Artinya: "Barangsiapa yang memperkenalkan sesuatu yang bukan dari ajaran kami, maka perbuatannya itu tertolak."
Meskipun hadits ini tidak secara spesifik menyebutkan "ahlul bid'ah," para ulama menggunakan hadits ini sebagai dasar untuk menolak inovasi atau perubahan yang tidak sesuai dengan ajaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah .
Penting untuk memahami bahwa definisi bid'ah dapat menjadi subjektif, dan ada perbedaan pendapat di antara ulama tentang apa yang dianggap bid'ah. Beberapa menganggap bid'ah hanya terkait dengan masalah agama yang pokok, sementara yang lain dapat menyertakan praktik-praktik keagamaan tambahan yang muncul di kemudian hari. Dalam menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi, umat Islam diingatkan untuk berpegang teguh pada ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah tanpa menambahkan atau mengurangi sesuatu dari ajaran tersebut. Namun, ketika membicarakan ahlul bid'ah, perlu dicatat bahwa sikap terhadap kelompok-kelompok atau individu tertentu seringkali berkaitan dengan konteks dan interpretasi ulama. Sikap saling menghormati dan berdialog dalam konteks perbedaan pandangan juga ditekankan dalam Islam.
Yang selanjutnya yang menjadi bahasan dalam konten tersebut yang menjadikan saya beranggapan dikonten tersebut orang-orangnya Ahlul Bid'ah adalah tentang ziarah kubur yang menjadi keharaman. Beranggapan bahwa ziarah kubur adalah bid'ah karena mereka yang ada dalam konten tersebut memiliki pandangan yang didasarkan pada interpretasi tertentu terhadap ajaran agama atau tradisi keagamaan yang mereka anut. Yang mana Sebagian dari mereka lahir dan dibesarkan dalam suatu masyarakat yang memiliki interpretasi agama yang konservatif. Pendidikan agama yang dia terima selama masa kecilnya cenderung menekankan pada prinsip-prinsip dasar tanpa memberikan ruang untuk praktik keagamaan tambahan. Tumbuh dengan keyakinan bahwa ajaran agama harus diikuti secara ketat sesuai dengan apa yang diajarkan dalam kitab suci.
Salah satu dari mereka menjelaskan kisahnya bisa berpendapat seperti itu karena beberapa warga di desa itu mulai meyakini bahwa ziarah kubur, yang telah menjadi tradisi turun-temurun di tengah masyarakat, adalah bentuk bid'ah yang harus dihindari. Jelas kalau seperti itu yaitu termasuk dalam golongan yang meyakini bahwa ziarah kubur adalah suatu bentuk bid'ah. Pandangan tersebut katanya itu tidak muncul begitu saja, melainkan dipengaruhi oleh ulama-ulama yang mengkritik tradisi ziarah kubur sebagai praktik keagamaan yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam sumber-sumber utama ajaran Islam. Baginya, setiap ibadah haruslah terikat dengan ajaran Al-Qur'an dan Hadis, dan segala sesuatu di luar itu dianggap sebagai inovasi yang tidak sesuai. Ia merasa bahwa ketaatannya terhadap agama tidak boleh disalurkan melalui tradisi-tradisi yang tidak memiliki dasar kuat dalam ajaran Islam. Keputusannya ini membuatnya terisolasi dari sebagian besar masyarakatnya yang masih memegang teguh tradisi ziarah kubur.
Pandangannya terhadap ziarah kubur semakin kuat setelah ia terlibat dalam serangkaian diskusi dan perdebatan dengan tetangga-tetangganya yang masih mempertahankan tradisi tersebut. Dengan penuh keyakinan, ia menyatakan bahwa ziarah kubur adalah bentuk bid'ah yang harus dihindari oleh umat Islam.
Memang pada awal penyebaran Islam, Nabi Muhammad SAW mengeluarkan larangan terhadap kaum Muslimin untuk menziarahi kuburan. Larangan tersebut timbul karena adanya kekhawatiran terhadap kemungkinan terjadinya kesyirikan dan pemujaan terhadap kuburan, terutama jika yang meninggal merupakan sosok yang saleh. Keputusan Nabi ini didasarkan pada pemahaman bahwa pada masa itu, iman para sahabat masih lemah dan mereka memerlukan bimbingan langsung dari Rasulullah SAW agar tidak terjerumus dalam praktek-praktek yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Peringatan dan larangan tersebut bukan hanya ditujukan kepada para sahabat pada zamannya, tetapi juga relevan bagi umat Islam pada masa sekarang. Menariknya, jika kita mengobservasi kondisi saat ini, kita akan menyadari bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW pada masanya ternyata juga menjadi realitas dalam praktik ziarah kubur saat ini. Penting untuk memahami bahwa larangan tersebut tidak bersifat mutlak atau abadi, melainkan berlaku pada konteks dan kondisi masyarakat pada masa awal Islam. Seiring dengan perkembangan dan penguatan iman umat Islam, praktek ziarah kubur tidak lagi dilarang, bahkan menjadi sunnah dan dianjurkan. Hal ini menunjukkan bahwa larangan tersebut bersifat kontekstual dan bersesuaian dengan tingkat pemahaman serta keimanan umat Islam pada zamannya.
Namun, sepemahaman saya mengenai ziarah kubur yaitu Ziarah kubur akan sesuai dengan pedoman syariat asalkan seseorang menghindari perilaku-perilaku tertentu yang dapat mengarahkan ziarah tersebut ke dalam kategori bid'ah atau syirik. Pemahaman ini diperjelas dalam penjelasan berikutnya.
Dalam konteks ini, dapat dikategorikan sebagai bid'ah jika seseorang mengawali ziarah kubur dengan niat berdoa kepada Allah Ta'ala dan meyakini bahwa melaksanakan doa di sisi makam individu tertentu dapat meningkatkan peluang doanya dikabulkan oleh Allah Ta'ala. Lebih lanjut, ketika seseorang melakukan ziarah kubur dengan tujuan bertawassul, yaitu menggunakan penghuni kubur sebagai perantara saat berdoa kepada Allah Ta'ala, hal ini juga dianggap sebagai bid'ah. Begitu pula, apabila seseorang merencanakan ziarah kubur dengan niat untuk beribadah kepada Allah Ta'ala di sisi makam, seperti berzikir, iktikaf, atau membaca Al-Qur'an, dengan keyakinan bahwa beribadah di sisi makam tersebut lebih utama dan mendatangkan lebih banyak pahala, maka praktik tersebut juga masuk dalam kategori bid'ah.
Penting untuk dicatat bahwa keyakinan-keyakinan semacam ini tidak memiliki dasar yang kuat dalam syariat Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu, dalam konteks ziarah kubur, mengikuti niat dan keyakinan semacam ini dapat membawa risiko adanya perbuatan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang mana menekankan pentingnya merujuk pada sumber-sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadis, sebagai landasan yang kuat dalam melaksanakan ibadah. Mereka menegaskan bahwa praktek-praktek yang tidak memiliki dasar dalil yang jelas dalam syariat dapat dianggap sebagai bentuk inovasi atau bahkan syirik.
Dengan begitu, ziarah kubur yang sejalan dengan tuntunan syariat dapat dijamin dengan menghindari niat dan keyakinan yang tidak didasarkan pada ajaran Islam yang otentik. Dengan demikian, penghormatan terhadap makam-makam sesama muslim dapat dilakukan tanpa memasuki ranah bid'ah atau syirik, dan sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.
Diriwayatkan yang berasal ibunda 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barang siapa yang mengerjakan pada suatu amal yang tidak ada tuntunannya berasal dari kami, maka amal tersebut jadinya tertolak." (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Di dalam riwayat yg lain, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barang siapa yang mengada-adakan pada sesuatu dalam urusan (kepercayaan ) ini yg itu merupakan bukan dari kami, maka amal tersebut tertolak." (HR. Muslim no. 1718)
Ziarah kubur dianggap diperbolehkan bahkan disunnahkan dalam Islam. Hal ini karena pada masa kini, iman umat Islam telah kokoh dan mereka senantiasa memohon kepada Allah, bahkan ketika berada di dekat kuburan. Penting untuk dicatat bahwa ziarah kubur bukan berarti penyembahan terhadap kuburan atau nisan, melainkan merupakan bentuk pengingat akan kematian dan akhirat. Umat Islam yang melakukan ziarah kubur mengakui bahwa mereka juga akan mengalami peristiwa yang sama di masa yang akan datang.
Dalam pelaksanaan ziarah kubur, umat Islam tidak mengarahkan ibadahnya kepada makam atau nisan, tetapi lebih kepada introspeksi diri terkait kehidupan akhirat. Mereka menyadari bahwa kunjungan tersebut bukanlah tindakan penyembahan, melainkan sebagai penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan kematian. Sementara itu, doa yang mereka panjatkan adalah untuk memohon pertolongan dan keberkahan dari Allah SWT bagi orang tua, kerabat, dan individu yang mereka ziarahi.
Rasulullah SAW juga memberikan anjuran kepada umatnya untuk senantiasa berziarah kepada wali-wali Allah. Ibnu Hajar al-Haitami menyampaikan bahwa Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan terkait ziarah kepada para wali dengan memberikan dorongan dan anjuran. Hal ini menunjukkan bahwa ziarah kepada orang-orang yang dekat dengan Allah dianjurkan sebagai bentuk penghormatan dan inspirasi spiritual. Dalam pandangan ini, ziarah kubur dianggap sebagai praktik yang mendukung pembinaan spiritual dan kesadaran akan akhirat. Ketika umat Islam mengunjungi kuburan, mereka tidak hanya berdoa untuk diri mereka sendiri, tetapi juga memohonkan pertolongan dan rahmat bagi orang-orang yang telah meninggal. Ini mencerminkan keyakinan bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan untuk memberikan bantuan kepada mereka yang masih hidup maupun yang telah berpulang.
Dengan demikian, ziarah kubur dalam Islam memiliki dimensi spiritual yang mendalam dan dilakukan sebagai wujud penghargaan terhadap perjalanan roh di akhirat. Pandangan ini mencerminkan pemahaman yang seimbang antara melaksanakan tuntunan syariat dan menjaga nilai-nilai spiritualitas dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kalangan anafiyyah, Mlikiyyah, asy-Syfi'iyyah, dan anbilah telah sepakat bahwa ziarah kubur memiliki status hukum sebagai sunah. Kesepakatan ini mencakup laki-laki dan perempuan, dengan tujuan utama dalam praktek ini adalah untuk mengambil pelajaran akan hakikat kematian yang merentang pada semua individu dan mengingatkan akan kehadiran hari pembalasan amal di akhirat.
Meskipun demikian, terdapat catatan penting terkait partisipasi kaum perempuan dalam ziarah kubur. Jika adanya kehadiran kaum perempuan dianggap dapat menimbulkan potensi fitnah atau godaan, maka dalam konteks ini, ziarah kubur bagi mereka dianggap sebagai tindakan yang dilarang atau haram. Pemahaman ini didukung oleh pandangan 'Abd ar-Ramn al-Jazr sebagaimana dijelaskan dalam Kitb al-Fiqh 'al al-Mazhib al-Arba'ah (2011, I: 457-458).
Dalam perspektif ini, larangan bagi kaum perempuan untuk melakukan ziarah kubur tidak bermaksud untuk mengekang hak atau kewajiban spiritual mereka. Sebaliknya, larangan tersebut ditempatkan sebagai langkah pencegahan terhadap potensi fitnah yang mungkin timbul dalam situasi tertentu. Pendekatan ini mencerminkan kebijakan yang diarahkan pada pemeliharaan keamanan dan ketertiban sosial, serta menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam pelaksanaan ibadah. Jadi, meskipun ziarah kubur dianggap sunah bagi laki-laki maupun perempuan, perhatian khusus diberikan terhadap konteks sosial dan potensi dampak yang dapat timbul. Hal ini menunjukkan bahwa dalam ajaran Islam, keberimbangan antara menjalankan ibadah dan menjaga tatanan sosial merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan secara bijaksana.
Menurut Abd ar-Ramn al-Jazr (2011: I, 458), disarankan untuk melaksanakan ziarah ke makam individu yang saleh, seperti para wali Allah dan syuhada, khususnya mengunjungi makam Nabi Muhammad saw. Menurutnya, ziarah ke makam Nabi merupakan suatu tindakan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah secara signifikan. Hal ini karena tempat tersebut dianggap sebagai lokasi yang paling mendekatkan diri kepada Tuhan.
Dalam perspektif Imam Amad w al-Mlik sebagaimana dijelaskan dalam Hsyiyah al-'Allmah w 'Al Tafsr al-Jallain (I: 282), ziarah ke makam para kekasih Allah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari ungkapan cinta kepada Allah. Melalui ziarah ini, umat Islam mengekspresikan kasih sayang dan penghormatan terhadap individu yang telah mendekatkan diri kepada Allah dalam kehidupan mereka.
Dengan melaksanakan ziarah ke makam para wali Allah, umat Islam dapat mengambil pelajaran dan inspirasi spiritual dari kehidupan orang-orang saleh tersebut. Praktik ini menjadi lebih dari sekadar kunjungan fisik, melainkan sebuah bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai spiritual dan cinta kepada Allah yang tercermin dalam perjalanan hidup para kekasih-Nya. Dengan demikian, ziarah ke makam para kekasih Allah bukan hanya merupakan tindakan ritualistik semata, melainkan sebuah wujud dari rasa cinta dan ketaatan kepada Allah. Pandangan ini menegaskan bahwa dalam Islam, ziarah kubur bukan hanya sekadar tradisi, tetapi juga merupakan sarana untuk mempererat ikatan spiritual dan memperdalam hubungan dengan Tuhan.
Ziarah kubur tidak hanya diartikan sebagai suatu bentuk tafakur dan bermuhasabah, tetapi juga memiliki dimensi doa bagi para ahli kubur. Rasulullah saw., sebagai contoh, mengawali ziarah kubur dengan memberikan salam kepada ahli kubur dan mendoakan mereka. Sayyid lib usain dalam Mukhtaar al-Kutub al-Khamsah (2010: 158) mencatat praktik ini sebagai bagian integral dari ziarah kubur. Konsep doa dan permohonan rahmat kepada Allah untuk ahli kubur juga ditegaskan oleh Ibnu al-Qayyim. Dalam perspektifnya, ziarah kubur yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. memiliki tujuan utama untuk berdoa, memohonkan rahmat kepada Allah, dan istigfar bagi ahli kubur. Oleh karena itu, pandangan Imam Amad ibn anbal ra. menyatakan bahwa segala bentuk kebaikan, seperti membaca fatihah, tahlil, ayat-ayat al-Qur'an, maupun memberikan sedekah, yang ditujukan kepada para ahl al-qubr akan memberikan pahala yang sampai kepada mereka.