iman para sahabat masih lemah dan mereka memerlukan bimbingan langsung dari Rasulullah SAW agar tidak terjerumus dalam praktek-praktek yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Peringatan dan larangan tersebut bukan hanya ditujukan kepada para sahabat pada zamannya, tetapi juga relevan bagi umat Islam pada masa sekarang. Menariknya, jika kita mengobservasi kondisi saat ini, kita akan menyadari bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW pada masanya ternyata juga menjadi realitas dalam praktik ziarah kubur saat ini. Penting untuk memahami bahwa larangan tersebut tidak bersifat mutlak atau abadi, melainkan berlaku pada konteks dan kondisi masyarakat pada masa awal Islam. Seiring dengan perkembangan dan penguatan iman umat Islam, praktek ziarah kubur tidak lagi dilarang, bahkan menjadi sunnah dan dianjurkan. Hal ini menunjukkan bahwa larangan tersebut bersifat kontekstual dan bersesuaian dengan tingkat pemahaman serta keimanan umat Islam pada zamannya.

Namun, sepemahaman saya mengenai ziarah kubur yaitu Ziarah kubur akan sesuai dengan pedoman syariat asalkan seseorang menghindari perilaku-perilaku tertentu yang dapat mengarahkan ziarah tersebut ke dalam kategori bid'ah atau syirik. Pemahaman ini diperjelas dalam penjelasan berikutnya.

Dalam konteks ini, dapat dikategorikan sebagai bid'ah jika seseorang mengawali ziarah kubur dengan niat berdoa kepada Allah Ta'ala dan meyakini bahwa melaksanakan doa di sisi makam individu tertentu dapat meningkatkan peluang doanya dikabulkan oleh Allah Ta'ala. Lebih lanjut, ketika seseorang melakukan ziarah kubur dengan tujuan bertawassul, yaitu menggunakan penghuni kubur sebagai perantara saat berdoa kepada Allah Ta'ala, hal ini juga dianggap sebagai bid'ah. Begitu pula, apabila seseorang merencanakan ziarah kubur dengan niat untuk beribadah kepada Allah Ta'ala di sisi makam, seperti berzikir, iktikaf, atau membaca Al-Qur'an, dengan keyakinan bahwa beribadah di sisi makam tersebut lebih utama dan mendatangkan lebih banyak pahala, maka praktik tersebut juga masuk dalam kategori bid'ah.

Penting untuk dicatat bahwa keyakinan-keyakinan semacam ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam syariat Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu, dalam konteks ziarah kubur, mengikuti niat dan keyakinan semacam ini dapat membawa risiko adanya perbuatan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang mana menekankan pentingnya merujuk pada sumber-sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadis, sebagai landasan yang kuat dalam melaksanakan ibadah. Mereka menegaskan bahwa praktek-praktek yang tidak memiliki dasar dalil yang jelas dalam syariat dapat dianggap sebagai bentuk inovasi atau bahkan syirik.
Dengan begitu, ziarah kubur yang sejalan dengan tuntunan syariat dapat dijamin dengan menghindari niat dan keyakinan yang tidak didasarkan pada ajaran Islam yang otentik. Dengan demikian, penghormatan terhadap makam-makam sesama muslim dapat dilakukan tanpa memasuki ranah bid'ah atau syirik, dan sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.
Diriwayatkan yang berasal ibunda 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa yang mengerjakan pada suatu amal yang tidak ada tuntunannya berasal dari kami, maka amal tersebut jadinya tertolak." (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Di dalam riwayat yg lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

"Barang siapa yang mengada-adakan pada sesuatu dalam urusan (kepercayaan ) ini yg itu merupakan bukan dari kami, maka amal tersebut tertolak." (HR. Muslim no. 1718)
Ziarah kubur dianggap diperbolehkan bahkan disunnahkan dalam Islam. Hal ini karena pada masa kini, iman umat Islam telah kokoh dan mereka senantiasa memohon kepada Allah, bahkan ketika berada di dekat kuburan. Penting untuk dicatat bahwa ziarah kubur bukan berarti penyembahan terhadap kuburan atau nisan, melainkan merupakan bentuk pengingat akan kematian dan akhirat. Umat Islam yang melakukan ziarah kubur mengakui bahwa mereka juga akan mengalami peristiwa yang sama di masa yang akan datang.
Dalam pelaksanaan ziarah kubur, umat Islam tidak mengarahkan ibadahnya kepada makam atau nisan, tetapi lebih kepada introspeksi diri terkait kehidupan akhirat. Mereka menyadari bahwa kunjungan tersebut bukanlah tindakan penyembahan, melainkan sebagai penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan kematian. Sementara itu, doa yang mereka panjatkan adalah untuk memohon pertolongan dan keberkahan dari Allah SWT bagi orang tua, kerabat, dan individu yang mereka ziarahi.
Rasulullah SAW juga memberikan anjuran kepada umatnya untuk senantiasa berziarah kepada wali-wali Allah. Ibnu Hajar al-Haitami menyampaikan bahwa Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan terkait ziarah kepada para wali dengan memberikan dorongan dan anjuran. Hal ini menunjukkan bahwa ziarah kepada orang-orang yang dekat dengan Allah dianjurkan sebagai bentuk penghormatan dan inspirasi spiritual. Dalam pandangan ini, ziarah kubur dianggap sebagai praktik yang mendukung pembinaan spiritual dan kesadaran akan akhirat. Ketika umat Islam mengunjungi kuburan, mereka tidak hanya berdoa untuk diri mereka sendiri, tetapi juga memohonkan pertolongan dan rahmat bagi orang-orang yang telah meninggal. Ini mencerminkan keyakinan bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan untuk memberikan bantuan kepada mereka yang masih hidup maupun yang telah berpulang.
Dengan demikian, ziarah kubur dalam Islam memiliki dimensi spiritual yang mendalam dan dilakukan sebagai wujud penghargaan terhadap perjalanan roh di akhirat. Pandangan ini mencerminkan pemahaman yang seimbang antara melaksanakan tuntunan syariat dan menjaga nilai-nilai spiritualitas dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kalangan anafiyyah, Mlikiyyah, asy-Syfi'iyyah, dan anbilah telah sepakat bahwa ziarah kubur memiliki status hukum sebagai sunah. Kesepakatan ini mencakup laki-laki dan perempuan, dengan tujuan utama dalam praktek ini adalah untuk mengambil pelajaran akan hakikat kematian yang merentang pada semua individu dan mengingatkan akan kehadiran hari pembalasan amal di akhirat.
Meskipun demikian, terdapat catatan penting terkait partisipasi kaum perempuan dalam ziarah kubur. Jika adanya kehadiran kaum perempuan dianggap dapat menimbulkan potensi fitnah atau godaan, maka dalam konteks ini, ziarah kubur bagi mereka dianggap sebagai tindakan yang dilarang atau haram. Pemahaman ini didukung oleh pandangan 'Abd ar-Ramn al-Jazr sebagaimana dijelaskan dalam Kitb al-Fiqh 'al al-Mazhib al-Arba'ah (2011, I: 457-458).
Dalam perspektif ini, larangan bagi kaum perempuan untuk melakukan ziarah kubur tidak bermaksud untuk mengekang hak atau kewajiban spiritual mereka. Sebaliknya, larangan tersebut ditempatkan sebagai langkah pencegahan terhadap potensi fitnah yang mungkin timbul dalam situasi tertentu. Pendekatan ini mencerminkan kebijakan yang diarahkan pada pemeliharaan keamanan dan ketertiban sosial, serta menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam pelaksanaan ibadah. Jadi, meskipun ziarah kubur dianggap sunah bagi laki-laki maupun perempuan, perhatian khusus diberikan terhadap konteks sosial dan potensi dampak yang dapat timbul. Hal ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam, keberimbangan antara menjalankan ibadah dan menjaga tatanan sosial merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan secara bijaksana.
Menurut Abd ar-Ramn al-Jazr (2011: I, 458), disarankan untuk melaksanakan ziarah ke makam individu yang saleh, seperti para wali Allah dan syuhada, khususnya mengunjungi makam Nabi Muhammad saw. Menurutnya, ziarah ke makam Nabi merupakan suatu tindakan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah secara signifikan. Hal ini karena tempat tersebut dianggap sebagai lokasi yang paling mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam perspektif Imam Amad w al-Mlik sebagaimana dijelaskan dalam Hsyiyah al-'Allmah w 'Al Tafsr al-Jallain (I: 282), ziarah ke makam para kekasih Allah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ungkapan cinta kepada Allah. Melalui ziarah ini, umat Islam mengekspresikan kasih sayang dan penghormatan terhadap individu yang telah mendekatkan diri kepada Allah dalam kehidupan mereka.
Dengan melaksanakan ziarah ke makam para wali Allah, umat Islam dapat mengambil pelajaran dan inspirasi spiritual dari kehidupan orang-orang saleh tersebut. Praktik ini menjadi lebih dari sekadar kunjungan fisik, melainkan sebuah bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai spiritual dan cinta kepada Allah yang tercermin dalam perjalanan hidup para kekasih-Nya. Dengan demikian, ziarah ke makam para kekasih Allah bukan hanya merupakan tindakan ritualistik semata, melainkan sebuah wujud dari rasa cinta dan ketaatan kepada Allah. Pandangan ini menegaskan bahwa dalam Islam, ziarah kubur bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga merupakan sarana untuk mempererat ikatan spiritual dan memperdalam hubungan dengan Tuhan.
Ziarah kubur tidak hanya diartikan sebagai suatu bentuk tafakur dan bermuhasabah, tetapi juga memiliki dimensi doa bagi para ahli kubur. Rasulullah saw., sebagai contoh, mengawali ziarah kubur dengan memberikan salam kepada ahli kubur dan mendoakan mereka. Sayyid lib usain dalam Mukhtaar al-Kutub al-Khamsah (2010: 158) mencatat praktik ini sebagai bagian integral dari ziarah kubur. Konsep doa dan permohonan rahmat kepada Allah untuk ahli kubur juga ditegaskan oleh Ibnu al-Qayyim. Dalam perspektifnya, ziarah kubur yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. memiliki tujuan utama untuk berdoa, memohonkan rahmat kepada Allah, dan istigfar bagi ahli kubur. Oleh karena itu, pandangan Imam Amad ibn anbal ra. menyatakan bahwa segala bentuk kebaikan, seperti membaca fatihah, tahlil, ayat-ayat al-Qur'an, maupun memberikan sedekah, yang ditujukan kepada para ahl al-qubr akan memberikan pahala yang sampai kepada mereka.

Dengan demikian, ziarah kubur dalam Islam bukan hanya mengandung makna introspeksi diri, tetapi juga sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan para ahli kubur melalui doa dan permohonan kepada Allah. Melibatkan dimensi spiritualitas, ziarah kubur menjadi wujud konkret dari kasih sayang, penghormatan, dan doa bagi mereka yang telah berpulang. Pandangan ini mengukuhkan bahwa ziarah kubur adalah praktik yang melibatkan interaksi spiritual yang mendalam antara orang yang hidup dan yang telah meninggalkan dunia ini.
Ziarah kubur sendiri merupakan sebuah kegiatan yang hikmah dan manfaatnya sangat banyak, mengandung sejumlah aspek positif yang menjadi landasan praktik ini. Di antara beragam nilai-nilai yang terkandung, beberapa di antaranya mencakup:

1.Pembelajaran tentang Akhirat dan Kematian: Ziarah kubur menjadi media yang efektif untuk mengingatkan umat Islam akan realitas hari akhirat dan kematian. Praktik ini memberikan pelajaran berharga dan ibrah, menumbuhkan kesadaran akan keterbatasan hidup di dunia serta merangsang refleksi diri terhadap persiapan untuk kehidupan setelah mati. Dengan demikian, ziarah kubur memiliki potensi untuk memberikan dampak positif yang mendalam dalam perjalanan spiritual individu.

2.Doa untuk Keselamatan dan Ampunan: Ziarah kubur tidak hanya sebatas kunjungan fisik, melainkan juga sarana untuk mendoakan keselamatan bagi orang-orang yang telah meninggal dunia. Doa-doa ini mencakup permohonan ampunan atas segala amalan yang dilakukan oleh orang yang telah berpulang. Dengan melakukan ziarah kubur, umat Islam dapat berpartisipasi dalam memberikan dukungan spiritual dan harapan kebaikan bagi orang-orang yang telah meninggalkan dunia ini.

3.Hidupkan Sunnah Rasulullah SAW: Ziarah kubur menjadi wujud nyata dalam menjalankan sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Aktivitas ini dapat diartikan sebagai implementasi praktik yang disebarkan dan dianjurkan oleh Rasulullah, yang memberikan contoh nyata tentang pentingnya menghormati, mengenang, dan berdoa untuk orang-orang yang telah meninggal. Dengan mempraktikkan ziarah kubur, umat Islam dapat menjalin kontinuitas dalam melaksanakan sunnah-sunnah yang berasal dari ajaran Nabi.

4.Mendapatkan Pahala dari Allah: Selain sebagai kewajiban dan bentuk ibadah kepada Allah, ziarah kubur juga membuka peluang untuk mendapatkan pahala kebaikan. Tindakan ini dianggap sebagai perbuatan yang dicintai oleh Allah, dan dengan melakukan ziarah kubur dengan niat yang tulus, umat Islam dapat mengharapkan keberkahan dan pahala dari-Nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun